SERAT GATHOLOCO (6)
Diambil dari naskah asli
bertuliskan huruf Jawa
yang disimpan oleh
PRAWIRATARUNA.
Digubah ke aksara Latin oleh :
RADEN TANAYA
yang disimpan oleh
PRAWIRATARUNA.
Digubah ke aksara Latin oleh :
RADEN TANAYA
1. Pupuh III, Sinom, Pada
(Syair) : 7-13
Yen mungguh
pamêtêkingwang, Balencong tuwa pribadi, sanajan Kêlir pinasang, gamêlan wus
miranti, Dhalang niyaga linggih, yen maksih pêtêng nggenipun, sayêkti durung
bisa, Dhalange anampik milih, nyritakake sawiji-wijining Wayang.
Menurut aku, Balencong
itu lebih tua, walaupun Kêlir (Layar) telah dipasang, gamelan sudah ditata,
Dalang dan para niyaga (penabuh gamêlan beserta sindhen-nya) sudah duduk, akan
tetapi jika masih gelap tempatnya, pasti tidak bisa, Dalang memilah dan
memilih, untuk menceritakan cerita satu-persatu dari tiap jenis wayang.
Kang nonton tan ana
wikan, marang warnanira Ringgit, margane isih pêtêngan, ora kêna den tingali,
yen Balencong wus urip, kanthar-kanthar katon murub, Kêlire kawistara, ing
ngandhap miwah ing nginggil, kanan kering Pandhawa miwah Kurawa.
Yang menonton tak akan
bisa melihat, kepada wujud setiap jenis Wayang, karena masih gelap gulita,
tidak bisa dilihat mata, manakala Balencong sudah dinyalakan, menyala-nyala
terlihat terang, Kêlir (Layar) akan tampak, dimana arah bawah dan arah atas,
dimana kanan dan dimana kiri serta mana Pandhawa mana Kurawa.
Ki Dhalang neng ngisor
damar, bisa nampik lawan milih, nimbang gêdhe cilikira, tumrap marang
siji-siji, watake kabeh Ringgit, pinatês pangucap-ipun, awit pituduhira,
Balencong ingkang madhangi, pramilane Balencong kang luwih tuwa.
Ki Dalang duduk dibawah
pelita, mampu memilah dan memilih, menimbang besar kecilnya, terhadap setiap
jenis, dari perwatakan tiap Wayang, sehingga mampu menyesuaikan ucapannya
(dengan tiap karakter wayang kulit), sebab mendapat petunjuk, dari Balencong
yang menerangi, oleh karenanya Balencong yang lebih tua.
Dene unining gamêlan,
Wayange kang den gamêli, Dhalange mung darma ngucap, si Wayang kang darbe uni,
prayoga gêdhe cilik, manut marang Dhalangipun, sinigêg gangsa ika, Kaki Dhalang
masesani, nanging darma ngucap molahake Wayang.
Sedangkan bunyi gamêlan,
mengiringi gerakan Wayang, Dalang hanya sekedar mengucapkan, dari suara tiap
jenis Wayang, sedang tinggi atau rendah, menurut kehendak Dalang, berhentinya
gamêlan, Ki Dalang yang berkuasa, akan tetapi sesungguhnya Dalang hanya sekedar
mengucapkan dan menggerakkan Wayang sesuai dengan kisah yang telah ditentukan.
Parentahe ingkang
nanggap, ingkang aran Kyai Sêpi, basa Sêpi Tanpa Ana, anane ginêlar yêkti,
langgêng tan owah gingsir, tanpa kurang tanpa wuwuh, tanpa reh tanpa guna,
ingkang luwih masesani, ing solahe Wayang ucape Ki Dhalang.
Kisah yang dikehendaki
oleh orang yang mengundang, yang dinamakan Kyai Sêpi, kata Sêpi berarti Tidak
Ada, akan tetapi Keberadaan-Nya sesungguhnya tergelar, langgeng tak berubah,
tak bisa berkurang dan tak bisa ditambah, tanpa kehendak tanpa sifat, akan
tetapi ada yang lebih berkuasa, diatas gerakan Wayang dan ucapan Ki Dalang.
Ingkang mêsthi
nglakonana, ingkang ala ingkang bêcik, kang nonton mung ingkang nanggap, yeku
aran Kyai Urip, yen damare wus mati, kabeh iku dadi suwung, tan ana apa-apa,
lir Ingsun duk durung lair, têtêp suwung ora ana siji apa.
Yang membuat semua bisa
bergerak, bergerak melakukan perbuatan jelek maupun baik, dari yang melihat hingga
yang mengundang, yaitu Kyai Urip (Kyai Hidup), manakala pelita telah padam,
semua jadi kosong, tidak ada apa-apa, bagaikan Ingsun (Aku) ketika belum
terlahirkan, tetap kosong tidak ada apapun juga.
Basa Kêlir iku Raga,
Wayange Suksma Sujati, Dhalange Rasul Muhammad, Balencong Wahyune Urip, iku
upama Widdhi, Cahyane Urip puniku, nyrambahi badanira, jaba jêro ngandhap
nginggil, Wujudira Wujude Allah Kang Murba.
Layar itu sesungguhnya
adalah Raga ini, Wayang sesungguhnya Suksma Sejati, Dalang sesungguhnya Rasul
Muhammad, Balencong adalah Percikan Hidup, bagaikan Hyang Widdhi sendiri,
Cahaya Hidup tersebut, merata didalam tubuhmu, diluar didalam diatas dan
dibawah, Wujudmu tak lain adalah Wujud Allah Yang Kuasa.
Gatholoco melontarkan
teka-teki kepada ketiga orang Kyai Guru. Diantara empat hal ini, manakah yang
lebih tua? WAYANG, DALANG, KÊLIR (Layar)atau BALENCONG? (Pelita yang dinyalakan
sepanjang malam hingga pagi, khusus untuk mengiringi sebuah pertunjukan Wayang
Kulit ). (Pupuh III, Sinom, Pada (Syair) : 1)
Ahmad Ngarip (‘Arif)
menjawab, bahwa KÊLIR (Layar) jelas paling tua sendiri. Karena sebelum sebuah
pertunjukan Wayang kulit dimulai, KÊLIR (Layar) harus terpasang lebih dahulu.
KÊLIR (Layar) akan dibentangkan segera sebelum semuanya siap sedia. KÊLIR
(Layar) mutlak harus ada terlebih dulu sebelum seluruh WAYANG ditata berjajar
bahkan sebelum satu persatu karakter WAYANG dimainkan. Harus ada sebelum
gamêlan dibunyikan. Harus ada sebelum DALANG duduk menuturkan kisah yang hendak
dibawakan. Bahkan KÊLIR (Layar) juga ada lebih dahulu sebelum BALENCONG
dinyalakan. Oleh karenanya, KÊLIR (Layar) pantas dinyatakan sebagai yang paling
tua. Begitu pendapat Ahmad Ngarip (‘Arif). (Pupuh III, Sinom, Pada (Syair) :
1-2)
Lain lagi pendapat dari
Abdul Jabar. Menurut dia, DALANG-lah yang pantas dianggap sebagai yang paling
tua. Karena, baik KÊLIR (Layar), BALENCONG berikut pula seluruh piranti
perlengkapan untuk sebuah pertunjukkan Wayang Kulit, bahkan WAYANG-nya itu
sendiri-pun, yang berkuasa menata, mengatur juga menjalankan, adalah SANG
DALANG. Oleh karenanya, DALANG patut dianggap lebih tua dari yang lain! (Pupuh
III, Sinom, Pada (Syair) : 2-3)
Abdul Manap (Manaf)
memiliki jawaban sendiri. Dia menganggap WAYANG-lah yang pantas dianggap tua.
Karena bagaimanapun juga, dalam sebuah pagelaran Wayang Kulit, dimanapun
tempatnya dan kapan saja waktu pertunjukkan tersebut digelar, yang
disebut-sebut orang banyak pastilah Pagelaran WAYANG. Bukan Pagelaran DALANG, atau
Pagelaran KÊLIR (Layar) apalagi Pagelaran BALENCONG! (Pupuh III, Sinom, Pada
(Syair) : 4-6)
Gatholoco menyalahkan
semua jawaban dari ketiga Kyai Guru. Dia menyatakan BALENCONG-lah yang paling
tua. Tanpa adanya BALENCONG, tak akan dapat terlihat seluruh piranti
pertunjukan yang sudah tersedia. Tanpa adanya BALENCONG, keberadaan KÊLIR
(Layar), WAYANG bahkan SANG DALANG sendiri, tidak akan dapat diketahui karena
semua dalam kondisi gelap gulita.
Gatholoco menyatakan
lagi, bahwasanya yang dimaksudkannya dengan KÊLIR (LAYAR) tak lain adalah RAGA
atau STHULA SARIIRA atau JASAD MANUSIA Sedangkan WAYANG tak lain adalah SUKSMA
SEJATI atau SUKSMA SARIIRA atau NAFS MANUSIA. SANG DALANG adalah perumpamaan
dari ATMA SARIIRA atau RUH. Dalam bahasa Gatholoco ATMA SARIIRA atau RUH
disebut RASUL MUHAMMAD ( UTUSAN YANG TERPUJI).
BALENCONG tak lain adalah
simbol PURUSHA. Simbol dari MANIFESTASI ILLAHI PERTAMA yang berkehendak
meng-ada-kan seluruh ciptaan ini. Dari PURUSHA-lah KEHENDAK PENCIPTAAN MULA
PERTAMA TERGELAR. Dari PURUSHA-lah seluruh MANIFESTASI ILLAHI KEDUA atau ATMA
atau RUH terpancarkan kedalam BAYANGAN ILLAHI (PRAKRTI, ALAM) . Dan dari
KEHENDAK PURUSHA-lah PRAKRTI terus mengembang menciptakan ciptaan-ciptaan baru
BALENCONG-lah yang
memberikan TERANG kepada DALANG. Dan DALANG memberikan KESADARAN kepada WAYANG.
Sedangkan KÊLIR (LAYAR) hanya sekedar menjadi wahana terjadinya seluruh cerita
yang dikisahkan.
PURUSHA-lah yang
memberikan KESADARAN kepada ATMA SARIIRA atau RUH. ATMA SARIIRA atau RUH yang
memberikan KESADARAN kepada SUKSMA SARIIRA atau NAFS. Sedangkan STHULA SARIIRA
atau JASAD, hanya sekedar menjadi ‘tempat’ ter-realisasi-nya seluruh aktifitas
tersebut.
BALENCONG (PURUSHA)
adalah PERCIKAN DARI SANG HIDUP atau BRAHMAN. BALENCONG (PURUSHA) adalah juga
DUPLICATE dari SANG HYANG WIDDHI atau BRAHMAN (Balencong Wahyune Urip, iku
upama Widdhi : Balencong adalah Percikan Hidup, bagaikan Hyang Widdhi sendiri)!
Sedangkan GAMÊLAN dan
PARA NIYAGA (PENABUH GAMÊLAN) berikut PARA PENONTON ibarat OBYEK-OBYEK
KENIKMATAN DUNIAWI yang akan selalu terus menghanyutkan tingkah polah WAYANG
(SUKSMA SARIIRA). Tergantung KESADARAN SANG DALANG (ATMA SARIIRA) untuk
memutuskan, apakah WAYANG (SUKSMA SARIIRA) yang ada dalam genggaman tangannya
akan terus terpengaruh dan terlarut oleh BUNYI GAMÊLAN (OBYEK-OBYEK KENIKMATAN
DUNIAWI) dan TEPUK SORAK PENONTON sehingga lupa memfokuskan diri kearah USAINYA
PERTUNJUKAN KEHIDUPAN. Ataukah KESADARAN SANG DALANG (ATMA SARIIRA) akan
mengolah pertunjukan secara apik dan tepat waktu sehingga segera USAI PULA
SELURUH PERTUNJUKAN KEHIDUPAN yang tengah dikisahkannya.
Jika ATMA SARIIRA TELAH
BANGKIT KESADARANNYA, segera Dia akan berusaha merampungkan KISAH KEHIDUPANNYA
SECARA APIK. Jika ATMA SARIIRA TIADA KUNJUNG BANGKIT KESADARANNYA, maka KISAH
KEHIDUPANNYA AKAN MENJADI PANJANG DAN TAK KUNJUNG USAI! ATMA SARIIRA YANG TIDAK
SADAR-SADAR, akan terus asyik memainkan SUKSMA SARIIRA dan terus terlarut dalam
GELIMANG OBYEK-OBYEK KENIKMATAN DUNIAWI! ATMA SARIIRA yang semacam ini akan
terus TERJERAT DALAM PROSES KELAHIRAN DAN KEMATIAN YANG BERULANG-ULANG TANPA
BERKESUDAHAN! (Pupuh III, Sinom, Pada (Syair) : 10)
ATMA SARIIRA sendiri
terpaksa akan masih terikat oleh HUKUM ALAM. Sebuah HUKUM SEMESTA yang
absolute. Sebuah HUKUM PENUH KENISCAYAAN yang mengatur seluruh jalannya cerita
kehidupan ini. Sebuah HUKUM SEBAB-AKIBAT-AKSI-REAKSI. HUKUM KARMAPHALA. Selama
ATMA SARIIRA masih terjerat OBYEK-OBYEK KENIKMATAN DUNIAWI, TERJERAT DUALITAS
DUNIAWI, selama itu pula ATMA SARIIRA masih akan terkena HUKUM SEBAB AKIBAT!
Gatholo mengumpamakan,
bahwa DALANG -pun harus tunduk kepada ORANG YANG MENGUNDANG. YAITU ORANG YANG
PUNYA HAJAT. APA KISAH YANG DIMINTA, ITU JUGA YANG HARUS DIMAINKAN. Dalam
bahasa Gatholoco, ORANG YANG PUNYA HAJAT disebut KYAI SÊPI.
KYAI SÊPI tak lain adalah
ALAM SEMESTA! Tak lain adalah PRAKRTI, BAYANGAN BRAHMAN! ALAM SEMESTA -lah yang
mengarahkan jalannya cerita nasib manusia. ALAM SEMESTA -lah yang menumbuhkan
BUAH KARMA. WALAUPUN SESUNGGUHNYA, NASIB SETIAP MANUSIA ITU YANG MERANGKAI DAN
MENGUNTAINYA TAK LAIN ADALAH MANUSIANYA ITU SENDIRI. ALAM SEMESTA HANYA SEKEDAR
MEREKAM DAN MENUMBUHKANNYA SEMATA!
ALAM SEMESTA sesungguhnya
TANPA KESADARAN. ALAM SEMSETA ibarat sebuah MESIN SUPER CANGGIH yang terus
bekerja merekam seluruh aktifitas manusia. Aktifitas yang BAIK maupun yang
BURUK. Dan pada ujungnya, menumbuhkan buah aktifitas tersebut dalam bentuk
rangkaian TAKDIR bagi manusia itu sendiri! Oleh karenanya Gatholoco
menggambarkan bahwasanya KYAI SÊPI itu seolah TIDAK ADA (Maksudnya SEOLAH TIDAK
MELAKUKAN AKTIFITAS MEREKAM DAN MENUMBUHKAN BUAH KARMA). AKAN TETAPI
KEBERADAANYA TERGELAR NYATA (Maksudnya ALAM SEMESTA INI NYATA BEKERJA MEREKAM
DAN MENUMBUHKAN BUAH KARMA)! SESUNGGUHNYA DIA-PUN LANGGENG JUGA, DIA TAK
BERUBAH, TAK BISA DITAMBAH DAN TAK BISA DIKURANGI. DIA TANPA KEHENDAK SENDIRI
DAN TAK MEMILIKI KESADARAN SENDIRI. ALAM SEMESTA HANYALAH BAYANGAN BRAHMAN!
Diatas itu semua, ada
yang lebih berkuasa. Gatholoco menyebutnya KYAI URIP atau HIDUP! KYAI URIP tak
lain adalah BRAHMAN YANG MUTLAK! SUMBER ABADI KEHIDUPAN SEMESTA RAYA! INTI
SEJATI SELURUH MAKHLUK! ASAL DAN TUJUAN SELURUH MAKHLUK! SUMBER MAHA ENERGI
YANG TANPA PRIBADI! YANG MELAMPAUI SEGALANYA! YANG BERADA DIMANA-MANA! YANG
ADALAH SEGALANYA! KEBERADAAN, KESADARAN, KEBAHAGIAAN SEJATI! KESEIMBANGAN
MURNI! YANG ADALAH KEMUTLAKAN ABSOLUT!
DAN SEJATINYA, KÊLIR
(STHULA SARIIRA), WAYANG (SUKSMA SARIIRA), DALANG (ATMA SARIIRA), YANG MENONTON
BERIKUT YANG MENABUH GAMÊLAN (OBYEK-OBYEK KENIKMATAN DUNIAWI), KYAI SÊPI (ALAM
SEMESTA/PRAKRTI BERIKUT HUKUM KARMAPHALA-NYA) DAN BALENCONG (PURUSHA), SEMUANYA
ADALAH MANIFESTASI KYAI URIP (BRAHMAN) ITU SENDIRI! (Pupuh III, Sinom, Pada
(Syair) : 5-6)
Gatholoco sesungguhnya
hendak mengajarkan RAHASIA ILMU SEJATI kepada mereka-mereka yang masih juga
terjerat konsep keber-agama-an kulit! Mereka-mereka yang terbiasa membedakan
mana SAKRAL dan mana PROFAN berlebihan! Mereka-mereka yang berputar-putar pada
keyakinan bahwa TUHAN tercerabut dari MANUSIA. Keyakinan bahwa TUHAN dan
MANUSIA adalah dua sosok pribadi berbeda. Yang satu dilangit nan jauh disana,
yang satu berdiam dibumi dengan kenelangsaan sebagai budak yang siap dimainkan
dan diatur-atur sekehendak hati oleh Dia yang ada diatas langit itu! Budak yang
setiap saat bisa diangkat derajatnya ataupun diperhinakan tanpa ada alasan yang
jelas! Budak yang harus terus taat dan manut nurut. Budak yang akan
diiming-imingi Surga jika patuh dan akan diancam dengan siksaan Neraka jika
tidak patuh! Konsep ke-Tuhan-an yang sangat membelenggu dan tradisional (walau
diklaim paling modern) semacam ini, dikritik secara berani oleh seorang filsuf
Eksistensialisme, Friedrich W. Nietzsche dalam karyanya ZARATUSTRA, bahwa SOSOK
TUHAN YANG SEMACAM INILAH PENGHALANG MANUSIA MENCAPAI TINGKATAN UEBERMENCH atau
Manusia Agung. Sosok Tuhan semacam ini, menurut Nietzsche SUDAH MATI ! Lantang
dia meneriakkan GOTT IST TOT (TUHAN TELAH MATI) !
Nietzsche berteriak
beberapa puluh tahun lalu tentang UEBERMENCH. Gatholoco berteriak empat ratus
tahun lalu tentang LANANG SUJATI. Syeh Siti Jenar berteriak enam ratus tahun
lalu tentang INGSUN PANGERAN SEJATI, JATINING PANGERAN MULYA. Sidharta Gautama
berteriak dua ribu lima ratus tahun yang lalu tentang BUDDHA dan Rsi Wyaasa
berteriak lima ribu tahun yang lalu dalam Brahmasutra tentang AHAM BRAHMASMI.
Teriakan mereka tiada beda walaupun masa kehidupan mereka terpaut rentang waktu
yang jauh! Tapi mengapa masih juga tidak ada yang mendengar? Mengapa darah
masih saja terus tumpah?
Gatholoco hendak
mengajarkan kepada mereka-mereka yang terus menerus tercekam ketakutaan tak
beralasan (Phobia) akan KUASA TANDINGAN TUHAN YANG BERNAMA IBLIS. Sehingga
sering disibukkan dengan pemilahan INI DARI TUHAN, INI DARI IBLIS. INI AJARAN
TUHAN, INI AJARAN IBLIS. INI SURGA TUHAN, INI SURGA IBLIS. INI UMAT TUHAN, INI
UMAT IBLIS, bahkan membedakan INI AGAMA TUHAN, INI AGAMA IBLIS. (Walau
diperhalus dengan ungkapan INI AGAMA LANGIT DAN INI AGAMA BUMI)!
KETAHUILAH! TIDAK ADA
AJARAN DARI IBLIS, YANG ADA ADALAH AJARAN YANG BERASAL DARI EGOISME DAN
KESERAKAHAN MANUSIA! ITULAH AJARAN SESAT DAN MENYESATKAN!
Gatholoco hendak
mengajarkan bahwa seluruh semesta ini BERASAL DARI YANG SATU. BAHKAN BUKAN
HANYA ITU SAJA, GATHOLOCO HENDAK MENGAJARKAN PULA BAHWA SESUNGGUHNYA SELURUH
SEMESTA INI BERIKUT MAKHLUK YANG BERKERIAPAN DIDALAMNYA ADALAH SATU KESATUAN
YANG TAK TERPISAHKAN! TAT TWAM ASI (ENGKAU ADALAH AKU JUGA)! TUNGGAL ADANYA!
Hal ini ditegaskan dalam
syair ke-13 diatas.
Cahyane Urip puniku, nyrambahi badanira, jaba jêro ngandhap nginggil, Wujudira Wujude Allah Kang Murba. (Cahaya Hidup tersebut, merata didalam tubuhmu, diluar didalam diatas dan dibawah, Wujudmu tak lain adalah Wujud Allah Yang Kuasa.)!
Cahyane Urip puniku, nyrambahi badanira, jaba jêro ngandhap nginggil, Wujudira Wujude Allah Kang Murba. (Cahaya Hidup tersebut, merata didalam tubuhmu, diluar didalam diatas dan dibawah, Wujudmu tak lain adalah Wujud Allah Yang Kuasa.)!
TAK HARUS ADA SEKUMPULAN
SPESIES MAKHLUK HIDUP YANG PATUT DIMUSUHI! TUHAN TAK PERNAH MENGAJARKAN
PERMUSUHAN DAN KEBENCIAN KEPADA MAKHLUK LAIN! TUHAN HANYA MENGAJARKAN KASIH!
KASIH YANG TANPA PANDANG BULU! BUKAN KASIH YANG PILIH-PILIH ALIAS PILIH KASIH!
Yang patut diwaspadai
adalah SUKSMA SARIIRA ini. Karena didalam SUKSMA SARIIRA ini, terdapat AHAMKARA
(EMOSI NEGATIF), MANAH (PIKIRAN LIAR) dan CITTA (MEMORI-MEMORI TRAUMATIK) .
Namun ada pula yang dinamakan BUDDHI (KESADARAN RELATIF). BUDDHI adalah
KESADARAN ATMA yang tinggal sedikit karena terbelenggu oleh AHAMKARA, MANAH DAN
CITTA. Perkuat BUDDHI ini, agar tidak terpengaruh oleh AHAMKARA, MANAH DAN
CITTA. Jadikan BUDDHI sebagai pengendali ketiga unsur SUKSMA SARIIRA yang lain
tersebut!
AHAMKARA, MANAH DAN
CITTA, ITULAH SETAN YANG SESUNGGUHNYA!
Keempat unsur SUKSMA
SARIIRA inilah sesungguhnya yang dimaksud oleh leluhur Jawa jaman Shiwa Buddha
dengan istilah SADULUR PAPAT KALIMA PANCÊR (SAUDARA EMPAT KELIMA PUSAT), yaitu
KAKANG KAWAH (BUDDHI), ADHI ARI-ARI (MANAH), GÊTIH (AHAMKARA) dan PUSÊR (CITTA)
. Sedangkan PANCÊR (PUSAT) tak lain adalah ATMA SARIIRA kita!
Konsep ini dikembangkan
dalam ajaran Islam Kejawen seiring keruntuhan Majapahit, dengan mengambil kosa
kata Arab, untuk menggantikan kosa kata yang berbau Weda dan berbau Jawa asli,
yaitu MUTMAINAH (untuk menggantikan kosa kata KAKANG KAWAH/BUDDHI), SUFIYYAH
(untuk menggantikan kosa kata ADHI ARI-ARI/MANAH), AMARAH (untuk menggantikan
kosa kata GÊTIH/AHAMKARA) dan LUWWAMAH (untuk menggantikan kosa kata
PUSÊR/CITTA). Lantas dikenalah istilah NAPSU PATANG PRAKARA (PRIBADI EMPAT
MACAM).
Kosa kata Jawa masih
tetap bertahan, tapi kosa kata Weda, sudah dikikis habis dan tidak lagi dikenal
oleh masyarakat Jawa pada umumnya hingga detik ini.
Pelampauan AHAMKARA,
MANAH dan CITTA , mutlak diperlukan. Manakala sudah mampu kita lampaui, BUDDHI
akan bersinar terang! Begitu BUDDHI telah termurnikan, maka KESADARAN akan
meningkat pesat. Dan dalam proses lompatan peningkatan KESADARAN ini, BUDDHI
itu sendiri, KESADARAN RELATIF itu sendiri, akan lenyap dalam ATMA SARIIRA .
Dan ATMA SARIIRA akan memperoleh kembali KESADARAN MURNI-NYA !
ATMA SARIIRA yang telah TERJAGA TOTAL ini, sebenarnya sudah bukan lagi bisa disebut ATMA. ATMA SARIIRA yang sudah MELEK SEMPURNA ini, sesungguhnya tak lain adalah BRAHMAN itu sendiri! SIDHARTA GAUTAMA, KRISHNA dan JESUS sudah mengalaminya. Lantas mengapa anda mempermasalahkan jika ada yang menyembah SIDHARTA, KRISHNA atau JESUS ?
ATMA SARIIRA yang telah TERJAGA TOTAL ini, sebenarnya sudah bukan lagi bisa disebut ATMA. ATMA SARIIRA yang sudah MELEK SEMPURNA ini, sesungguhnya tak lain adalah BRAHMAN itu sendiri! SIDHARTA GAUTAMA, KRISHNA dan JESUS sudah mengalaminya. Lantas mengapa anda mempermasalahkan jika ada yang menyembah SIDHARTA, KRISHNA atau JESUS ?
Tinggal selangkah lagi.
Manakala ATMA SARIIRA sudah lenyap dalam SAMUDERA ENERGI PURNA , manunggal
total dengan BRAHMAN , maka tiada lagi terbedakan mana ATMA mana BRAHMAN.
TUNGGAL ADANYA . Gatholoco menggambarkan : ………..yen damare wus mati, kabeh iku
dadi suwung, tan ana apa-apa, lir Ingsun duk durung lair, têtêp suwung ora ana
siji apa. (manakala pelita telah padam, semua jadi kosong, tidak ada apa-apa,
bagaikan Ingsun (Aku) ketika belum terlahirkan, tetap kosong tidak ada apapun
juga.)
Dan yang ‘ada’ hanyalah
‘YANG ADA’ itu sendiri. Tiada lagi ‘ada’ yan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar