SERAT GATOLOCO
Diambil dari naskah asli bertuliskan huruf Jawayang disimpan oleh
PRAWIRATARUNA.
Digubah ke aksara Latin oleh :
RADEN TANAYA
2. Pupuh III, Sinom, Pada
(Syair) 17-18 :
Santri padha ambêk
lintah, ora duwe mata kuping, anggêre amis kewala, cinucup nganti malênthing,
ora ngrêti yen gêtih, gandane amis tur arus, kinira madumangsa, yen wus warêg
mangan gêtih, amalêngkêr tan mêtu nganti sawarsa.
Santri yang berperilaku
seperti lintah, tidak memiliki mata dan telinga, asalkan mencium bau amis,
dihisap hingga perutnya menggelembung, tidak tahu kalau itu darah, baunya amis
dan arus (padanan kata amis), dikira madu, jika sudah kenyang meminum darah,
meringkuk tak keluar-keluar lagi hingga setahun.
Wêkasan kaliru tampa, tan
wruh têmah ndurakani, manut kitab mêngkap-mêngkap, manut dalil tanpa misil,
amung ginawe kasil, sinisil ing rasanipun, rasa nikmating ilat, lan rasane
langên rêsmi, rasanira ing kawruh ora rinasa.
Pada akhirnya salah
terima, tidak memahami inti sari malah berbuat dosa tanpa disadari, menuruti
kata-kata kitab begitu saja, menuruti dalil tanpa tahu makna sesungguhnya,
hanya dibuat untuk memperoleh keuntungan duniawi, tersilap dengan keduniawian,
dibuat untuk memenuhi nikmatnya rasa lidah, dibuat untuk memenuhi nikmatnya
rasa bersenggama, makna sejati ilmu tidak dirasakan.
Gatholoco tajam
mengingatkan, bahwasanya manusia-manusia yang terjebak ‘keberagamaan kulit’
seperti yang tengah berdialog dengannya, tak ubahnya bagaikan Lintah semata.
Yang tak memiliki mata dan tak memiliki telinga. Pekerjaan mereka hanya
menghisap darah sesama. Pekerjaan mereka hanya membuat harmonisasi kehidupan
timpang.
Mereka mengira, dengan
menghisap darah, mereka telah melakukan sebuah pekerjaan besar dan benar dimata
Tuhan! Mereka mengira telah menghisap madu yang manis. Mengira telah melakukan
sebuah pekerjaan agung yang sudah sepatutnya, walau harus menumpahkan darah!
Begitu telah kenyang
menumpahkan darah, mereka akan puas dan tiada lagi tergerak untuk menelaah,
apakah yang sudah dilakukan ini memang benar dimata Tuhan? (Pupuh III, Sinom,
Pada (Syair) : 17)
Mereka telah membuat dosa
tanpa disadari. Menelan mentah-mentah kata-kata kitab suci tanpa dikupas lagi.
Menuruti segala dalil tanpa mendalami inti sarinya. Padahal SUARA NURANI mereka
terus berontak untuk mengabarkan arti dan makna yang sesungguhnya!
Kesadaran mereka tentang
spiritualitas, tak lebih sebatas pencapaian Kenikmatan Keduniawian semata.
Kenikmatan yang konon juga ada di Surga sana. Kenikmatan yang mirip dan serupa
dengan Kenikmatan Dunia. Benarkah itu semua? Jika memang demikian, mengapa
harus berlama-lama menunggu nanti, toh sekarang Kenikmatan serupa juga ada
disini. Sudah nyata dan didepan mata malah. Lantas mengapa harus menunggu
sesuatu yang masih dijanjikan nanti jika memang esensinya serupa dan itu-itu
juga? (Pupuh III, Sinom, Pada (Syair) : 18)
Kesadaran Spiritual-kah
yang semacam ini? Jesus Kristus, Rabi’ah Al Adawiyyah, Jallaluddin Rumi,
Al-Junaid, Ibnu Al-Araby, Ibnu Manshur Al-Hallaj, Abu Yazid Al-Bistami, Hamzah
Fanshuri, Syeh Siti Jenar dan seluruh manusia illahi semacam mereka malah
dipangkas habis manakala meneriakkan kebenaran sebuah makna hakiki.
Berbeda dengan manusia
illahi yang turun ditanah India, keberadaan mereka masih mendapat sambutan hangat
hingga kini. Adakah yang berbeda dari pesan-pesan mereka? Tidak ada! Yang
berbeda adalah medan dan tempat dimana mereka turun.
Terpujilah
manusia-manusia illahi yang berani meneriakkan kebenaran dimedan yang penuh
dengan manusia-manusia berkesadaran rendah! Sembah sujud saya kepada
manusia-manusia illahi yang semacam ini!
3. Pupuh III, Sinom, Pada
(Syair) 27 :
Guru tiga saurira,
Katrima pamuji-mami, Gatholoco asru nyêntak, Pujimu pujining Widdhi, sira ora
nduweni, marang pangucap sadarum, iku ucaping Allah, yen mangkono sira maling,
wani-wani kadunungan barang gêlap.
Ketiga Guru menjawab,
Karena diterima doa kami, Gatholoco keras membentak, Bahkan doamu-pun adalah
milik (Hyang) Widdhi! Kalian tidak punya hak untuk mengakui! Karena pengucapan
kalian itu semua, itu ucapan Allah! Jikalau demikian kalian adalah maling!
Telah berani ketempatan barang yang bukan milik kalian (namun kalian akui
sebagai milik sendiri)!
Sekali lagi Gatholoco
hendak menghancurkan dinding kesadaran sempit dari mereka yang tengah diajaknya
berdialog. Gatholoco tengah memberikan letupan bagi peningkatan kesadaran
mereka. Gatholoco hendak membangun kesadaran baru, bahwasanya semua yang ada
didalam semesta ini tak ada yang lain selain MANIFESTASI HYANG WIDDHI atau
BRAHMAN! atau ALLAH!
PURUSHA adalah
MANIFESTASI PERTAMA dari BRAHMAN manakala BRAHMAN tengah berkehendak untuk
melakukan sebuah LILAA atau PERMAINAN ILLAHI-NYA. BRAHMAN YANG MELAMPAUI
SEGALANYA, YANG TANPA PRIBADI. MEMPERSEMPIT DIRI-NYA DALAM KONDISI SUPER
PERSONALITY. INILAH PURUSHA!
Bersamaan dengan proses
ini, muncullah BAYANGAN BRAHMAN yang lantas dikenal dengan nama PRAKRTI. Inilah
CIKAL BAKAL SELURUH UNSUR MATERIAL YANG ADA DI SEMESTA RAYA.
Dari PURUSHA memerciklah
ATMA-ATMA atau RUH-RUH yang tiada terhitung.
Lantas, manakah yang
bukan BRAHMAN atau ALLAH?
Manusia-manusia yang
merasa dirinya berbeda dengan BRAHMAN, dengan TUHAN. Manusia-manusia yang
merasa memiliki pribadi sendiri yang terpisah dengan Kepribadian Tuhan,
SESUNGGUHNYA MEREKA ADALAH PENCURI. Begitu Gatholoco menyatakan!
PENCURI? Yap! Karena
mereka mengklaim memiliki pribadi sendiri yang terpisah dengan Kepribadian
Tuhan. Mereka tengah bermain-main dengan illusi! Dalam keyakinan mereka,
pribadi mereka ini diciptakan oleh Tuhan. Mereka meyakini, Tuhan menciptakan
mereka. Dan mereka berbeda dengan Sang Pencipta. Mereka punya hak pribadi.
Memiliki asset sendiri. Walau menurut mereka, asset yang mereka miliki tersebut
adalah pinjaman dari Tuhan.
Gatholoco menegaskan,
diri kita semua ini, mulai dari ATMA SARIIRA (RUH), SUKSMA SARIIRA (NAFS),
STHULA SARIIRA (JASAD) termasuk seluruh piranti indrawi (mata, telinga,
hidung,dsb), berikut fungsi-fungsi inderawi (penglihatan, pendengaran, ucapan,
dsb) adalah MANIFESTASI TUHAN! Bukan sesuatu yang terpisah dari-Nya. Ini semua
bukan milik otonom seorang makhluk ciptaan yang disebut ‘manusia’. Jika
‘manusia’ mengklaim ini mataku, ini telingaku, ini badanku, ini penglihatanku,
ini pendengaranku, ini ucapanku dsb, jelas mereka telah melakukan KLAIM PALSU!
DAN ORANG YANG MENGAKUI SESUATU YANG BUKAN MILIKNYA, JELAS ADALAH SEORANG
PENCURI!
Bagaimana dia bisa
mengakui ini milik ‘saya’, jika sosok ‘saya’ itu sendiri sesungguhnya ‘tidak
ada’? Jika sosok ‘saya’ itu sendiri sebenarnya adalah bagian Tuhan juga?
Terngiangkah anda dengan kata-kata Sidharta Buddha Gautama tentang Annata
(Tanpa Aku/Tanpa Saya/Kosong) ?
Dalam Pupuh III, Sinom,
Syair 27 diatas bagian akhir, Gatholoco berkata keras :
……………..Gatholoco asru
nyêntak, Pujimu pujining Widdhi, sira ora nduweni, marang pangucap sadarum, iku
ucaping Allah, yen mangkono sira maling, wani-wani kadunungan barang gêlap.
(…………………,Gatholoco keras membentak, Bahkan doamu-pun adalah milik (Hyang)
Widdhi! Kalian tidak punya hak untuk mengakui! Karena pengucapan kalian itu
semua, itu ucapan Allah! Jikalau demikian kalian adalah maling! Telah berani
ketempatan barang yang bukan milik kalian (namun kalian akui sebagai milik
sendiri)!
Coba renungkan sekali
lagi!
4. Pupuh III, Sinom, Pada
(Syair ) 29-31 ;
Sakehing reh lakonana,
yen tan manut Sun gitiki, jalaran sira wus salah, kajêdhêgan sira maling, lah
iku duwek Mami, sira anggo tanpa urus, saikine balekna, ilange duk Jaman Gaib,
Ingsun simpên ana satêngahing jagad.
Segala perintah-Ku
laksanakan, jika tak menurut pasti Ku dera, sebab kalian telah salah, patut
dipersalahkan karena maling, itu semua milik-Ku, kalian pakai dengan tidak
benar, sekarang kembalikan, dulu hilang dikala Jaman Gaib, Aku simpan di
tengah-tengah jagad.
Saksine si Wujud Makna,
cirine rina lan wêngi, Ingsun rêbut tanpa ana, saiki lagya pinanggih, sira
ingkang nyimpêni, santri padha tanpa urus, yen sira tan ngulungna, sun lapurake
pulisi, ora wurung munggah ing rad pêngadilan.
Saksinya adalah si Wujud
Makna (Wujud dari segala inti sari makna kitab suci), bukti (dari keteledoran
kalian memakai barang-Ku dengan tidak benar) telah dicatat oleh siang dan
malam, Aku cari-cari tak ketemu, sekarang tengah Aku jumpai, ternyata kalian
yang menyimpannya, para santri yang tidak benar! Jika tidak kalian kembalikan,
Aku laporkan polisi (hukum alam), tak urung akan naik perkara dipengadilan
(semesta)!
Mêsthi sira kokum pêksa,
yen wêngi turu ning buwi, lamun rina nambut karya, sabên bêngi den kandhangi,
beda kalawan mami, salawase ngong tumuwuh, sadurunge tumindak, ingkang daya
sêja-mami, agal alus kasar lêmbut ingsun nalar.
Pasti akan menerima
hukuman, jika malam tidur didalam penjara (terkurung dalam kegelapan batin
sehingga gelisah), jika siang kerja paksa (sengsara ditengah panasnya dualitas
duniawi), tiap malam dikandangkan (terus terjerat dalam kegelapan batin),
berbeda dengan aku, selama aku hidup, sebelum bertindak, untuk memenuhi
keinginanku, kasar maupun halus pasti aku pikirkan terlebih dahulu.
Illusi manusia layak
dihancurkan. Walaupun illusi itu juga Manifestasi Brahman, tapi jelas, segala
macam illusi, kebodohan (awidya), ketidak murnian, keangkuhan, keserakahan dan
semua yang menelikung KESADARAN SEJATI ATMA, adalah Manifestari Brahman dalam
level rendah.
Semua ketidak murnian
muncul dari PRAKRTI. Dan PRAKRTI hanyalah BAYANGAN BRAHMAN. DAN SEBUAH
BAYANGAN, BUKANLAH YANG SEJATI. SEBUAH BAYANGAN HANYALAH ILLUSI (MAYA)!.
Sekali lagi saya
tegaskan, SEGALA MACAM KETIDAK MURNIAN ADALAH BERASAL DARI PRAKRTI. DAN PRAKRTI
ADALAH MANIFESTASI BRAHMAN DALAM LEVEL BAWAH! JADI JANGAN HANTAM RATA DENGAN
MENYATAKAN BAIK DAN BURUK ITU SEIMBANG! HITAM DAN PUTIH ITU SELEVEL! TIDAK!
BAIK DAN BURUK, HITAM DAN
PUTIH MEMANG SAMA-SAMA PERWUJUDAN BRAHMAN, MEMANG ADA DALAM SATU KESATUAN
TUNGGAL. TAPI DALAM JENJANG YANG BERBEDA!
Dalam Bhagawad Gita, jelas
Shrii Krishna menyatakan :
“Sifat-sifat Illahi
(Daiva Sampad) adalah jalan KELEPASAN (MOKSHA), sedangkan sifat-sifat Jahat
(Asura Sampad) adalah jalan menuju KETERIKATAN (LAHIR BERULANG-ULANG DIDALAM
ALAM MATERIAL). Janganlah bersedih, oh Pandhawa (Putra Pandhu/ Arjuna), dirimu
(karena buah karma masa lalumu), terlahir dalam sifat-sifat Illahi!” (Bhagawad
Gita : 16 : 5)
Jika BAIK dan BURUK,
HITAM dan PUTIH, KESADARAN dan KETIDAK SADARAN itu sama, lantas mengapa anda
mempelajari KESUCIAN jika toh dalam kondisi KOTOR -pun anda sama saja dalam
kondisi BERSIH? Jika BAIK dan BURUK, HITAM dan PUTIH, KESADARAN dan KETIDAK
SADARAN itu sama, lantas mengapa sosok semacam SHIWA, KRISHNA, RSI VYAASA,
SIDHARTA BUDDHA GAUTAMA, JESUS, SYEH SITI JENAR, GATHOLOCO dan Manusia-Manusia
Illahi lainnya harus berteriak-teriak untuk membebaskan KESADARAN KITA dari
jerat KETIDAK MURNIAN SEBUAH ILLUSI (MAYA)?
Jangan bermain-main
dengan kata-kata. Anda akan terjebak sendiri. Pada ujungnya, anda sendiri yang
akan kebingungan untuk menentukan sikap dalam menyikapi realita kehidupan ini!
ATMA telah terjebak dalam
BAYANGAN BRAHMAN ! KETERJEBAKAN PADA ILLUSI (MAYA) BRAHMAN inilah yang
memunculkan adanya kehidupan material. Selama keterjebakan ini terus terjadi,
maka ATMA akan terus tergerus proses kehidupan material! Dia akan lahir dan
mati, lahir dan mati, lahir dan mati, tanpa ada kesudahan! Jika ATMA bisa
membebaskan diri dari BAYANGAN BRAHMAN, maka ATMA akan MENYATU DENGAN INTI
BRAHMAN ITU SENDIRI! ATMA tidak perlu terlahirkan kedunia material kembali!
Inilah MOKSHA. Inilah NIRWANA. Inilah KERAJAAN ALLAH. Inilah JANNATUN FIRDAUS!
Dalam syair 29, Pupuh III
diatas, Gatholoco sengaja berkata dengan MEMPERGUNAKAN KESADARAN TERTINGGINYA!
Jika mereka-mereka yang tengah diajaknya berdialog tetap meyakini keterpisahan
pribadinya dengan Kepribadian Brahman, berarti mereka tidak mengikuti ‘PERINTAH
ATAU PETUNJUK SEJATI BRAHMAN’ yang tertuang dalam intisari seluruh Kitab Suci!
Jika illusi mereka tetap sulit disingkap, maka terpaksa HUKUM ALAM yang akan
bekerja! Ini yang dimaksud ucapan Gatholoco dengan : ……..yen tan manut Sun
gitiki,….(….jika tidak menurut pasti Ku dera…). Karena selain telah berillusi
memiliki asset badan sendiri, mereka juga telah mempergunakan seluruh ‘barang
klaim palsu’ tersebut dijalan ketidak murnian! Oleh karenanya, hilangkanlah
illusi kalian. Hilangkanlah anggapan bahwa kalian itu berbeda dengan DIA!
Kembalikan seluruh barang pengakuan itu kepada yang punya! Kembalikan KESADARAN
kalian dari mengklaim memiliki asset sendiri menjadi SEMUA INI ADALAH BRAHMAN
SEMATA!
Dalam syair 31, Pupuh III
bagian terakhir, Gatholoco menurunkan kembali KESADARAN-NYA : ………..beda kalawan
mami, salawase ngong tumuwuh, sadurunge tumindak, ingkang daya sêja-mami, agal
alus kasar lêmbut ingsun nalar. (…………berbeda dengan aku, selama aku hidup,
sebelum bertindak, untuk memenuhi keinginanku, kasar maupun halus pasti aku
pikirkan terlebih dahulu.)
_________________
SERAT GATOLOCO
Diambil dari naskah asli bertuliskan huruf Jawa
Yang disimpan oleh
PRAWIRATARUNA.
Digubah ke aksara Latin oleh :
RADEN TANAYA
Yang disimpan oleh
PRAWIRATARUNA.
Digubah ke aksara Latin oleh :
RADEN TANAYA
38. Guru tiga duk
miyarsa, sru nyêntak sarwi nudingi, Gatholoco sira gila, Gatholoco anauri,
Ingsun gila sayêkti, yen wêruh kaya dhapurmu, wêdi bok katularan, ora duwe mata
kuping, kawruhira amung jakat lawan pitrah.
Ketiga Guru begitu mendengarnya,
keras membentak sembari menuding, Gatholoco kamu gila! Gatholoco menjawab, Aku
memang gila, jika bertemu orang sepertimu, aku takut ketularan, tidak memiliki
mata dan telinga, pengetahuan kalian hanya melulu berkisar tentang jakat pitrah
(zakat fitrah) saja.
39. Kyai Guru tiga pisan,
tyasnya runtik anauri, Nyata sira anak Jalang, Gatholoco amangsuli, Iku bênêr
tan sisip, bapa biyung kaki buyut, kabeh kêna ing pêjah, lamun wis tumêkeng
jangji, yêkti mulih mring asale padha Ilang.
Ketiga Guru semua, dengan
hati panas menyahuti, Nyata kamu anak Jalang! Gatholoco menjawab seenaknya,
Ucapanmu benar tidak keliru, bapak ibu kakek dan buyut-ku, semua terkena mati,
jika sudah sampai pada saatnya mati, pasti pulang keasalnya semua meng-Hilang!
(Inilah sikap bijak seorang yang tercerahkan. Manakala dia dihina, maka dia
akan merespon dan memaknai hinaan itu dengan makna positif. Gatholoco di caci
sebagai anak Jalang, tapi Gatholoco seolah tak mendengar kata Jalang tapi malah
mendengar kata Hilang. Contohlah sikap seperti ini.)
40. Kiraku manawa sira,
mêtu saking rêca wêsi, dene wujud tanpa nyawa, sira ora duwe budi, Kyai Guru
nauri, samya misuh Truk biyangmu, Gatholoco angucap, Iku bangêt trima-mami,
krana sira têlu pisan misuh mring wang.
Kukira mungkin kalian,
lahir dari arca besi, berwujud tapi tanpa nyawa, karena terlihat kalian tidak
mempunyai budi (buddhi : kesadaran), Kyai Guru menjawab, dengan mengumpat Turuk
biyang-mu (Dasar terlahir dari Vagina)! Gatholoco berkata, Sangat berterima
kasih aku, karena kalian bertiga mengumpati aku (dan ibuku).
41. Sira nuduhake biyang,
ingsun iki tan udani, duk lair saking wadonan, amung ingkang sun-gugoni, wong
tangga kanan kering, bapa biyang ingkang ngaku, nganakake maring wang, iku
ingkang sun-sungkêmi, nanging batin ingsun ora wani sumpah.
Kalian telah berani
menunjukkan darimana Aku telah terlahirkan, akan tetapi Aku sendiri tidak yakin
pasti, apakah benar aku terlahirkan dari vagina, hanya yang Aku jadikan
pegangan, kesaksian tetangga kiri kanan, berikut bapak dan ibu yang mengakui,
telah memperanakkan Aku, keduanya Aku junjung tinggi, akan tetapi didalam hati
sesungguhnya Aku tidak berani bersumpah (telah terlahir dari sebuah vagina!)
42. Iya iku bapa biyang,
ingkang wêruh lair-mami, saikine sira bisa, nuduhake biyang-mami, wismane ana
ngêndi, lawan sapa aranipun, amba-ciyute pira, duweke wong tuwa-mami, yen tau
wêruh iku ujar ambêlasar.
(Mungkin) hanya bapak dan
ibu-ku, yang mengetahui dengan pasti darimana Aku terlahirkan, akan tetapi
sekarang kalian (yang baru bertemu denganku saat ini saja), telah berani
menyatakan bahwa Aku terlahir dari vagina ibu, jika memang benar kalian tahu
pasti, dimanakah rumah ibu-Ku, lantas siapakah namanya, serta seberapa ukuran,
milik (vagina) ibu-Ku? Jika tidak bisa menjawab nyata kalian telah bersaksi
palsu!
43. Krana ingsun nora
wikan, wujude Ingsun saiki, mujud dhewe tanpa lawan, Allah ora karya mami,
anane raga-mami, gaweyanira Hyang Agung, duk aneng alam dunya, ana satêngahing
bumi, lawan sira kala karya raganira.
(Ketahuilah) sesungguhnya
Aku tidak ragu bahwa, wujud(Atma)-Ku ini, berwujud dengan sendirinya (bukan
dilahirkan oleh vagina) dan tiada tandingan, Allah tidak menciptakan Aku
(Maksudnya Allah saja tidak menciptakan Atma atau Ruh: Atma atau Ruh tidak
diciptakan, tidak ada yang menciptakan Atma atau Ruh. Atma dan Ruh adalah
percikan-Nya), (sedangkan) adanya Raga(Tubuh Fisik)-Ku, (memang) buatan Hyang
Agung (Maksudnya Hyang Agung/Allah hanya menciptakan Raga atau Tubuh Fisik
semata), (diciptakan) saat ada di alam dunia, ada ditengah-tengah bumi,
manakala membuat raga kalian (Maksudnya dicipta ditengah ruang dan waktu
relatif semesta raya).
44. Sawindu lawan
sawarsa, rolas wulan pitung ari, pêndhak pasar ratri siyang, saêjam sawidak
mênit, ora kurang tan luwih, wukune mung têlung puluh, raganingsun duk daya,
sarta wus wani nyampahi, wruhaningsun sanajan saiki uga.
Sawindu (siklus delapan
tahunan) serta Setahun, Dua belas bulan Tujuh hari, Pêndhak Sêpasar (siklus
hari dalam jumlah lima : Kliwon, Lêgi, Pahing, Pon dan Wage) Malam dan Siang,
Satu jam Enam puluh menit, tak lebih dan tak kurang dari itu, Wuku-nya hanya
tiga puluh (Wuku adalah perhitungan siklus tujuh harian/seminggu. Ada tiga
puluh Wuku. Setiap Wuku berumur tujuh hari. Total tiga puluh Wuku memakan waktu
210 hari), (Didalam ukuran ruang dan waktu relatif duniawi seperti contoh
diatas) Raga(Tubuh Fisik)-Ku memiliki bentuk (maksudnya tercipta), serta sudah
berani menghina (maksudnya juga tercipta Tubuh Halus/Suksma Sariira yang
menyelimuti kesadaran Atma sehingga berubah menjadi sosok makhluk yang tidak
murni), ketahuilah hal ini sekarang juga.
45. Badanku kêna ing
rusak, urip-mami wangawuhi, saobah-osiking badan, Rasulullah andandani, krana
ingsun kêkasih, kinarya Pangeraningsun, marang sagunging sipat, nggêsangakên
saliring tunggil, iya Ingsun iya Allah ya Muhammad.
Badanku bisa rusak, (akan
tetapi) Hidup (Atma)-ku abadi, seluruh keberadaan tubuh ini, Rasulullah
(Atma/Ruh)-lah yang menghiasi, karena Aku (Hidup/Atma/Ruh/Rasulullah) adalah
kekasih(-Nya), dianggap sebagai Tempat untuk Mengabdi (bagi Tubuh Fisik/Sthula
Sariira dan Tubuh Halus/Suksma Sariira), Tempat untuk Mengabdi bagi seluruh
sipat (maksudnya segala sifat yang baik maupun yang buruk dari Suksma Sariira),
menghidupi segalanya dalam satu kesatuan, (sesungguhnya) Aku (Ruh/Atma) adalah
juga Allah adalah juga Muhammad.
46. Guru tiga asru mojar,
Sira wani angakoni, tunggal wujud lan Pangeran, apa kuwasamu kuwi, Gatholoco
nauri, Ngawruhi dadine lêbur, kalawan pêparêngan, karsane Kang Maha Suci,
ingsun dhewe tan kuwasa apa-apa.
Ketiga Guru keras
berkata, Kamu berani mengakui, satu kesatuan wujud dengan Tuhan, apa
kekuasaanmu? Gatholoco menjawab, Menyadari menjadi dan leburnya (maksudnya
menyadari sepenuhnya sepanjang kelahiran dan kematian saat terlahirkan sebagai
Gatholoco saja), dengan ijin, dan kehendak Yang Maha Suci, aku sendiri tak
berkuasa apa-apa. (Maksud Gatholoco, dalam kondisi Atma masih terikat oleh
Suksma Sariira/Tubuh Halus dan Sthula Sariira/Tubuh Fisik, Atma hanya mampu
mengetahui kelahiran dan kematiannya dalam satu siklus kehidupannya ini saja,
sedangkan diluar itu, Atma belum mampu menyadari).
47. Ragengsun wujuding
Suksma, angawruhi ing Hyang Widdhi, tumindak karsanira Hyang, aweh mosik liya
mami, Muhammad kang nduweni, pangucap paningalingsun, pangganda pamiyarsa, dene
lesan lawan dhiri, kabeh iku kagungane Rasulullah.
Ragaku adalah wujud
Suksma (kata Suksma disini yang dimaksud adalah Hyang Suksma, yang artinya
Tuhan. Bukan Suksma Sariira/Tubuh Halus), jelas-jelas adalah Hyang Widdhi yang
terlihat, mampu eksis atas kehendak Hyang (Widdhi) sendiri, mampu pula
beraktifitas (atas kehendak-Nya juga), Muhammad (Atma/Ruh juga adalah wujud
Hyang Widdhi) yang memiliki, pengucapan penglihatanku, penciuman dan
pendengaranku, lesan dan pribadi ini, semua itu milik Rasulullah (Atma/Ruh).
(Maksudnya baik Raga/Sthula Sariira hingga Atma – dalam bahasa Gatholoco adalah
Muhammad atau Rasulullah- semua adalah perwujudan Hyang Suksma atau Hyang
Widdhi atau Tuhan. Atma ini tiada beda dengan Hyang Widdhi. Maka tepatlah jika
dinyatakan, seluruh pengucapan, penglihatan, penciuman, pendengaran dan
sebagainya sesungguhnya adalah milik Atma.)
48. Ingsun ora apa-apa,
mung pangrasa duwek-mami, iku yen ana sihing Hyang, yen tan ana sihing Widdhi,
duwekingsun mung sêpi, basa sêpi iku suwung, tan ana apa-apa, lir ingsun duk
durung dadi, têtêp suwung ora wêruh siji apa.
Aku ini tidak memiliki
apa-apa, hanya perasaan (merasa memiliki) saja yang menjadi miliku, itu saja
jika mendapatkan kasih dari Hyang (Widdhi), jika tak mendapatkan kasih (Hyang)
Widdhi, milikku hanyalah sêpi, arti kata sêpi adalah kosong, tidak ada apa-apa,
bagaikan aku saat belum menjadi, tetap kosong tak mengetahui apa-apa.
(Maksudnya wujud manusia ini sesungguhnya adalah perwujudan Tuhan juga. Manusia
itu ‘tidak ada’. Yang ada hanya ‘perasaan merasa ada dan memiliki pribadi yang
terpisah dengan Tuhan’. Jika ‘illusi merasa ada dan merasa memiliki pribadi
yang terpisah dengan Tuhan’ ini tersingkap, maka yang ada hanyalah KOSONG.
KOSONG itulah KEABADIAN DAN KEBAHAGIAAN MILIK KITA DULU. KOSONG ITULAH TUHAN!)
49. Abdul Jabar nulya
mojar, Sira iku angakoni, wujudmu wujuding Suksma, ing mangka ragamu kuwi, kêna
rusak bilahi, ora langgêng sira wutuh, Gatholoco angucap, Ingkang rusak iku
bumi, kalimputan wujud-mami lan Pangeran.
Abdul Jabar lantas
berkata, Kamu mengakui, wujudmu adalah wujud (Hyang) Suksma, padahal ragamu
itu, bisa terkena rusak dan celaka, tidak utuh abadi selamanya, Gatholoco
berkata, Yang bisa rusak itu badan yang berasal dari bumi (kata bumi hanya
mewakili segala unsur alam semesta), yang terselimuti wujud-Ku (Atma) dan Tuhan
(Brahman).
50. Ingsun Ingkang Maha
Mulya, tan kêna rusak bilahi, ingkang langgêng swarga mulya, Kyai Guru anauri,
Yen mangkono sireki, wêruh pêsthine Hyang Agung, kang durung kalampahan,
Gatholoco anauri, Wêruh pisan pêsthine mring raganingwang.
Aku Yang Maha Mulia, tak
bisa rusak dan celaka, yang langgeng dan sesungguhnya surga mulia (Jannatun
Firdaus, Moksha, Nirwana, Kerajaan Allah) itu sendiri, Kyai Guru menyahut,
Jikalau demikian kamu ini, mengetahui takdir Hyang Agung yang belum terjadi?
Gatholoco menjawab, Bahkan aku bisa membuat takdir yang bakal terjadi pada
diriku.
51. Ingsun pêsthi
awakingwang, wayah iki dina iki, jêjagongan lawan sira, mêngko gawe pêsthi
maning, kang durung den lakoni, kanggone mêngko lan besuk, supaya aja salah,
dadi ora kurang luwih, lamun salah ngrusak buku sastra angka.
Telah aku tetapkan
sendiri, pada saat ini hari ini, duduk bertemu dengan kalian semua, nanti aku
akan membuat takdir lagi, yang belum terjadi, untuk hari esok dan kelak, harus
hati-hati dalam membuatnya, sehingga tidak kurang dan tidak lebih (tetap dalam
keseimbangan), jika salah bisa merusak kitab sastra angka. (Gatholoco sebenarnya
hendak menjelaskan tentang hukum sebab akibat, dimana takdir itu yang membuat
adalah kita sendiri)
52. Kalawan ngrusak
gulungan, iku bangêt wêdi-mami, wêdi manawa dinukan, marang ingkang juru-tulis,
mulane ngati-ati, gawe pêsthi aja kliru, Kyai Guru angucap, Kang durung sira
lakoni, bêja sarta cilakamu besuk apa.
Jika sampai merusak
gulungan kitab (maksudnya melakukan perbuatan buruk sehingga merangkai takdir
buruk pula bagi diri kita), itu sangat kutakutkan, takut jika sampai dimarahi,
oleh juru tulis (maksudnya alam semesta, yang merekam dan mencatat segala
perbuatan dan aktifitas kita), makanya aku hati-hati, membuat takdir jangan
sampai keliru, Kyai Guru berkata, Yang belum kamu jalani, untung dan celakamu
besok bagaimana?
53. Aneng ngêndi
kuburira, Gatholoco anauri, Kuburan wus ingsun-gawa, sabên dina urip-mami,
kalawan ngudanêni, ning sawatês umuringsun, kalamun parêk ajal, sajroning rolas
dina mami, lagya milih jam sarta wayahira.
Dimanakah kuburmu?
Gatholoco menjawab, Kuburku telah aku bawa, setiap saat dalam kehidupanku,
serta aku tahu, pada batas usiaku, jika sudah dekat ajal, dalam dua belas hari,
baru memilih jam dan saatnya. (Gatholoco berkata benar. Manusia yang
kesadarannya tinggi, mampu memilih hari, jam dan saat kematiannya sendiri!)
54. Yen gawe pêsthi
samangkya, papêsthene awak-mami, bokmanawa luwih kurang, susah anggoleki
pêsthi, bêcike sabên lawan ari, anggawe papêsthen iku, manut sênênging driya,
dadi ora kurang luwih, ora angel ora cidra ing sêmaya.
Membuat takdir itu,
takdir untuk diriku sendiri, sangat sulit membuat yang seimbang (maksudnya
membuat takdir yang menghasilkan keseimbangan sehingga menunjang lepas dari
dualitas duniawi), sangat sulit mencari takdir (yang menunjang pelampauan
dualitas tersebut), lebih baik setiap hari, dalam membuat takdir, dibuat dalam
keadaan pikiran yang bahagia (pikiran positif), sehingga hasilnya kelak tidak
akan lebih dan kurang (seimbang), tidak membuat kesukaran (dalam proses evolusi
Atma) dan tidak membuat ingkar janji (mengingkari tujuan hidup yang sejati
yaitu menyatu dengan SUMBER ABADI SEMESTA).
55. Kyai Abdul Jabar
ngucap, Pêsthine marang Hyang Widdhi, ingkang durung kalampahan, Gatholoco
anauri, Iku pêsthening Widdhi, dudu pêsthi saking ingsun, Allahku sabên dina,
anggawe papêsthen mami, anuruti marang kabeh karsaningwang.
Kyai Abdul Jabar berkata,
(Bagaimana dengan) ketetapan Hyang Widdhi, yang belum terlaksana, Gatholoco
menyahut, Itu ketetapan (Hyang) Widdhi, bukan ketetapan dari-(Atma)ku, Allah-ku
setiap hari, membuat ketetapan bagiku, menuruti kepada semua kehendak-ku.
(Disini jelas harus dibedakan, mana takdir yang dibuat oleh manusia untuk
dirinya sendiri melalui pikiran, perkataan dan perbuatannya, dengan takdir
jalannya siklus semesta raya. Jelas, takdir bagi diri sendiri kitalah yang
membuat, tapi takdir jalannya siklus semesta raya, manusia tidak bisa
membuatnya.)
56. Guru tiga sarêng
ngucap, Gatholoco sira iki, nyata kasurupan setan, Gatholoco anauri, Bênêr pan
ora sisip, kala ingsun dereng wujud, ana ing alam samar, tumêka ing jaman
mangkin, setaningsun durung pisah saking raga.
Ketiga Guru sama-sama
berkata, Gatholoco kamu ini, nyata-nyata kesurupan setan! Gatholoco menjawab,
Benar memang tidak salah, saat aku belum lahir, didalam alam yang samar, hingga
pada jaman aku lahir (kembali sekarang), setanku belum bisa aku pisahkan dari
diriku!
57. Basa setan iku seta,
asaling bibit sakalir, wujudingsun duk ing kuna, punika asale putih, lamun
durung mangrêti, iya iku asal ingsun, purwa saking sudarma, tumêka kalamullahi,
sayêktine ingsun asal Kama Pêthak.
Setan itu berasal dari
(air) putih (sperma), bibit semua manusia, wujudnya pertama kali, berwarna
putih, maka ketahuilah, itulah asal-ku, berasal dari orang tua laki-laki,
hingga aku harus lebur (moksa, maka setan akan tetap ada didalam diriku),
sesungguhnya aku (Tubuh fisik ini beserta setannya) berasal dari Kama Pêthak
(sperma berwarna putih)!
58. Mênêk Guru têlu sira,
Kama Irêng ingkang dadi, dene buntêt tanpa nalar, Abdul Manap duk miyarsi,
mojar mring Ahmad Ngarip, Abdul Jabar Yen sarujuk, wong iki pinatenan, lamun
maksih awet urip, ora wurung ngrusak sarak Rasulullah.
Akan tetapi kalian ketiga
Guru, Kama Irêng (sperma hitam) asal kalian (sperma yang berisi roh-roh
terikat) sehingga bodoh tanpa nalar! Abdul Manap (Abdul Manaf) begitu
mendengar, berkata kepada Ahmad Ngarip (Ahmad ‘Arif), serta kepada Abdul Jabar
Jika kalian setuju, kita bunuh saja orang ini! Jika masih tetap hidup, tidak
urung akan merusak syari’at Rasulullah!
59. Iku wong mbubrah
agama, akarya sêpining masjid. Gatholoco asru ngucap, Den enggal nyuduk mring
mami, sapisan nyuduk jisim, pindho bathang sira suduk, ya ingsun utang apa,
arsa mateni mring mami, saurira Mung lêga rasaning driya.
Orang ini merusak agama,
bakal membuat sepinya masjid, Gatholoco keras berkata, Segeralah tusuk Aku,
pertama kamu hanya akan mampu menusuk tubuh fana ini saja, kedua kamu hanya
akan mampu menusuk bangkai (tidak bakalan kalian mampu menusuk yang namanya
‘Aku’)! Berhutang apakah Aku pada kalian? Sehingga kalian hendak membunuh
‘Aku’? (sesungguhnya kalianlah yang telah banyak berhutang pada-Ku)! Terdengar
jawaban, Agar puas rasa hati kami!
60. Krana sira ngrusak
sarak, Gatholoco anauri, sarak tan kêna rinusak, pinêsthi dening Hyang Widdhi,
…………………………, ………………………, …………………….., iku têtêp aran janma ngrusak sarak.
Karena kamu telah merusak
syari’at! Gatholoco menyahuti, Syari’at (hukum yang sesungguhnya alias hukum
alam) tidak bisa dirusak! Sudah ditetapkan demikian oleh Hyang Widdhi, (belum
saatnya saya terjemahkan……………….), Itulah sesungguhnya yang dinamakan manusia
perusak syari’at!!
61. Dene bangsane agama,
sasênêngne wong ngaurip, sanajan agama Cina, lamun têrus lair batin, yêkti
katrima ugi, Guru têlu agamamu, iku agama kopar, agamaku ingkang suci, iya iku
kang aran Agama Rasa.
Semua agama, terserah
kepada pribadi masing-masing, walaupun agama berasal dari Cina, apabila mantap
lahir batin, pasti diterima (oleh Tuhan), agama kalian, itu agama sombong,
agamaku yang suci, inilah yang disebut Agama Rasa.
62. Têgêse Agama Rasa,
nuruti rasaning ati, rasaning badan lan lesan, iku kabeh sun-turuti, rasaning
lêgi gurih, pêdhês asin sêpêt kêcut, pait gêtir sadaya, sira agama punapi,
saurira Agamaku Rasulullah.
Maksud dari Agama Rasa,
mengamati rasa hati, rasa badan dan rasa lidah, itu semua aku amati, rasa manis
gurih, pedas asin sepat kecut, pahit dan getir semuanya (Gatholoco tengah
menguraikan meditasi Vipassana, yaitu melatih Kesadaran agar senantiasa awas
dengan segala gejolak pikiran dan segala sensasi tubuh), sedangkan kalian agama
apakah, Mereka menjawab Agamaku agama Rasulullah!
63. Gatholoco asru
ngucap, Patut sira tanpa budi, aran ra punika raras, sul usul raras kang sêpi,
sul asal têgêsneki, mulane sireku kumprung, Guru tiga miyarsa, sigra kesah
tanpa pamit, sakancane garundêlan urut marga.
Gatholoco keras
menyahuti, Pantas kalian tanpa buddhi (kesadaran), tidak bisa mengamati rasa
diri, mengamati asal usul rasa yang sepi (dari segala rasa), makanya kalian
bingung, Mendengar kata-kata itu ketiga Guru, segera pergi tanpa pamit, seluruh
yang bersama mereka menggerutu sepanjang jalan.
64. Sangêt dennya
nguman-uman, Ahmad Ngarip muwus aris, Abdul Jabar Abdul Manap, salawasku urip
iki, aja pisan pisan panggih, kalawan wong ora urus, manusa tan wruh tata,
jroning ngimpi ingsun sêngit, yen kapêthuk sun mingkar tan sudi panggya.
Sangat-sangat sakit hati,
Ahmad Ngarip (Ahad ‘Arif) berkata pelan, Abdul Jabar Abdul Manap (Abdul Manaf),
selama hidupku ini, jangan sekali-kali lagi bertemu lagi, dengan orang yang
tidak benar, manusia yang tidak mengetahui etika (seperti Gatholoco), bahkan
didalam mimpi sekalipun, jika bertemu aku akan menghindar tidak sudi bertemu!
65. Gatholoco kang
tinilar, aneng ngisoring waringin, rumasa yen mênang bantah, mangkana osiking
galih, bangêt kêpati-pati, angêkul sameng tumuwuh, Sun-kira luwih manah,
pangawruhe Guru santri, dene iku isih bodho kurang nalar.
Gatholoco yang ditinggal,
dibawah pohon beringin, merasa jika telah menang dalam berdebat, begini kata
hatinya, Sangat-sangat prihatin aku, betapa banyak manusia yang tidak sadar
seperti kul (keong), aku kira sangat luas, wawasan Guru para sanri (tadi),
ternyata masih bodoh kurang nalar.
66. Durung padha durung
timbang, yen tinandhing kawruh-mami, durung nganti ingsun-gêlar, kawruhku kang
luwih edi, prandene anglangani, kalah tan bisa samaur, yen mangkono sun-kira,
ingkang muruk tanpa budi, iku nyata setan ingkang menda janma.
Sangat-sangat tidak
seimbang, apabila diukur dengan wawasan-ku, belum juga aku wedarkan,
pengetahuanku yang lebih unggul, tapi pada kenyataannya, kalah tak bisa
menjawab, jika demikian kesimpulanku, siapa saja yang mengajarkan ilmu tanpa
buddhi (kesadaran), itu nyata-nyata setan yang menjelma sebagai manusia.
67. Lamun wulange manusa,
mêsthine pada mangrêti, mring duga lawan prayoga, aywa karêm karya sêrik,
mulane kudu eling, eling marang Ingkang Asung, asung urip kamulyan, upayanên
den kapanggih, yen pinanggih padhang têrang sagung nalar.
Jika benar-benar manusia,
pastilah akan memahami, akan baik dan buruk, tidak suka gampang menghakimi
sesama, oleh karenanya harus ingat, ingat kepada yang Maha Pemberi, yang
memberikan kemuliaan hidup, carilah (Dia) hingga ketemu, jika telah ketemu akan
terang benerang kesadaran ini.
68. Yen padhang têgêse
gêsang, lamun pêtêng iku mati, janma ingkang duwe nalar, aran manusa sujati yen
luwih wus ngarani, agal myang alus cinakup, tan kaya Guru tiga, bodhone
kêpati-pati, cupêt kawruh pêtêng nalar maknanira.
Terang itu hidup,
sedangkan gelap itu mati, manusia yang mempunyai kesadaran, itulah manusia
sejati, manusia yang unggul, melampaui yang kasar dan halus (dualitas duniawi),
tidak seperti ketiga Guru tadi, sangat-sangat bodoh, sempit wawasan gelap
kesadarannya.
69. Gatholoco gya
lumampah, têtêmbangan urut margi, kêbo bang kagok (sapi) upama, ‘sapi-san’
maning pinanggih, bibis alit ing tasik (undur-undur), ora ‘mun-dur’ bantah
kawruh, pêlêm gung mawa ganda (kuweni), kawuk ingkang menda warni (slira),
bêcik ingsun ‘ngênte-ni’ lan ‘ura-ura’.
Gatholoco segera
beranjak, melantunkan tembang sepanjang jalan, Kerbau berwarna merah keputihan
(SAPI maksudnya), ‘SAPI-san’ (sekali lagi) bertemu, binatang bibis yang hidup
diatas pasir (binatang UNDUR-UNDUR), tidak akan ‘mun-DUR’ jika harus berdebat
lagi, mangga besar dengan baunya yang harum (mangga KWENI), binatang kawuk yang
berganti rupa (binatang SLIRA), lebih baik aku ‘ngente-NI’ (menanti) sembari
‘u-RA-u-RA’ (berdendang).
70. Gude rambat (kara)
puspa krêsna (tlasih), ‘mani-ra’ pan ‘i-sih’ wani, witing pari (dami) enthong
palwa (wêlah), ora nêja ‘ka-lah ma-mi’, araning wisma paksi (susuh), ‘mung-suh’
sira guru pêngung, parikan ulêr kambang (lintah), ingsun sênêng ‘ban-tah’ ilmi,
wêlut wisa (ula) tininggal atiku ‘gê-la’.
Tumbuhan Gude yang
merambat (tumbuhan KARA) daun hitam (daun TLASIH), mani-RA (diriku) sungguh
‘ma-SIH’ berani, batang padi (DAMI) centhong perahu (dayung atau WÊLAH), tidak
akan ‘ka-LAH ma-MI (diriku)’, nama rumah burung (SUSUH), ‘bermu-SUH-an’ dengan
kalian guru bodoh, ulat yang mengambang diair (LINTAH), aku sangat suka
‘berban-TAH-an’ ilmu, belut yang berbisa (ular atau ULA) ditinggal hatiku
‘gê-LA (kecewa)’.
71. Mendhung pêthak
(mega) kunir pita (têmu), ‘muga-muga têmu’ maning, têpi wastra rinumpaka
(kêmadha), banjur ‘pa-dha’ maring ngêndi, kayu rineka janmi (golek), apa
‘golek’ guru jamhur, sarkara munggeng tala (madu), arsa den ‘a-du’ lan mami,
wadhung rêma (cukur) malah ‘so-kur’ yen mangkana.
Mendung berwarna putih
(MEGA) kunyit merah (TÊMU), ‘semo-GA bertê-MU’ lagi, pinggir kemben yang dirias
(KÊMADHA), lantas ‘pa-DHA (sama)’ kemana semua? Kayu yang dibuat seperti wujud
manusia (GOLEKAN), apa mau ‘GOLEK (mencari)’ Guru terkenal? Cairan manis diatas
pohon (MADU), hendak ‘di-ADU’ dengan aku, cangkulnya rambut (alat CUKUR) malah
‘syu-KUR’ jika memang begitu.
72. Jangkrik gung wismeng
kêbonan (gangsir), manira ora ‘guming-sir’, bêbasan putrane menda (cêmpe),
‘sakarê-pe’ sun-ladeni, jamang wakul (wêngku) upami, angajak apa ‘sire-ku’, duh
lae putêr wisma (dara), nganggo ‘si-ra’ mêjanani, kênthang rambat (katela)
sanajan rupaku ‘a-la’.
Jangkrik bertubuh besar
berumah dikebun (binatang GANGSIR), diriku tidak akan ‘guming-SIR (mundur)’,
anak kambing (CÊMPE), ‘sakare-PE (semaunya)’ aku layani, mahkota tempat nasi
(WÊNGKU), mau mengajak apa ‘sire-KU (dirimu)’, burung Puter yang suka
dipelihara (burung merpati atau DARA), sehingga ‘si-RA (kamu)’ menghinaku, buah
kentang yang merambat (KÊTELA) walaupun wajahku ‘a-LA (jelek)’.
73. Mênyawak kang sabeng
toya (slira), ‘praka-ra’ mung bantah ilmi, wulu bauning kukila (êlar), kabeh
‘na-lar’ sun tan wêdi, sayêkti pintêr mami, tinimbang lan sira guru, kaca
tumraping netra (têsmak), ora ‘ja-mak’ mejanani, mulwa rêngka (srikaya) yen
sira luru ‘sara-ya’.
Biawak yang suka di-air
(binatang SLIRA), ‘perka-RA’ tentang berdebat ilmu, bulu punggungnya burung
(ÊLAR), segala ‘na-LAR’ (pengetahuan) aku tidak takut, pasti lebih pintar aku,
daripada kalian para guru, kaca untuk mata (kaca mata atau TÊSMAK), ‘ora ja-MAK
(tidak lumrah, sudah melampaui batas)’ penghinaan kalian, buah nangka yang
gampang terbelah (buah SRIKAYA), jika kalian mencari ‘sara-YA (cara)’.
74. Kêmadhuh rujit
godhongnya (rawe), aywa suwe sun-anteni, guru ngêndi srayanira, najan jamhur
luwih wasis, ingsun wani nandhingi, angayoni bantah kawruh, masa ingsun
mundura, yeku karsane Hyang Widdhi, raganingsun yêktine darma kewala.
Daun kemadhuh bergerigi
(RAWE), jangan ‘su-WE (lama)’ aku nantikan, guru mana yang kamu andalkan,
walaupun tersohor dan pintar, aku berani menandingi, melayani berbantah ilmu,
tidak akan aku mundur, karena ini semua kehendak Hyang Widdhi, diriku hanya
sekedar menjalani.
75. Gatholoco sukeng
driya, rêrêpen alon lumaris, miling-miling mung priyangga, dumugi patopan
mampir, manjing mring bambon linggih, ngambil klelet kang kinandhut, saglindhing
dipun untal, ngrasuk badan anyêgêri, kraos gatêl astane ngukur sarira.
Gatholoco suka dihati,
berdendang sembari berjalan pelan, hanya sendirian saja, sampai disebuah tempat
lantas mampir, masuk kedalam tempat madat dan duduk, mengambil candu yang di
bawa, segelintir langsung dimakan, merasuk badan menyegarkan, terasa gatal
tangannya menggaruk tubuh.
_________________
Mas Radhit yuli..mohon maaf...itu yg no 1 - 37 ikut mana ya??..kok ujug2 lgs no 38
BalasHapusTerima kasih
Salam