SERAT GATOLOCO
admin on Sun
Jul 04, 2010 7:10 am
SERAT GATHOLOCO (11)
Diambil dari naskah asli bertuliskan huruf Jawa
yang disimpan oleh
PRAWIRATARUNA.
Digubah ke aksara Latin oleh :
RADEN TANAYA
Diambil dari naskah asli bertuliskan huruf Jawa
yang disimpan oleh
PRAWIRATARUNA.
Digubah ke aksara Latin oleh :
RADEN TANAYA
PUPUH V
Asmaradana
Asmaradana
1.Rehning sira wis
ngakoni, benjang lamun sira pêjah, rasakna badanmu kuwe, kalawan cahyamu
gêsang, obah-osiking manah, anggawa lapal Suksmamu, munggah mring suwarga loka.
Karena kamu sudah
mengakui, kelak manakala kamu meninggal, Rasa badanmu (Sthula Sariira/Jasad),
berikut Cahaya Hidup (Atma Sariira/Ruh), serta segala sensasi pikiranmu,
terbawa pula Suksma (Suksma Sariira/Nafs)mu, naik ke Surga.
2.Sang Ijaril ingkang
ngirid, sowan ngarsane Hyang Suksma, yen mangkono sira kuwe, ora ngamungna neng
dunya, olehmu dadi bangsat, aneng akherat dadi pandung, anggawa dudu duweknya.
Sang (Malaikat) Izrail
yang mengiringi, menghadap kepada Hyang Suksma (Tuhan Maha Gaib), jika memang
begitu dirimu, tidak hanya didunia saja, dirimu menjadi maling, diakherat-pun
kamu menjadi maling, karena mengakui menghadapkan sesuatu yang bukan milikmu
(tapi kamu akui sebagai hak milik). (Maksudnya makhluk ini semua adalah ‘nihil’
alias ‘tidak ada’. Karena semua ini adalah perwujudan Tuhan. Lantas jika merasa
memiliki personalitas terpisah dengan Tuhan, bukankah itu illusi? Seseorang
yang mengaku memiliki personalitas sendiri yang terpisah dengan Tuhan,
mengklaim punya asset pribadi, berarti sama saja dengan seorang maling, yang
mengklaim sesuatu yang bukan miliknya. Dan lagi bagaimana bisa meng-klaim jika
‘diri-nya’ itu sendiri ‘tidak ada’?)
3.Sira aneng dunya iki,
kadunungan barang gêlap, ora tuku ora nyileh, sira anggo sabên dina, ing mangka
aneng akherat, anggawa dudu duwekmu, dunya-kherat dadi bangsat.
Didunia ini dirimu,
ketempatan barang gelap, tidak beli tidak pinjam, kamu pakai tiap hari,
sedangkan diakherat nanti, tetep kamu merasa memiliki yang bukan milikmu, dunia
akherat kamu maling!
4.Tanpa gawe
jungkar-jungkir, nêmbah salat madhep keblat, clumak-clumik kumêcape, angapalake
alip lam, têgêse iku lapal, angawruhana asalmu, urip prapteng kailangan.
Tak ada guna jumpalitan
(dalam sembahyang), mendirikan shalat menghadap kiblat, komat-kamit bibirnya,
menghafalkan alif lam (maksudnya doa-doa), sesungguhnya makna dari ayat-ayat
yang kamu baca (itulah yang harus kamu resapi, bukan hanya sehedar dihafal dan
dibaca), karena dari ayat-ayat tersebut kamu akan mengetahui asal, dan tujuan
hidup-mu.
5.Sireku kaliru tampi,
ngawruhi asale wayah, subuh luhur myang asare, mahrib lawan bakda isak, sayêkti
tanpa guna, sipat urip duwe irung, padha wêruh marang wayah.
Dirimu salah mengerti,
sangat-sangat mematuhi waktu-waktu shalat, mulai subuh dzuhur hingga ashar,
maghrib dan isya’, sungguh tanpa guna, selayaknya hidup memiliki hidung
(maksudnya kepekaan Kesadaran), untuk memahami makna shalat.
6.Yen mangkono sira kuwi,
mung mangeran marang wayah, tan mangeran Ingkang Gawe, lamun bêngi sarta awan,
pijêr kêtungkul wayah, ora mikir mring awakmu, urip prapteng kailangan.
Jikalau demikian dirimu
(yang hanya sekedar mematuhi waktu shalat dan tidak memahami makna dari shalat
itu sendiri), hanya ber-tuhan-kan saat-saat shalat semata, tidak ber-Tuhan-kan
yang membuat waktu, siang dan malam hanya, berfokus mematuhi waktu-waktu shalat
semata, tidak meniti ke dalam diri, untuk memahami asal kehidupan dan tujuannya.
7.Rasane badanmu kuwi,
kagungane Rasulullah, cahyane uripmu kuwe, kagunganira Pangeran, obah-osiking
manah, Muhammad kang nggawa iku, duwekmu amung pangrasa.
Rasa badanmu itu (Sthula Sariira/Jasad),
milik/perwujudan Rasulullah (maksudnya Ruh atau Atma), Cahaya hidup (Atma
Sariira/Ruh)-mu itu, milik/perwujudan Pangeran (Tuhan/Brahman/Allah), segala
gerak-gerik batinmu (maksudnya Suksma Sariira/Nafs), Muhammad yang menggenggam
(Muhammad maksudnya juga Ruh atau Atma), milikmu hanya ‘Perasaan
memiliki/Illusi’ saja!
(Jika Jasad ini
milik/perwujudan Rasulullah (Ruh), Ruh milik/perwujudan Allah, Nafs
milik/perwujudan Muhammad (maksudnya Ruh juga), sedangkan Allah, Muhammad dan
Rasul itu tak lain adalah Allah juga, lantas apa yang hendak kita anggap
sebagai personalitas makhluk jikalau semua ini adalah PERWUJUDAN ALLAH? Hanya
Illusi saja yang menjadi milik para makhluk. ILLUSI MERASA DIRINYA ADALAH
ENTITAS YANG TERPISAH DENGAN SEMESTA BAHKAN DENGAN TUHAN ITU SENDIRI!)
8.Mangka sira gawa kuwi,
ora sira ulihêna, balekna marang Kang Duwe, yen sira maksih anggawa, titipan
tri prakara, apa sira ora lampus, Kyai Guru duk miyarsa.
Sedangkan apa yang kamu
akui itu (bahwa memiliki personalitas tersendiri dengan Tuhan), tetap juga
tidak kamu kembalikan (maksudnya tetap ber-Kesadaran seperti itu), kepada Dia
Yang Memiliki, jika kamu masih juga memegang (maksudnya tetap tidak mau membuka
Kesadaran) dan masih juga mengaku memiliki Triprakara (Tiga Unsur ~ Ruh/Atma,
Nafs/Suksma dan Jasad/Sthula) sendiri, akan abadikah dirimu kelak? Kyai Guru
begitu mendengar (semua yang diuraikan Gatholoco).
9.Kethune binanting siti,
muring-muring ngucap sora, Mring ngêndi nggonku ngulihke, ingsun tan rumasa
nyêlang, titipan tri prakara, Gatholoco gya gumuyu, Sira urip tanpa mata.
(Kyai Guru) seketika
membanting kethu (kopiah)-nya ke tanah! Marah-marah dan berkata kasar, Kemana
aku mau mengembalikan!! Aku tidak merasa telah meminjam, titipan Triprakara
tadi, Gatholoco tertawa geli (mendapati yang diajak dialog tidak memahami
maksudnya namun malah marah-marah), Kamu memang hidup tanpa mata (maksudnya
Kesadarannya buta)!
10.Upama Padhanging Rawi,
asalira saking Surya, sirna kalawan Srêngenge, kalamun Padhange Wulan, asale
saking Wulan, sirnane kalawan Santun, bali maneh asalira.
Seandainya Cahaya
Matahari, yang berasal dari Surya, akan terserap musnah hilang kedalam Matahari
kembali, seandainya Cahaya Rembulan, yang berasal dari Rembulan, akan terserap
musna hilang kedalam Rembulan, kembali keasalnya lagi!
11.Kasan Bêsari nauri,
Krana ngapa Rasanira, lan Cahyamu Urip kuwe, myang obah-osiking manah, tan sira
ulihêna, marang Kang Kagungan iku, Gatholoco asru nyêntak.
Kasan Bêsari (Hassan
Bashori) berkata, Lantas sekarang mengapa Rasa Badanmu (Jasad/Sthula Sariira),
beserta Cahaya Hidup (Ruh/Atma Sariira)-mu, berikut Gerak batin (Nafs/Suksma
Sariira)-mu, tidak kamu kembalikan (maksudnya masih terlihat nyata dan belum
musnah) kepada Yang Mempunyai ? Gatholoco keras membentak.
12.Ingsun iki ora wani,
ngulihake durung masa, yen tan ana pamundhute, ingsun wêdi bok kinira, anampik
sihireng Hyang, manawa nêmu sêsiku, sireku kaliru tampa.
Aku tidak berani,
memusnahkan ini semua karena belum saatnya, jika tanpa ada permintaan (dari
Yang Mempunyai Perwujudan), aku takut nanti dianggap, menolak kasih Hyang
(Tuhan), dan akan mendapatkan balak, sungguh kamu yang sebenarnya tidak paham!
(Tidak paham akan maksud Gatholoco akan makna ‘Mengembalikan’ seperti yang telah
diuraikannya diatas).
13.Kang kasêbut kitab
mami, pan saking Nabi Muhammad, Kyai Guru pangucape, Salat witri iku iya, salat
sakobêrira, Gatholoco alon muwus, sireku kaliru tampa.
Menurut Kitab-ku, yang
berasal dari Nabi Muhammad, Kyai Guru berkata lagi, Shalat witir adalah, shalat
yang tidak terikat waktu (maksud Kyai Hassan Bashori ada juga shalat yang tidak
harus berfokus pada waktu, yaitu shalat witir. Jadi salah jika Gatholoco
menganggap dirinya terlau mengagung-agungkan waktu), Gatholoco menjawab, Sekali
lagi dirimu tidak paham!
14.Yen mangkono sira
kuwi, dudu umat Rasulullah, dene sira ngestokake, sarengate Nabi lima, êndi
panêmbahira, mring Nabi Muhammad iku, Kyai Guru saurira.
Bahkan lagi dirimu,
bukanlah ummat Rasulullah, karena dirimu meyakini, dan mengikuti tingkah laku
lima Nabi, mana shalat yang kamu jadikan untuk mengingat-ingat akan keagungan,
dari Nabi Muhammad? (Ada keyakinan beberapa aliran agama Islam, bahwasanya
shalat Subuh itu meniru Nabi Adam, manakala diturunkan di dunia, belum tahu
mana arah mata angin, lantas ketika matahari terbit, Nabi Adam bersujud syukur
karena tahu mana arah Timur. Lantas shalat Dzuhur, meniru Nabi Nuh, shalat
Ashar meniru Nabi Ibrahim, shalat Maghrib, meniru Nabi Musa dan Shalat Isya’,
meniru Nabi Isa, dan rupanya keyakinan inilah yang dianut oleh Kyai Hassan
Bashori, lawan debat Gatholoco), Kyai Guru menjawab.
15.Sêmbahingsun salat
witri, iya ing samasa-masa, Gatholoco pamuwuse, Sira iku santri blasar, mangka
Nabi Muhammad, têtela Nabi Panutup, tunggule nabi sadaya.
Untuk mengingat Nabi
Muhammad adalah shalat Witir, tidak terikat waktu! Gatholoco berkata, Kamu
santri tersesat, padahal Nabi Muhammad, jelas-jelas Nabi Penutup, penutup
seluruh Nabi.
16.Parentahe ora sisip,
wus kapacak aneng kitab, ingkang salah sira dhewe, kinen sujud kaping lima,
rina wêngi mangkana, esuk-esuk wayah Subuh, sujud tumrap maring Adam.
Setiap perintahnya tidak
keliru, sudah jelas didalam semua kitab, yang salah memaknai adalah dirimu
sendiri, diperintahkan sujud lima kali sehari, siang dan malam, pada saat pagi
hari waktu Subuh, sujud kepada Adam.
17.Iku dudu Adam Nabi,
adam suwung sujudana, kang suwung langgêng anane, marmanira sinujudan, dene
luwih kuwasa, ngilangake pêtêng iku, kagênten padhanging surya.
Sesungguhnya bukan Adam
Nabi, Adam berarti ‘Kosong’ dan sujudlah, kepada Yang Maha Kosong dan Yang
Abadi Ada-Nya (tersebut), oleh sebab mengapa wajib untuk bersujud, karena Yang
Maha Kosong sungguh berkuasa, menghilangkan kegelapan, dan menggantikannya
dengan terang. (Maksudnya Yang Maha Kosong mampu memberikan terang kepada
Kesadaran semua makhluk dan mampu mengusir semua kegelapan batin).
18.Panase saya ngluwihi,
saking kuwasaning Allah, surya iku darma bae, sakehe manusa dunya, samya susah
sadaya, krana saking panasipun, Nabi Muhammad parentah.
Menjelang tengah hari
(maksudnya dalam pengembaraan Ruh didunia fana) panasnya sangat-sangat menyiksa
(maksudnya dualitas dunawi sangat membelenggu Ruh), karena kuasa Allah,
Matahari hanya sarana semata (maksudnya dualitas hanya sarana menggembleng
Kesadaran Ruh saja), seluruh manusia/makhluk didunia, sangat menderita
(terombang-ambing dualitas dunia), karena sangat-sangat panasnya, Nabi Muhammad
memerintahkan.
19.Marang umatira sami,
supaya padha sujuda, marang Kang Murbeng alame, tatkala patang rakangat, kabeh
padha nuwuna, mring sudane panas iku, lan sudane dosanira.
Kepada seluruh ummatnya,
agar ditengah hari bersujud, kepada Yang Menguasai Alam (Dualitas), sebanyak
empat raka’at, seluruh ummat diperintahkan untuk memohon, agar mengurangi panas
(penderitaan) duniawi, berikut memohon agar dilebur segala dosa-dosa (seluruh
karma buruk)-nya.
20.Lan padha nuwuna
maning, linanggêngna kaluhuran, kaya luhure srêngenge, pramilane lama-lama,
tumurun saya andhap, daya asrêp panasipun, wong akeh ngarani Ngasar.
Dan juga agar memohon,
tetap mendapat keluhuran (Tingginya Kesadaran), bagaikan luhur (tinggi)-nya
matahari kala tengah hari, lantas sedikit demi sedikit, matahari turun semakin
rendah, panasnya mulai berkurang (lambang penderitaan berganti dengan
kesenangan), semua orang menamakan waktu Ashar.
21.Nabi Muhammad ningali,
parentah mring umatira, supayane sujud maneh, sarta padha nênuwuna, langgêng
ananing Suksma, lan padha nuwuna iku, linanggêngna kaluhuran.
Nabi Muhammad melihat,
lantas memerintahkan kepada ummatnya, agar kembali bersujud, dan agar memohon,
kepada Hyang Suksma (Tuhan Maha Gaib), agar tetap langgeng (Ketinggian
Kesadarannya walau penderitaan tengah berganti dengan kegembiraan).
22.Pangeran Kang Maha
Luwih, angganjar ing asorira, linanggêngna kamulyane, dadine bisa kalakyan,
tumurun saya andhap, mulane ngaranan surup, sira padha sumurupa.
Tuhan Yang Maha Kuasa,
mampu menganugerahkan kemuliaan dan kehinaan (Kesadaran), semoga senantiasa
langgeng kemuliaan Kesadaran, agar bisa selamat sampai tujuan (Moksha/Jannatun
Firdaus), semakin turun matahari, dinamakan ‘surup’ (sore), karena maksudnya
‘sumurupa’ (ketahuilah)!
23.Kuwasanira Hyang
Widdhi, bisa gawe pêtêng padhang, gawe unggul lan asore, kang padhang têgêse
gêsang, kang pêtêng iku pêjah, Nabi Muhammad andulu, parentah mring umatira.
Akan kekuasaan Hyang
Widdhi, yang mampu membuat gelap dan terang, mampu membuat tinggi dan rendah,
yang ‘terang’ maksudnya ‘Hidup’, yang ‘gelap’ maksudnya ‘Mati’, (Manusia
disebut Hidup manakala telah mencapai Terang Sejati, dan manusia disebut ‘Mati’
manakala masih terikat jerat duniawi dan lahir berulang-ulang di alam fisik
ini), Nabi Muhammad melihat, lantas kembali memerintahkan kepada ummatnya.
24.Den purih sujuda
maning, marang Ingkang Murbeng alam, dene luwih kuwasane, bisa gawe pêtêng
padhang, lan gawe pêjah gêsang, bilahi asor lan unggul, lama-lama kang baskara.
Agar kembali bersujud,
kepada Yang Menguasai Alam (Dualitas), karena kuasa-Nya, mampu membuat gelap
dan terang, membuat mati dan hidup, hina dan mulia (Dualitas duniawi),
lama-lama matahari.
25.Jagade datan kaeksi,
pêtênge saya katara, amratani jagad kabeh, manusane alam dunya, rumasa
kasusahan, krana saking pêtêngipun, amarga suruping surya.
Dunia tak terlihat,
kegelapan semakin merebak, merata diseluruh jagad, seluruh makhluk, merasa
sedih, disebabkan karena kegelapan tersebut, gelap karena hilangnya matahari.
(Lambang dari kegelapan Kesadaran karena pengaruh dualitas duniawi).
26.Sagunge umat nuruti,
nênuwun marang Pangeran, kanthi nangis panuwune, mulane ngaranan Ngisa, tegese
Anangisa, marang Ingkang Murbeng Luhur, Nênuwun supaya padhang.
Seluruh ummat menurut,
memohon kepada Tuhan, dengan isak tangis, makanya (bagi orang Jawa) menyebut
waktu shalat sehabis mahgrib adalah Ngisa, karena saat kegelapan Kesadaran
adalah saat untuk ‘Anangisa’ (Menangislah), kepada Yang Menguasai Keluhuran
(Ketinggian), memohon supaya agar tetap diberikan terang (Kesadaran).
27.Kagênten padhanging
sasi, sakehe manusa suka, uninga wulan cahyane, padhang sarta ora panas, cacade
mung pisahan, mulane ingaran santun, santun warna sabên dina.
Terang yang digantikan
oleh terangnya Rembulan (maksudnya dalam kegelapan Kesadaran, terang yang
reduppun sudah cukup daripada gelap gulita tanpa cahaya Kesadaran), seluruh
makhluk bisa sedikit bersuka cita, melihat Rembulan dan cahayanya, walau terang
tiada panas, walaupun tidak stabil, makanya disebut ‘santun’ (Berubah), karena
cahaya Rembulan (cahaya Kesadaran yang redup ditengah kegelapan), berubah-rubah
setiap hari. (Tidak stabil).
(Rembulan disebut juga
‘Santun’ yang artinya ‘Berubah-rubah/Tidak stabil’ oleh orang Jawa, maksudnya
Rembulan dilambangkan sebagai Kesadaran yang redup. Dan Kesadaran yang redup
sangat tidak stabil).
28.Têgêse sasi samya sih,
Kyai Guru aris mojar, kitab apa pathokane, Gatholoco angandika, Barulkalbi
arannya, mangrêtine Barul: Laut, dene Kalbi iku Manah.
Arti ‘Sasi’ (padanan kata
Rembulan/Santun) adalah ‘SA-mya SI-h’ (Semua Kasih ~ maksudnya walaupun
ditengah kegelapan sekalipun, tetaplah menebarkan Kasih. Walaupun ditengah
Kesadaran redup karena pengaruh penderitaan duniawi, tetaplah mengedepankan
Kasih), Kyai Guru pelan bertanya, Dari Kitab apa semua yang kamu uraikan tadi?
Gatholoco menjawab, (Kitab) Barulkalbi (Bahri Al-Qalbi), Bahri artinya
Samudera, sedangkan Qalbi artinya Hati/Kesadaran.
29.Ati kang kaya jaladri,
tanpa watês jero jêmbar, lan maneh akeh isine, Kasan Bêsari têtannya, sira ora
sêmbahyang, Gatholoco aris muwus, sêmbahyang langgêng tan pêgat.
Hati/Kesadaran yang luas
seluas Samudera, tiada batas tiada terukur dalam dan luasnya, dan sangat-sangat
banyak terkadung isi mutiara, Kasan Besari (Hassan Bashori) bertanya, Kamu
menjalankan shalat? Gatholoco pelan menjawab, Shalatku langgeng tiada terputus.
30.Sujud-mami sujud
eling, keblatku têngahing jagad, barêng napasku sujude, napasku mêtu
mbun-mbunan, salatku mring Pangeran, mêtu saking utêkingsung, sêmbahyangku
mring Hyang Suksma.
Sujud-ku Sujud Ingat
(Maksudnya Kesadaran yang terus stabil), Kiblat-ku Pusat Semesta (Maksudnya
focus penyembahan adalah Inti Dunia dan Inti Makhluk, tak lain adalah
Brahman/Tuhan), Sujud-ku diiringi dengan Nafas (Maksudnya Kesadaran ini saat
Ruh terikat badan materi, sangat terkait dengan nafas. Pengendalian nafas mampu
mengendalikan Kesadaran juga. Nafas dan Kesadaran, saat badan materi masih
membelenggu Ruh, tidak bisa dipisahkan), Nafas-ku keluar dari ubun-ubun (Nafas
yang dikendalikan seolah bukan keluar masuk dari hidung lagi, tapi seolah-olah
keluar masuk dari ubhun-ubun, menyatu dengan Kesadaran), shalatku menghadap
kepada Tuhan, keluar dari otakku (Shalat yang terus menerus dilaksanakan keluar
dari Kesadaran), shalatku menghadap kepada Hyang Suksma (Tuhan Maha Gaib).
31.Ingkang mêtu
lesan-mami, sêmbahyang mring Rasulullah, kang mêtu irungku kiye, ingkang Dzat
pratandhanira, iku taline gêsang, kabeh saking napasingsun, sêbutku Allahu
Allah.
Pujian yang keluar dari
lidahku, pujian kepada Rasulullah (Ruh), sama dengan pujian yang keluar dari
hidungku (nafas) ini, sesungguhnya semua perwujudan Dzat (Hidup/Tuhan), nafas
adalah pengikat Hidup (selama ada nafas, selama itu pula Hidup/Tuhan/Dzat masih
ada didalam badan materi), bisa dilihat dari adanya nafas, pujian nafasku
berbunyi Allahu Allah.
32.Sira padha ora ngrêti,
Rasulullah sabatira, iku durung linairke, lintang wulan lawan surya, alam dunya
wus ana, yêkti tuwa suryanipun, iku kang kitab Ambiya.
Kalian semua tidak
mengetahui, Rasulullah (maksudnya Nabi Muhammad) panutan kalian, saat belum
dilahirkan, seandainya diibaratkan dengan bintang rembulan dan matahari,
beserta bumi ini, jelaslah lebih tua matahari, hal ini tercatat dalam Kitab
Anbiya’.
33.Kang tinitahake
dhingin, dening Hyang Cahya Muhammad, iku lawan sakabate, nanging wujud êRoh
samya, neng jroning Lintang Johar, mangka Lintang Johar iku, wawadhahe Roh
sadaya.
(Sebelum Nabi Muhammad
lahir) yang ada dahulu, adalah Hyang Cahya Muhammad (Nur Muhammad ~ Cahaya
Terpuji/Cahaya Perwujudan Tuhan pertama kali yang merupakan cikal-bakal semesta
raya ~ Purusha dalam istilah Weda), beserta seluruh para sahabatnya (maksudnya
seluruh Atma-Atma semua), akan tetapi masih berwujud Ruh, berada didalam
kandungan Lintang Johar (Lintang ~ Bintang, Johar/Jauhar ~ Mutiara, maksudnya
juga Nur Muhammad tersebut), ketahuilah Lintang Johar itu, sumber segala Ruh
makhluk.
34.Babonira saking Urip,
dadi saking Nur Muhammad, lintang rêmbulan srêngenge, ora liya asalira, pan
saking Nur Muhammad, mangka Lintang Johar iku, dadi pusêre Muhammad.
(Nur Muhammad atau
Lintang Johar) adalah perwujudan Hidup (Allah), semesta raya ini berasal dari
Nur Muhammad, bintang rembulan matahari, tiada lain sumbernya dari sana,
berasal dari Nur Muhammad, sedangkan Lintang Johar, ibarat pusar (tempat
keluarnya) seluruh semesta.
35.Yen sira maido mami,
dadi nampikakên sira, mring Kuran sêsêbutane, Kasan Beêari miyarsa, rumaos
kaungkulan, mangkana denira muwus, Wis Gatholoco minggata.
Jikalau kamu membantahku,
sungguh sama saja kamu menolak, kepada ajaran Al-Qur’an, Kasan Besari (Hassan
Bashori) mendengarnya, merasa kalah, beginilah dia akhirnya berkata, Sudah
Gatholoco minggatlah kamu dari sini!
36.Gatoloco anauri, sun
linggih langgare Allah, kabênêran panggonane, iki aneng têngah jagad, ingsun
sênêng kapenak, linggih langgar karo udut, ngênteni prentahing Allah.
Gatholoco menjawab, Aku
duduk di musholla Allah, sangat nyaman tempatnya, aku merasa dipusat semesta,
aku merasa nyaman, duduk didalam musholla sembari menghisap candu
(spiritualitas), sembari menunggu perintah Allah.
37.Sakala Kasan Bêsari,
sidhakep kendêl kewala, puwara alon wuwuse, wus dadi prasêtyaningwang, kalamun
bantah kalah, kabeh iki darbekingsun, sira wajib mengkonana.
Seketika Kasan Besari
(Hassan Bashori), bersendekap sembari diam, lantas terdengar suaranya, Sudah
menjadi janjiku, jikalau aku kalah berdebat, maka semua ini akan menjadi
milikmu, dirimu wajib memilikinya.
38.Ingsun rila lair
batin, langgar wisma barang-barang, pasrah sah duwekmu kabeh, santri murid ing
Cêpêkan, ingkang sênêng ngawula, mara sira anggêguru, wulangên ilmu utama.
Aku rela lahir batin,
musholla rumah berikut seluruh perabotan, aku berikan kepadamu semua, para
santri murid Cepekan, jika memang hendak tetap berguru, silakah berguru
kepadamu, ajarilah ajaran utama.
39.Para Kyai mitra mami,
ingsun sumarah kewala, apa kang dadi karsane, manira saiki uga, nêja lunga
lêlana, kabeh keriya rahayu, Kasan Bêsari gya mangkat.
Para Kyai sahabatku
semua, aku sudah pasrah, apa yang menjadi kehendak-Nya, diriku sekarang juga,
hendak berkelana, semoga yang aku tinggalkan disini mendapat keselamatan, Kasan
Besari (Hassan Bashori) segera berangkat.
40.Nalangsa rumasa isin,
saparan kalunta-lunta, katiwang-tiwang lampahe, ingkang kantun ing Cêpêkan,
Gatholoco sineba, para murid tigang atus, andêr samya munggeng ngarsa.
Sangat-sangat malu,
terlunta-lunta dalam perjalanan, sedih dalam pengembaraan, yang ditinggalkan di
Cepekan, Gatholoco dihadap, seluruh murid sebanyak tiga ratus orang, bersila
rapi berada dihadapan.
NB :
URIP ~ KANG NGURIPI ~ KANG GAWE URIP
PARAMASHIWA ~ SADASHIWA ~ ATMA
BRAHMAN ~ PURUSHA ~ ATMAN
ALLAH ~ (NUR) MUHAMMAD ~ RASUL (MUHAMMAD)
ALLAH BAPA ~ ALLAH PUTRA ~ ROH KUDUS
URIP ~ KANG NGURIPI ~ KANG GAWE URIP
PARAMASHIWA ~ SADASHIWA ~ ATMA
BRAHMAN ~ PURUSHA ~ ATMAN
ALLAH ~ (NUR) MUHAMMAD ~ RASUL (MUHAMMAD)
ALLAH BAPA ~ ALLAH PUTRA ~ ROH KUDUS
Mohon direnungkan…..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar