10/06/2013

serat gatoloco 6




SERAT GATHOLOCO (6)
Diambil dari naskah asli bertuliskan huruf Jawa
yang disimpan oleh
PRAWIRATARUNA.
Digubah ke aksara Latin oleh :
RADEN TANAYA

1. Pupuh III, Sinom, Pada (Syair) : 7-13
Yen mungguh pamêtêkingwang, Balencong tuwa pribadi, sanajan Kêlir pinasang, gamêlan wus miranti, Dhalang niyaga linggih, yen maksih pêtêng nggenipun, sayêkti durung bisa, Dhalange anampik milih, nyritakake sawiji-wijining Wayang.
Menurut aku, Balencong itu lebih tua, walaupun Kêlir (Layar) telah dipasang, gamelan sudah ditata, Dalang dan para niyaga (penabuh gamêlan beserta sindhen-nya) sudah duduk, akan tetapi jika masih gelap tempatnya, pasti tidak bisa, Dalang memilah dan memilih, untuk menceritakan cerita satu-persatu dari tiap jenis wayang.
Kang nonton tan ana wikan, marang warnanira Ringgit, margane isih pêtêngan, ora kêna den tingali, yen Balencong wus urip, kanthar-kanthar katon murub, Kêlire kawistara, ing ngandhap miwah ing nginggil, kanan kering Pandhawa miwah Kurawa.
Yang menonton tak akan bisa melihat, kepada wujud setiap jenis Wayang, karena masih gelap gulita, tidak bisa dilihat mata, manakala Balencong sudah dinyalakan, menyala-nyala terlihat terang, Kêlir (Layar) akan tampak, dimana arah bawah dan arah atas, dimana kanan dan dimana kiri serta mana Pandhawa mana Kurawa.
Ki Dhalang neng ngisor damar, bisa nampik lawan milih, nimbang gêdhe cilikira, tumrap marang siji-siji, watake kabeh Ringgit, pinatês pangucap-ipun, awit pituduhira, Balencong ingkang madhangi, pramilane Balencong kang luwih tuwa.
Ki Dalang duduk dibawah pelita, mampu memilah dan memilih, menimbang besar kecilnya, terhadap setiap jenis, dari perwatakan tiap Wayang, sehingga mampu menyesuaikan ucapannya (dengan tiap karakter wayang kulit), sebab mendapat petunjuk, dari Balencong yang menerangi, oleh karenanya Balencong yang lebih tua.
Dene unining gamêlan, Wayange kang den gamêli, Dhalange mung darma ngucap, si Wayang kang darbe uni, prayoga gêdhe cilik, manut marang Dhalangipun, sinigêg gangsa ika, Kaki Dhalang masesani, nanging darma ngucap molahake Wayang.
Sedangkan bunyi gamêlan, mengiringi gerakan Wayang, Dalang hanya sekedar mengucapkan, dari suara tiap jenis Wayang, sedang tinggi atau rendah, menurut kehendak Dalang, berhentinya gamêlan, Ki Dalang yang berkuasa, akan tetapi sesungguhnya Dalang hanya sekedar mengucapkan dan menggerakkan Wayang sesuai dengan kisah yang telah ditentukan.
Parentahe ingkang nanggap, ingkang aran Kyai Sêpi, basa Sêpi Tanpa Ana, anane ginêlar yêkti, langgêng tan owah gingsir, tanpa kurang tanpa wuwuh, tanpa reh tanpa guna, ingkang luwih masesani, ing solahe Wayang ucape Ki Dhalang.
Kisah yang dikehendaki oleh orang yang mengundang, yang dinamakan Kyai Sêpi, kata Sêpi berarti Tidak Ada, akan tetapi Keberadaan-Nya sesungguhnya tergelar, langgeng tak berubah, tak bisa berkurang dan tak bisa ditambah, tanpa kehendak tanpa sifat, akan tetapi ada yang lebih berkuasa, diatas gerakan Wayang dan ucapan Ki Dalang.
Ingkang mêsthi nglakonana, ingkang ala ingkang bêcik, kang nonton mung ingkang nanggap, yeku aran Kyai Urip, yen damare wus mati, kabeh iku dadi suwung, tan ana apa-apa, lir Ingsun duk durung lair, têtêp suwung ora ana siji apa.
Yang membuat semua bisa bergerak, bergerak melakukan perbuatan jelek maupun baik, dari yang melihat hingga yang mengundang, yaitu Kyai Urip (Kyai Hidup), manakala pelita telah padam, semua jadi kosong, tidak ada apa-apa, bagaikan Ingsun (Aku) ketika belum terlahirkan, tetap kosong tidak ada apapun juga.
Basa Kêlir iku Raga, Wayange Suksma Sujati, Dhalange Rasul Muhammad, Balencong Wahyune Urip, iku upama Widdhi, Cahyane Urip puniku, nyrambahi badanira, jaba jêro ngandhap nginggil, Wujudira Wujude Allah Kang Murba.
Layar itu sesungguhnya adalah Raga ini, Wayang sesungguhnya Suksma Sejati, Dalang sesungguhnya Rasul Muhammad, Balencong adalah Percikan Hidup, bagaikan Hyang Widdhi sendiri, Cahaya Hidup tersebut, merata didalam tubuhmu, diluar didalam diatas dan dibawah, Wujudmu tak lain adalah Wujud Allah Yang Kuasa.
Gatholoco melontarkan teka-teki kepada ketiga orang Kyai Guru. Diantara empat hal ini, manakah yang lebih tua? WAYANG, DALANG, KÊLIR (Layar)atau BALENCONG? (Pelita yang dinyalakan sepanjang malam hingga pagi, khusus untuk mengiringi sebuah pertunjukan Wayang Kulit ). (Pupuh III, Sinom, Pada (Syair) : 1)
Ahmad Ngarip (‘Arif) menjawab, bahwa KÊLIR (Layar) jelas paling tua sendiri. Karena sebelum sebuah pertunjukan Wayang kulit dimulai, KÊLIR (Layar) harus terpasang lebih dahulu. KÊLIR (Layar) akan dibentangkan segera sebelum semuanya siap sedia. KÊLIR (Layar) mutlak harus ada terlebih dulu sebelum seluruh WAYANG ditata berjajar bahkan sebelum satu persatu karakter WAYANG dimainkan. Harus ada sebelum gamêlan dibunyikan. Harus ada sebelum DALANG duduk menuturkan kisah yang hendak dibawakan. Bahkan KÊLIR (Layar) juga ada lebih dahulu sebelum BALENCONG dinyalakan. Oleh karenanya, KÊLIR (Layar) pantas dinyatakan sebagai yang paling tua. Begitu pendapat Ahmad Ngarip (‘Arif). (Pupuh III, Sinom, Pada (Syair) : 1-2)
Lain lagi pendapat dari Abdul Jabar. Menurut dia, DALANG-lah yang pantas dianggap sebagai yang paling tua. Karena, baik KÊLIR (Layar), BALENCONG berikut pula seluruh piranti perlengkapan untuk sebuah pertunjukkan Wayang Kulit, bahkan WAYANG-nya itu sendiri-pun, yang berkuasa menata, mengatur juga menjalankan, adalah SANG DALANG. Oleh karenanya, DALANG patut dianggap lebih tua dari yang lain! (Pupuh III, Sinom, Pada (Syair) : 2-3)
Abdul Manap (Manaf) memiliki jawaban sendiri. Dia menganggap WAYANG-lah yang pantas dianggap tua. Karena bagaimanapun juga, dalam sebuah pagelaran Wayang Kulit, dimanapun tempatnya dan kapan saja waktu pertunjukkan tersebut digelar, yang disebut-sebut orang banyak pastilah Pagelaran WAYANG. Bukan Pagelaran DALANG, atau Pagelaran KÊLIR (Layar) apalagi Pagelaran BALENCONG! (Pupuh III, Sinom, Pada (Syair) : 4-6)
Gatholoco menyalahkan semua jawaban dari ketiga Kyai Guru. Dia menyatakan BALENCONG-lah yang paling tua. Tanpa adanya BALENCONG, tak akan dapat terlihat seluruh piranti pertunjukan yang sudah tersedia. Tanpa adanya BALENCONG, keberadaan KÊLIR (Layar), WAYANG bahkan SANG DALANG sendiri, tidak akan dapat diketahui karena semua dalam kondisi gelap gulita.
Gatholoco menyatakan lagi, bahwasanya yang dimaksudkannya dengan KÊLIR (LAYAR) tak lain adalah RAGA atau STHULA SARIIRA atau JASAD MANUSIA Sedangkan WAYANG tak lain adalah SUKSMA SEJATI atau SUKSMA SARIIRA atau NAFS MANUSIA. SANG DALANG adalah perumpamaan dari ATMA SARIIRA atau RUH. Dalam bahasa Gatholoco ATMA SARIIRA atau RUH disebut RASUL MUHAMMAD ( UTUSAN YANG TERPUJI).
BALENCONG tak lain adalah simbol PURUSHA. Simbol dari MANIFESTASI ILLAHI PERTAMA yang berkehendak meng-ada-kan seluruh ciptaan ini. Dari PURUSHA-lah KEHENDAK PENCIPTAAN MULA PERTAMA TERGELAR. Dari PURUSHA-lah seluruh MANIFESTASI ILLAHI KEDUA atau ATMA atau RUH terpancarkan kedalam BAYANGAN ILLAHI (PRAKRTI, ALAM) . Dan dari KEHENDAK PURUSHA-lah PRAKRTI terus mengembang menciptakan ciptaan-ciptaan baru
BALENCONG-lah yang memberikan TERANG kepada DALANG. Dan DALANG memberikan KESADARAN kepada WAYANG. Sedangkan KÊLIR (LAYAR) hanya sekedar menjadi wahana terjadinya seluruh cerita yang dikisahkan.
PURUSHA-lah yang memberikan KESADARAN kepada ATMA SARIIRA atau RUH. ATMA SARIIRA atau RUH yang memberikan KESADARAN kepada SUKSMA SARIIRA atau NAFS. Sedangkan STHULA SARIIRA atau JASAD, hanya sekedar menjadi ‘tempat’ ter-realisasi-nya seluruh aktifitas tersebut.
BALENCONG (PURUSHA) adalah PERCIKAN DARI SANG HIDUP atau BRAHMAN. BALENCONG (PURUSHA) adalah juga DUPLICATE dari SANG HYANG WIDDHI atau BRAHMAN (Balencong Wahyune Urip, iku upama Widdhi : Balencong adalah Percikan Hidup, bagaikan Hyang Widdhi sendiri)!
Sedangkan GAMÊLAN dan PARA NIYAGA (PENABUH GAMÊLAN) berikut PARA PENONTON ibarat OBYEK-OBYEK KENIKMATAN DUNIAWI yang akan selalu terus menghanyutkan tingkah polah WAYANG (SUKSMA SARIIRA). Tergantung KESADARAN SANG DALANG (ATMA SARIIRA) untuk memutuskan, apakah WAYANG (SUKSMA SARIIRA) yang ada dalam genggaman tangannya akan terus terpengaruh dan terlarut oleh BUNYI GAMÊLAN (OBYEK-OBYEK KENIKMATAN DUNIAWI) dan TEPUK SORAK PENONTON sehingga lupa memfokuskan diri kearah USAINYA PERTUNJUKAN KEHIDUPAN. Ataukah KESADARAN SANG DALANG (ATMA SARIIRA) akan mengolah pertunjukan secara apik dan tepat waktu sehingga segera USAI PULA SELURUH PERTUNJUKAN KEHIDUPAN yang tengah dikisahkannya.
Jika ATMA SARIIRA TELAH BANGKIT KESADARANNYA, segera Dia akan berusaha merampungkan KISAH KEHIDUPANNYA SECARA APIK. Jika ATMA SARIIRA TIADA KUNJUNG BANGKIT KESADARANNYA, maka KISAH KEHIDUPANNYA AKAN MENJADI PANJANG DAN TAK KUNJUNG USAI! ATMA SARIIRA YANG TIDAK SADAR-SADAR, akan terus asyik memainkan SUKSMA SARIIRA dan terus terlarut dalam GELIMANG OBYEK-OBYEK KENIKMATAN DUNIAWI! ATMA SARIIRA yang semacam ini akan terus TERJERAT DALAM PROSES KELAHIRAN DAN KEMATIAN YANG BERULANG-ULANG TANPA BERKESUDAHAN! (Pupuh III, Sinom, Pada (Syair) : 10)
ATMA SARIIRA sendiri terpaksa akan masih terikat oleh HUKUM ALAM. Sebuah HUKUM SEMESTA yang absolute. Sebuah HUKUM PENUH KENISCAYAAN yang mengatur seluruh jalannya cerita kehidupan ini. Sebuah HUKUM SEBAB-AKIBAT-AKSI-REAKSI. HUKUM KARMAPHALA. Selama ATMA SARIIRA masih terjerat OBYEK-OBYEK KENIKMATAN DUNIAWI, TERJERAT DUALITAS DUNIAWI, selama itu pula ATMA SARIIRA masih akan terkena HUKUM SEBAB AKIBAT!
Gatholo mengumpamakan, bahwa DALANG -pun harus tunduk kepada ORANG YANG MENGUNDANG. YAITU ORANG YANG PUNYA HAJAT. APA KISAH YANG DIMINTA, ITU JUGA YANG HARUS DIMAINKAN. Dalam bahasa Gatholoco, ORANG YANG PUNYA HAJAT disebut KYAI SÊPI.
KYAI SÊPI tak lain adalah ALAM SEMESTA! Tak lain adalah PRAKRTI, BAYANGAN BRAHMAN! ALAM SEMESTA -lah yang mengarahkan jalannya cerita nasib manusia. ALAM SEMESTA -lah yang menumbuhkan BUAH KARMA. WALAUPUN SESUNGGUHNYA, NASIB SETIAP MANUSIA ITU YANG MERANGKAI DAN MENGUNTAINYA TAK LAIN ADALAH MANUSIANYA ITU SENDIRI. ALAM SEMESTA HANYA SEKEDAR MEREKAM DAN MENUMBUHKANNYA SEMATA!
ALAM SEMESTA sesungguhnya TANPA KESADARAN. ALAM SEMSETA ibarat sebuah MESIN SUPER CANGGIH yang terus bekerja merekam seluruh aktifitas manusia. Aktifitas yang BAIK maupun yang BURUK. Dan pada ujungnya, menumbuhkan buah aktifitas tersebut dalam bentuk rangkaian TAKDIR bagi manusia itu sendiri! Oleh karenanya Gatholoco menggambarkan bahwasanya KYAI SÊPI itu seolah TIDAK ADA (Maksudnya SEOLAH TIDAK MELAKUKAN AKTIFITAS MEREKAM DAN MENUMBUHKAN BUAH KARMA). AKAN TETAPI KEBERADAANYA TERGELAR NYATA (Maksudnya ALAM SEMESTA INI NYATA BEKERJA MEREKAM DAN MENUMBUHKAN BUAH KARMA)! SESUNGGUHNYA DIA-PUN LANGGENG JUGA, DIA TAK BERUBAH, TAK BISA DITAMBAH DAN TAK BISA DIKURANGI. DIA TANPA KEHENDAK SENDIRI DAN TAK MEMILIKI KESADARAN SENDIRI. ALAM SEMESTA HANYALAH BAYANGAN BRAHMAN!
Diatas itu semua, ada yang lebih berkuasa. Gatholoco menyebutnya KYAI URIP atau HIDUP! KYAI URIP tak lain adalah BRAHMAN YANG MUTLAK! SUMBER ABADI KEHIDUPAN SEMESTA RAYA! INTI SEJATI SELURUH MAKHLUK! ASAL DAN TUJUAN SELURUH MAKHLUK! SUMBER MAHA ENERGI YANG TANPA PRIBADI! YANG MELAMPAUI SEGALANYA! YANG BERADA DIMANA-MANA! YANG ADALAH SEGALANYA! KEBERADAAN, KESADARAN, KEBAHAGIAAN SEJATI! KESEIMBANGAN MURNI! YANG ADALAH KEMUTLAKAN ABSOLUT!
DAN SEJATINYA, KÊLIR (STHULA SARIIRA), WAYANG (SUKSMA SARIIRA), DALANG (ATMA SARIIRA), YANG MENONTON BERIKUT YANG MENABUH GAMÊLAN (OBYEK-OBYEK KENIKMATAN DUNIAWI), KYAI SÊPI (ALAM SEMESTA/PRAKRTI BERIKUT HUKUM KARMAPHALA-NYA) DAN BALENCONG (PURUSHA), SEMUANYA ADALAH MANIFESTASI KYAI URIP (BRAHMAN) ITU SENDIRI! (Pupuh III, Sinom, Pada (Syair) : 5-6)
Gatholoco sesungguhnya hendak mengajarkan RAHASIA ILMU SEJATI kepada mereka-mereka yang masih juga terjerat konsep keber-agama-an kulit! Mereka-mereka yang terbiasa membedakan mana SAKRAL dan mana PROFAN berlebihan! Mereka-mereka yang berputar-putar pada keyakinan bahwa TUHAN tercerabut dari MANUSIA. Keyakinan bahwa TUHAN dan MANUSIA adalah dua sosok pribadi berbeda. Yang satu dilangit nan jauh disana, yang satu berdiam dibumi dengan kenelangsaan sebagai budak yang siap dimainkan dan diatur-atur sekehendak hati oleh Dia yang ada diatas langit itu! Budak yang setiap saat bisa diangkat derajatnya ataupun diperhinakan tanpa ada alasan yang jelas! Budak yang harus terus taat dan manut nurut. Budak yang akan diiming-imingi Surga jika patuh dan akan diancam dengan siksaan Neraka jika tidak patuh! Konsep ke-Tuhan-an yang sangat membelenggu dan tradisional (walau diklaim paling modern) semacam ini, dikritik secara berani oleh seorang filsuf Eksistensialisme, Friedrich W. Nietzsche dalam karyanya ZARATUSTRA, bahwa SOSOK TUHAN YANG SEMACAM INILAH PENGHALANG MANUSIA MENCAPAI TINGKATAN UEBERMENCH atau Manusia Agung. Sosok Tuhan semacam ini, menurut Nietzsche SUDAH MATI ! Lantang dia meneriakkan GOTT IST TOT (TUHAN TELAH MATI) !
Nietzsche berteriak beberapa puluh tahun lalu tentang UEBERMENCH. Gatholoco berteriak empat ratus tahun lalu tentang LANANG SUJATI. Syeh Siti Jenar berteriak enam ratus tahun lalu tentang INGSUN PANGERAN SEJATI, JATINING PANGERAN MULYA. Sidharta Gautama berteriak dua ribu lima ratus tahun yang lalu tentang BUDDHA dan Rsi Wyaasa berteriak lima ribu tahun yang lalu dalam Brahmasutra tentang AHAM BRAHMASMI. Teriakan mereka tiada beda walaupun masa kehidupan mereka terpaut rentang waktu yang jauh! Tapi mengapa masih juga tidak ada yang mendengar? Mengapa darah masih saja terus tumpah?
Gatholoco hendak mengajarkan kepada mereka-mereka yang terus menerus tercekam ketakutaan tak beralasan (Phobia) akan KUASA TANDINGAN TUHAN YANG BERNAMA IBLIS. Sehingga sering disibukkan dengan pemilahan INI DARI TUHAN, INI DARI IBLIS. INI AJARAN TUHAN, INI AJARAN IBLIS. INI SURGA TUHAN, INI SURGA IBLIS. INI UMAT TUHAN, INI UMAT IBLIS, bahkan membedakan INI AGAMA TUHAN, INI AGAMA IBLIS. (Walau diperhalus dengan ungkapan INI AGAMA LANGIT DAN INI AGAMA BUMI)!
KETAHUILAH! TIDAK ADA AJARAN DARI IBLIS, YANG ADA ADALAH AJARAN YANG BERASAL DARI EGOISME DAN KESERAKAHAN MANUSIA! ITULAH AJARAN SESAT DAN MENYESATKAN!
Gatholoco hendak mengajarkan bahwa seluruh semesta ini BERASAL DARI YANG SATU. BAHKAN BUKAN HANYA ITU SAJA, GATHOLOCO HENDAK MENGAJARKAN PULA BAHWA SESUNGGUHNYA SELURUH SEMESTA INI BERIKUT MAKHLUK YANG BERKERIAPAN DIDALAMNYA ADALAH SATU KESATUAN YANG TAK TERPISAHKAN! TAT TWAM ASI (ENGKAU ADALAH AKU JUGA)! TUNGGAL ADANYA!
Hal ini ditegaskan dalam syair ke-13 diatas.
Cahyane Urip puniku, nyrambahi badanira, jaba jêro ngandhap nginggil, Wujudira Wujude Allah Kang Murba. (Cahaya Hidup tersebut, merata didalam tubuhmu, diluar didalam diatas dan dibawah, Wujudmu tak lain adalah Wujud Allah Yang Kuasa.)!
TAK HARUS ADA SEKUMPULAN SPESIES MAKHLUK HIDUP YANG PATUT DIMUSUHI! TUHAN TAK PERNAH MENGAJARKAN PERMUSUHAN DAN KEBENCIAN KEPADA MAKHLUK LAIN! TUHAN HANYA MENGAJARKAN KASIH! KASIH YANG TANPA PANDANG BULU! BUKAN KASIH YANG PILIH-PILIH ALIAS PILIH KASIH!
Yang patut diwaspadai adalah SUKSMA SARIIRA ini. Karena didalam SUKSMA SARIIRA ini, terdapat AHAMKARA (EMOSI NEGATIF), MANAH (PIKIRAN LIAR) dan CITTA (MEMORI-MEMORI TRAUMATIK) . Namun ada pula yang dinamakan BUDDHI (KESADARAN RELATIF). BUDDHI adalah KESADARAN ATMA yang tinggal sedikit karena terbelenggu oleh AHAMKARA, MANAH DAN CITTA. Perkuat BUDDHI ini, agar tidak terpengaruh oleh AHAMKARA, MANAH DAN CITTA. Jadikan BUDDHI sebagai pengendali ketiga unsur SUKSMA SARIIRA yang lain tersebut!
AHAMKARA, MANAH DAN CITTA, ITULAH SETAN YANG SESUNGGUHNYA!
Keempat unsur SUKSMA SARIIRA inilah sesungguhnya yang dimaksud oleh leluhur Jawa jaman Shiwa Buddha dengan istilah SADULUR PAPAT KALIMA PANCÊR (SAUDARA EMPAT KELIMA PUSAT), yaitu KAKANG KAWAH (BUDDHI), ADHI ARI-ARI (MANAH), GÊTIH (AHAMKARA) dan PUSÊR (CITTA) . Sedangkan PANCÊR (PUSAT) tak lain adalah ATMA SARIIRA kita!
Konsep ini dikembangkan dalam ajaran Islam Kejawen seiring keruntuhan Majapahit, dengan mengambil kosa kata Arab, untuk menggantikan kosa kata yang berbau Weda dan berbau Jawa asli, yaitu MUTMAINAH (untuk menggantikan kosa kata KAKANG KAWAH/BUDDHI), SUFIYYAH (untuk menggantikan kosa kata ADHI ARI-ARI/MANAH), AMARAH (untuk menggantikan kosa kata GÊTIH/AHAMKARA) dan LUWWAMAH (untuk menggantikan kosa kata PUSÊR/CITTA). Lantas dikenalah istilah NAPSU PATANG PRAKARA (PRIBADI EMPAT MACAM).
Kosa kata Jawa masih tetap bertahan, tapi kosa kata Weda, sudah dikikis habis dan tidak lagi dikenal oleh masyarakat Jawa pada umumnya hingga detik ini.
Pelampauan AHAMKARA, MANAH dan CITTA , mutlak diperlukan. Manakala sudah mampu kita lampaui, BUDDHI akan bersinar terang! Begitu BUDDHI telah termurnikan, maka KESADARAN akan meningkat pesat. Dan dalam proses lompatan peningkatan KESADARAN ini, BUDDHI itu sendiri, KESADARAN RELATIF itu sendiri, akan lenyap dalam ATMA SARIIRA . Dan ATMA SARIIRA akan memperoleh kembali KESADARAN MURNI-NYA !
ATMA SARIIRA yang telah TERJAGA TOTAL ini, sebenarnya sudah bukan lagi bisa disebut ATMA. ATMA SARIIRA yang sudah MELEK SEMPURNA ini, sesungguhnya tak lain adalah BRAHMAN itu sendiri! SIDHARTA GAUTAMA, KRISHNA dan JESUS sudah mengalaminya. Lantas mengapa anda mempermasalahkan jika ada yang menyembah SIDHARTA, KRISHNA atau JESUS ?
Tinggal selangkah lagi. Manakala ATMA SARIIRA sudah lenyap dalam SAMUDERA ENERGI PURNA , manunggal total dengan BRAHMAN , maka tiada lagi terbedakan mana ATMA mana BRAHMAN. TUNGGAL ADANYA . Gatholoco menggambarkan : ………..yen damare wus mati, kabeh iku dadi suwung, tan ana apa-apa, lir Ingsun duk durung lair, têtêp suwung ora ana siji apa. (manakala pelita telah padam, semua jadi kosong, tidak ada apa-apa, bagaikan Ingsun (Aku) ketika belum terlahirkan, tetap kosong tidak ada apapun juga.)
Dan yang ‘ada’ hanyalah ‘YANG ADA’ itu sendiri. Tiada lagi ‘ada’ yan

serat gatoloco 7


SERAT GATOLOCO
Diambil dari naskah asli bertuliskan huruf Jawa
yang disimpan oleh
PRAWIRATARUNA.
Digubah ke aksara Latin oleh :
RADEN TANAYA

2. Pupuh III, Sinom, Pada (Syair) 17-18 :
Santri padha ambêk lintah, ora duwe mata kuping, anggêre amis kewala, cinucup nganti malênthing, ora ngrêti yen gêtih, gandane amis tur arus, kinira madumangsa, yen wus warêg mangan gêtih, amalêngkêr tan mêtu nganti sawarsa.
Santri yang berperilaku seperti lintah, tidak memiliki mata dan telinga, asalkan mencium bau amis, dihisap hingga perutnya menggelembung, tidak tahu kalau itu darah, baunya amis dan arus (padanan kata amis), dikira madu, jika sudah kenyang meminum darah, meringkuk tak keluar-keluar lagi hingga setahun.
Wêkasan kaliru tampa, tan wruh têmah ndurakani, manut kitab mêngkap-mêngkap, manut dalil tanpa misil, amung ginawe kasil, sinisil ing rasanipun, rasa nikmating ilat, lan rasane langên rêsmi, rasanira ing kawruh ora rinasa.
Pada akhirnya salah terima, tidak memahami inti sari malah berbuat dosa tanpa disadari, menuruti kata-kata kitab begitu saja, menuruti dalil tanpa tahu makna sesungguhnya, hanya dibuat untuk memperoleh keuntungan duniawi, tersilap dengan keduniawian, dibuat untuk memenuhi nikmatnya rasa lidah, dibuat untuk memenuhi nikmatnya rasa bersenggama, makna sejati ilmu tidak dirasakan.
Gatholoco tajam mengingatkan, bahwasanya manusia-manusia yang terjebak ‘keberagamaan kulit’ seperti yang tengah berdialog dengannya, tak ubahnya bagaikan Lintah semata. Yang tak memiliki mata dan tak memiliki telinga. Pekerjaan mereka hanya menghisap darah sesama. Pekerjaan mereka hanya membuat harmonisasi kehidupan timpang.
Mereka mengira, dengan menghisap darah, mereka telah melakukan sebuah pekerjaan besar dan benar dimata Tuhan! Mereka mengira telah menghisap madu yang manis. Mengira telah melakukan sebuah pekerjaan agung yang sudah sepatutnya, walau harus menumpahkan darah!
Begitu telah kenyang menumpahkan darah, mereka akan puas dan tiada lagi tergerak untuk menelaah, apakah yang sudah dilakukan ini memang benar dimata Tuhan? (Pupuh III, Sinom, Pada (Syair) : 17)
Mereka telah membuat dosa tanpa disadari. Menelan mentah-mentah kata-kata kitab suci tanpa dikupas lagi. Menuruti segala dalil tanpa mendalami inti sarinya. Padahal SUARA NURANI mereka terus berontak untuk mengabarkan arti dan makna yang sesungguhnya!
Kesadaran mereka tentang spiritualitas, tak lebih sebatas pencapaian Kenikmatan Keduniawian semata. Kenikmatan yang konon juga ada di Surga sana. Kenikmatan yang mirip dan serupa dengan Kenikmatan Dunia. Benarkah itu semua? Jika memang demikian, mengapa harus berlama-lama menunggu nanti, toh sekarang Kenikmatan serupa juga ada disini. Sudah nyata dan didepan mata malah. Lantas mengapa harus menunggu sesuatu yang masih dijanjikan nanti jika memang esensinya serupa dan itu-itu juga? (Pupuh III, Sinom, Pada (Syair) : 18)
Kesadaran Spiritual-kah yang semacam ini? Jesus Kristus, Rabi’ah Al Adawiyyah, Jallaluddin Rumi, Al-Junaid, Ibnu Al-Araby, Ibnu Manshur Al-Hallaj, Abu Yazid Al-Bistami, Hamzah Fanshuri, Syeh Siti Jenar dan seluruh manusia illahi semacam mereka malah dipangkas habis manakala meneriakkan kebenaran sebuah makna hakiki.
Berbeda dengan manusia illahi yang turun ditanah India, keberadaan mereka masih mendapat sambutan hangat hingga kini. Adakah yang berbeda dari pesan-pesan mereka? Tidak ada! Yang berbeda adalah medan dan tempat dimana mereka turun.
Terpujilah manusia-manusia illahi yang berani meneriakkan kebenaran dimedan yang penuh dengan manusia-manusia berkesadaran rendah! Sembah sujud saya kepada manusia-manusia illahi yang semacam ini!
3. Pupuh III, Sinom, Pada (Syair) 27 :
Guru tiga saurira, Katrima pamuji-mami, Gatholoco asru nyêntak, Pujimu pujining Widdhi, sira ora nduweni, marang pangucap sadarum, iku ucaping Allah, yen mangkono sira maling, wani-wani kadunungan barang gêlap.
Ketiga Guru menjawab, Karena diterima doa kami, Gatholoco keras membentak, Bahkan doamu-pun adalah milik (Hyang) Widdhi! Kalian tidak punya hak untuk mengakui! Karena pengucapan kalian itu semua, itu ucapan Allah! Jikalau demikian kalian adalah maling! Telah berani ketempatan barang yang bukan milik kalian (namun kalian akui sebagai milik sendiri)!
Sekali lagi Gatholoco hendak menghancurkan dinding kesadaran sempit dari mereka yang tengah diajaknya berdialog. Gatholoco tengah memberikan letupan bagi peningkatan kesadaran mereka. Gatholoco hendak membangun kesadaran baru, bahwasanya semua yang ada didalam semesta ini tak ada yang lain selain MANIFESTASI HYANG WIDDHI atau BRAHMAN! atau ALLAH!
PURUSHA adalah MANIFESTASI PERTAMA dari BRAHMAN manakala BRAHMAN tengah berkehendak untuk melakukan sebuah LILAA atau PERMAINAN ILLAHI-NYA. BRAHMAN YANG MELAMPAUI SEGALANYA, YANG TANPA PRIBADI. MEMPERSEMPIT DIRI-NYA DALAM KONDISI SUPER PERSONALITY. INILAH PURUSHA!
Bersamaan dengan proses ini, muncullah BAYANGAN BRAHMAN yang lantas dikenal dengan nama PRAKRTI. Inilah CIKAL BAKAL SELURUH UNSUR MATERIAL YANG ADA DI SEMESTA RAYA.
Dari PURUSHA memerciklah ATMA-ATMA atau RUH-RUH yang tiada terhitung.
Lantas, manakah yang bukan BRAHMAN atau ALLAH?
Manusia-manusia yang merasa dirinya berbeda dengan BRAHMAN, dengan TUHAN. Manusia-manusia yang merasa memiliki pribadi sendiri yang terpisah dengan Kepribadian Tuhan, SESUNGGUHNYA MEREKA ADALAH PENCURI. Begitu Gatholoco menyatakan!
PENCURI? Yap! Karena mereka mengklaim memiliki pribadi sendiri yang terpisah dengan Kepribadian Tuhan. Mereka tengah bermain-main dengan illusi! Dalam keyakinan mereka, pribadi mereka ini diciptakan oleh Tuhan. Mereka meyakini, Tuhan menciptakan mereka. Dan mereka berbeda dengan Sang Pencipta. Mereka punya hak pribadi. Memiliki asset sendiri. Walau menurut mereka, asset yang mereka miliki tersebut adalah pinjaman dari Tuhan.
Gatholoco menegaskan, diri kita semua ini, mulai dari ATMA SARIIRA (RUH), SUKSMA SARIIRA (NAFS), STHULA SARIIRA (JASAD) termasuk seluruh piranti indrawi (mata, telinga, hidung,dsb), berikut fungsi-fungsi inderawi (penglihatan, pendengaran, ucapan, dsb) adalah MANIFESTASI TUHAN! Bukan sesuatu yang terpisah dari-Nya. Ini semua bukan milik otonom seorang makhluk ciptaan yang disebut ‘manusia’. Jika ‘manusia’ mengklaim ini mataku, ini telingaku, ini badanku, ini penglihatanku, ini pendengaranku, ini ucapanku dsb, jelas mereka telah melakukan KLAIM PALSU! DAN ORANG YANG MENGAKUI SESUATU YANG BUKAN MILIKNYA, JELAS ADALAH SEORANG PENCURI!
Bagaimana dia bisa mengakui ini milik ‘saya’, jika sosok ‘saya’ itu sendiri sesungguhnya ‘tidak ada’? Jika sosok ‘saya’ itu sendiri sebenarnya adalah bagian Tuhan juga? Terngiangkah anda dengan kata-kata Sidharta Buddha Gautama tentang Annata (Tanpa Aku/Tanpa Saya/Kosong) ?
Dalam Pupuh III, Sinom, Syair 27 diatas bagian akhir, Gatholoco berkata keras :
……………..Gatholoco asru nyêntak, Pujimu pujining Widdhi, sira ora nduweni, marang pangucap sadarum, iku ucaping Allah, yen mangkono sira maling, wani-wani kadunungan barang gêlap. (…………………,Gatholoco keras membentak, Bahkan doamu-pun adalah milik (Hyang) Widdhi! Kalian tidak punya hak untuk mengakui! Karena pengucapan kalian itu semua, itu ucapan Allah! Jikalau demikian kalian adalah maling! Telah berani ketempatan barang yang bukan milik kalian (namun kalian akui sebagai milik sendiri)!
Coba renungkan sekali lagi!
4. Pupuh III, Sinom, Pada (Syair ) 29-31 ;
Sakehing reh lakonana, yen tan manut Sun gitiki, jalaran sira wus salah, kajêdhêgan sira maling, lah iku duwek Mami, sira anggo tanpa urus, saikine balekna, ilange duk Jaman Gaib, Ingsun simpên ana satêngahing jagad.
Segala perintah-Ku laksanakan, jika tak menurut pasti Ku dera, sebab kalian telah salah, patut dipersalahkan karena maling, itu semua milik-Ku, kalian pakai dengan tidak benar, sekarang kembalikan, dulu hilang dikala Jaman Gaib, Aku simpan di tengah-tengah jagad.
Saksine si Wujud Makna, cirine rina lan wêngi, Ingsun rêbut tanpa ana, saiki lagya pinanggih, sira ingkang nyimpêni, santri padha tanpa urus, yen sira tan ngulungna, sun lapurake pulisi, ora wurung munggah ing rad pêngadilan.
Saksinya adalah si Wujud Makna (Wujud dari segala inti sari makna kitab suci), bukti (dari keteledoran kalian memakai barang-Ku dengan tidak benar) telah dicatat oleh siang dan malam, Aku cari-cari tak ketemu, sekarang tengah Aku jumpai, ternyata kalian yang menyimpannya, para santri yang tidak benar! Jika tidak kalian kembalikan, Aku laporkan polisi (hukum alam), tak urung akan naik perkara dipengadilan (semesta)!
Mêsthi sira kokum pêksa, yen wêngi turu ning buwi, lamun rina nambut karya, sabên bêngi den kandhangi, beda kalawan mami, salawase ngong tumuwuh, sadurunge tumindak, ingkang daya sêja-mami, agal alus kasar lêmbut ingsun nalar.
Pasti akan menerima hukuman, jika malam tidur didalam penjara (terkurung dalam kegelapan batin sehingga gelisah), jika siang kerja paksa (sengsara ditengah panasnya dualitas duniawi), tiap malam dikandangkan (terus terjerat dalam kegelapan batin), berbeda dengan aku, selama aku hidup, sebelum bertindak, untuk memenuhi keinginanku, kasar maupun halus pasti aku pikirkan terlebih dahulu.
Illusi manusia layak dihancurkan. Walaupun illusi itu juga Manifestasi Brahman, tapi jelas, segala macam illusi, kebodohan (awidya), ketidak murnian, keangkuhan, keserakahan dan semua yang menelikung KESADARAN SEJATI ATMA, adalah Manifestari Brahman dalam level rendah.
Semua ketidak murnian muncul dari PRAKRTI. Dan PRAKRTI hanyalah BAYANGAN BRAHMAN. DAN SEBUAH BAYANGAN, BUKANLAH YANG SEJATI. SEBUAH BAYANGAN HANYALAH ILLUSI (MAYA)!.
Sekali lagi saya tegaskan, SEGALA MACAM KETIDAK MURNIAN ADALAH BERASAL DARI PRAKRTI. DAN PRAKRTI ADALAH MANIFESTASI BRAHMAN DALAM LEVEL BAWAH! JADI JANGAN HANTAM RATA DENGAN MENYATAKAN BAIK DAN BURUK ITU SEIMBANG! HITAM DAN PUTIH ITU SELEVEL! TIDAK!
BAIK DAN BURUK, HITAM DAN PUTIH MEMANG SAMA-SAMA PERWUJUDAN BRAHMAN, MEMANG ADA DALAM SATU KESATUAN TUNGGAL. TAPI DALAM JENJANG YANG BERBEDA!
Dalam Bhagawad Gita, jelas Shrii Krishna menyatakan :
“Sifat-sifat Illahi (Daiva Sampad) adalah jalan KELEPASAN (MOKSHA), sedangkan sifat-sifat Jahat (Asura Sampad) adalah jalan menuju KETERIKATAN (LAHIR BERULANG-ULANG DIDALAM ALAM MATERIAL). Janganlah bersedih, oh Pandhawa (Putra Pandhu/ Arjuna), dirimu (karena buah karma masa lalumu), terlahir dalam sifat-sifat Illahi!” (Bhagawad Gita : 16 : 5)
Jika BAIK dan BURUK, HITAM dan PUTIH, KESADARAN dan KETIDAK SADARAN itu sama, lantas mengapa anda mempelajari KESUCIAN jika toh dalam kondisi KOTOR -pun anda sama saja dalam kondisi BERSIH? Jika BAIK dan BURUK, HITAM dan PUTIH, KESADARAN dan KETIDAK SADARAN itu sama, lantas mengapa sosok semacam SHIWA, KRISHNA, RSI VYAASA, SIDHARTA BUDDHA GAUTAMA, JESUS, SYEH SITI JENAR, GATHOLOCO dan Manusia-Manusia Illahi lainnya harus berteriak-teriak untuk membebaskan KESADARAN KITA dari jerat KETIDAK MURNIAN SEBUAH ILLUSI (MAYA)?
Jangan bermain-main dengan kata-kata. Anda akan terjebak sendiri. Pada ujungnya, anda sendiri yang akan kebingungan untuk menentukan sikap dalam menyikapi realita kehidupan ini!
ATMA telah terjebak dalam BAYANGAN BRAHMAN ! KETERJEBAKAN PADA ILLUSI (MAYA) BRAHMAN inilah yang memunculkan adanya kehidupan material. Selama keterjebakan ini terus terjadi, maka ATMA akan terus tergerus proses kehidupan material! Dia akan lahir dan mati, lahir dan mati, lahir dan mati, tanpa ada kesudahan! Jika ATMA bisa membebaskan diri dari BAYANGAN BRAHMAN, maka ATMA akan MENYATU DENGAN INTI BRAHMAN ITU SENDIRI! ATMA tidak perlu terlahirkan kedunia material kembali! Inilah MOKSHA. Inilah NIRWANA. Inilah KERAJAAN ALLAH. Inilah JANNATUN FIRDAUS!
Dalam syair 29, Pupuh III diatas, Gatholoco sengaja berkata dengan MEMPERGUNAKAN KESADARAN TERTINGGINYA! Jika mereka-mereka yang tengah diajaknya berdialog tetap meyakini keterpisahan pribadinya dengan Kepribadian Brahman, berarti mereka tidak mengikuti ‘PERINTAH ATAU PETUNJUK SEJATI BRAHMAN’ yang tertuang dalam intisari seluruh Kitab Suci! Jika illusi mereka tetap sulit disingkap, maka terpaksa HUKUM ALAM yang akan bekerja! Ini yang dimaksud ucapan Gatholoco dengan : ……..yen tan manut Sun gitiki,….(….jika tidak menurut pasti Ku dera…). Karena selain telah berillusi memiliki asset badan sendiri, mereka juga telah mempergunakan seluruh ‘barang klaim palsu’ tersebut dijalan ketidak murnian! Oleh karenanya, hilangkanlah illusi kalian. Hilangkanlah anggapan bahwa kalian itu berbeda dengan DIA! Kembalikan seluruh barang pengakuan itu kepada yang punya! Kembalikan KESADARAN kalian dari mengklaim memiliki asset sendiri menjadi SEMUA INI ADALAH BRAHMAN SEMATA!
Dalam syair 31, Pupuh III bagian terakhir, Gatholoco menurunkan kembali KESADARAN-NYA : ………..beda kalawan mami, salawase ngong tumuwuh, sadurunge tumindak, ingkang daya sêja-mami, agal alus kasar lêmbut ingsun nalar. (…………berbeda dengan aku, selama aku hidup, sebelum bertindak, untuk memenuhi keinginanku, kasar maupun halus pasti aku pikirkan terlebih dahulu.)
_________________
 SERAT GATOLOCO

Diambil dari naskah asli bertuliskan huruf Jawa
Yang disimpan oleh
PRAWIRATARUNA.
Digubah ke aksara Latin oleh :
RADEN TANAYA

38. Guru tiga duk miyarsa, sru nyêntak sarwi nudingi, Gatholoco sira gila, Gatholoco anauri, Ingsun gila sayêkti, yen wêruh kaya dhapurmu, wêdi bok katularan, ora duwe mata kuping, kawruhira amung jakat lawan pitrah.
Ketiga Guru begitu mendengarnya, keras membentak sembari menuding, Gatholoco kamu gila! Gatholoco menjawab, Aku memang gila, jika bertemu orang sepertimu, aku takut ketularan, tidak memiliki mata dan telinga, pengetahuan kalian hanya melulu berkisar tentang jakat pitrah (zakat fitrah) saja.
39. Kyai Guru tiga pisan, tyasnya runtik anauri, Nyata sira anak Jalang, Gatholoco amangsuli, Iku bênêr tan sisip, bapa biyung kaki buyut, kabeh kêna ing pêjah, lamun wis tumêkeng jangji, yêkti mulih mring asale padha Ilang.
Ketiga Guru semua, dengan hati panas menyahuti, Nyata kamu anak Jalang! Gatholoco menjawab seenaknya, Ucapanmu benar tidak keliru, bapak ibu kakek dan buyut-ku, semua terkena mati, jika sudah sampai pada saatnya mati, pasti pulang keasalnya semua meng-Hilang! (Inilah sikap bijak seorang yang tercerahkan. Manakala dia dihina, maka dia akan merespon dan memaknai hinaan itu dengan makna positif. Gatholoco di caci sebagai anak Jalang, tapi Gatholoco seolah tak mendengar kata Jalang tapi malah mendengar kata Hilang. Contohlah sikap seperti ini.)
40. Kiraku manawa sira, mêtu saking rêca wêsi, dene wujud tanpa nyawa, sira ora duwe budi, Kyai Guru nauri, samya misuh Truk biyangmu, Gatholoco angucap, Iku bangêt trima-mami, krana sira têlu pisan misuh mring wang.
Kukira mungkin kalian, lahir dari arca besi, berwujud tapi tanpa nyawa, karena terlihat kalian tidak mempunyai budi (buddhi : kesadaran), Kyai Guru menjawab, dengan mengumpat Turuk biyang-mu (Dasar terlahir dari Vagina)! Gatholoco berkata, Sangat berterima kasih aku, karena kalian bertiga mengumpati aku (dan ibuku).
41. Sira nuduhake biyang, ingsun iki tan udani, duk lair saking wadonan, amung ingkang sun-gugoni, wong tangga kanan kering, bapa biyang ingkang ngaku, nganakake maring wang, iku ingkang sun-sungkêmi, nanging batin ingsun ora wani sumpah.
Kalian telah berani menunjukkan darimana Aku telah terlahirkan, akan tetapi Aku sendiri tidak yakin pasti, apakah benar aku terlahirkan dari vagina, hanya yang Aku jadikan pegangan, kesaksian tetangga kiri kanan, berikut bapak dan ibu yang mengakui, telah memperanakkan Aku, keduanya Aku junjung tinggi, akan tetapi didalam hati sesungguhnya Aku tidak berani bersumpah (telah terlahir dari sebuah vagina!)
42. Iya iku bapa biyang, ingkang wêruh lair-mami, saikine sira bisa, nuduhake biyang-mami, wismane ana ngêndi, lawan sapa aranipun, amba-ciyute pira, duweke wong tuwa-mami, yen tau wêruh iku ujar ambêlasar.
(Mungkin) hanya bapak dan ibu-ku, yang mengetahui dengan pasti darimana Aku terlahirkan, akan tetapi sekarang kalian (yang baru bertemu denganku saat ini saja), telah berani menyatakan bahwa Aku terlahir dari vagina ibu, jika memang benar kalian tahu pasti, dimanakah rumah ibu-Ku, lantas siapakah namanya, serta seberapa ukuran, milik (vagina) ibu-Ku? Jika tidak bisa menjawab nyata kalian telah bersaksi palsu!
43. Krana ingsun nora wikan, wujude Ingsun saiki, mujud dhewe tanpa lawan, Allah ora karya mami, anane raga-mami, gaweyanira Hyang Agung, duk aneng alam dunya, ana satêngahing bumi, lawan sira kala karya raganira.
(Ketahuilah) sesungguhnya Aku tidak ragu bahwa, wujud(Atma)-Ku ini, berwujud dengan sendirinya (bukan dilahirkan oleh vagina) dan tiada tandingan, Allah tidak menciptakan Aku (Maksudnya Allah saja tidak menciptakan Atma atau Ruh: Atma atau Ruh tidak diciptakan, tidak ada yang menciptakan Atma atau Ruh. Atma dan Ruh adalah percikan-Nya), (sedangkan) adanya Raga(Tubuh Fisik)-Ku, (memang) buatan Hyang Agung (Maksudnya Hyang Agung/Allah hanya menciptakan Raga atau Tubuh Fisik semata), (diciptakan) saat ada di alam dunia, ada ditengah-tengah bumi, manakala membuat raga kalian (Maksudnya dicipta ditengah ruang dan waktu relatif semesta raya).
44. Sawindu lawan sawarsa, rolas wulan pitung ari, pêndhak pasar ratri siyang, saêjam sawidak mênit, ora kurang tan luwih, wukune mung têlung puluh, raganingsun duk daya, sarta wus wani nyampahi, wruhaningsun sanajan saiki uga.
Sawindu (siklus delapan tahunan) serta Setahun, Dua belas bulan Tujuh hari, Pêndhak Sêpasar (siklus hari dalam jumlah lima : Kliwon, Lêgi, Pahing, Pon dan Wage) Malam dan Siang, Satu jam Enam puluh menit, tak lebih dan tak kurang dari itu, Wuku-nya hanya tiga puluh (Wuku adalah perhitungan siklus tujuh harian/seminggu. Ada tiga puluh Wuku. Setiap Wuku berumur tujuh hari. Total tiga puluh Wuku memakan waktu 210 hari), (Didalam ukuran ruang dan waktu relatif duniawi seperti contoh diatas) Raga(Tubuh Fisik)-Ku memiliki bentuk (maksudnya tercipta), serta sudah berani menghina (maksudnya juga tercipta Tubuh Halus/Suksma Sariira yang menyelimuti kesadaran Atma sehingga berubah menjadi sosok makhluk yang tidak murni), ketahuilah hal ini sekarang juga.
45. Badanku kêna ing rusak, urip-mami wangawuhi, saobah-osiking badan, Rasulullah andandani, krana ingsun kêkasih, kinarya Pangeraningsun, marang sagunging sipat, nggêsangakên saliring tunggil, iya Ingsun iya Allah ya Muhammad.
Badanku bisa rusak, (akan tetapi) Hidup (Atma)-ku abadi, seluruh keberadaan tubuh ini, Rasulullah (Atma/Ruh)-lah yang menghiasi, karena Aku (Hidup/Atma/Ruh/Rasulullah) adalah kekasih(-Nya), dianggap sebagai Tempat untuk Mengabdi (bagi Tubuh Fisik/Sthula Sariira dan Tubuh Halus/Suksma Sariira), Tempat untuk Mengabdi bagi seluruh sipat (maksudnya segala sifat yang baik maupun yang buruk dari Suksma Sariira), menghidupi segalanya dalam satu kesatuan, (sesungguhnya) Aku (Ruh/Atma) adalah juga Allah adalah juga Muhammad.
46. Guru tiga asru mojar, Sira wani angakoni, tunggal wujud lan Pangeran, apa kuwasamu kuwi, Gatholoco nauri, Ngawruhi dadine lêbur, kalawan pêparêngan, karsane Kang Maha Suci, ingsun dhewe tan kuwasa apa-apa.
Ketiga Guru keras berkata, Kamu berani mengakui, satu kesatuan wujud dengan Tuhan, apa kekuasaanmu? Gatholoco menjawab, Menyadari menjadi dan leburnya (maksudnya menyadari sepenuhnya sepanjang kelahiran dan kematian saat terlahirkan sebagai Gatholoco saja), dengan ijin, dan kehendak Yang Maha Suci, aku sendiri tak berkuasa apa-apa. (Maksud Gatholoco, dalam kondisi Atma masih terikat oleh Suksma Sariira/Tubuh Halus dan Sthula Sariira/Tubuh Fisik, Atma hanya mampu mengetahui kelahiran dan kematiannya dalam satu siklus kehidupannya ini saja, sedangkan diluar itu, Atma belum mampu menyadari).
47. Ragengsun wujuding Suksma, angawruhi ing Hyang Widdhi, tumindak karsanira Hyang, aweh mosik liya mami, Muhammad kang nduweni, pangucap paningalingsun, pangganda pamiyarsa, dene lesan lawan dhiri, kabeh iku kagungane Rasulullah.
Ragaku adalah wujud Suksma (kata Suksma disini yang dimaksud adalah Hyang Suksma, yang artinya Tuhan. Bukan Suksma Sariira/Tubuh Halus), jelas-jelas adalah Hyang Widdhi yang terlihat, mampu eksis atas kehendak Hyang (Widdhi) sendiri, mampu pula beraktifitas (atas kehendak-Nya juga), Muhammad (Atma/Ruh juga adalah wujud Hyang Widdhi) yang memiliki, pengucapan penglihatanku, penciuman dan pendengaranku, lesan dan pribadi ini, semua itu milik Rasulullah (Atma/Ruh). (Maksudnya baik Raga/Sthula Sariira hingga Atma – dalam bahasa Gatholoco adalah Muhammad atau Rasulullah- semua adalah perwujudan Hyang Suksma atau Hyang Widdhi atau Tuhan. Atma ini tiada beda dengan Hyang Widdhi. Maka tepatlah jika dinyatakan, seluruh pengucapan, penglihatan, penciuman, pendengaran dan sebagainya sesungguhnya adalah milik Atma.)
48. Ingsun ora apa-apa, mung pangrasa duwek-mami, iku yen ana sihing Hyang, yen tan ana sihing Widdhi, duwekingsun mung sêpi, basa sêpi iku suwung, tan ana apa-apa, lir ingsun duk durung dadi, têtêp suwung ora wêruh siji apa.
Aku ini tidak memiliki apa-apa, hanya perasaan (merasa memiliki) saja yang menjadi miliku, itu saja jika mendapatkan kasih dari Hyang (Widdhi), jika tak mendapatkan kasih (Hyang) Widdhi, milikku hanyalah sêpi, arti kata sêpi adalah kosong, tidak ada apa-apa, bagaikan aku saat belum menjadi, tetap kosong tak mengetahui apa-apa. (Maksudnya wujud manusia ini sesungguhnya adalah perwujudan Tuhan juga. Manusia itu ‘tidak ada’. Yang ada hanya ‘perasaan merasa ada dan memiliki pribadi yang terpisah dengan Tuhan’. Jika ‘illusi merasa ada dan merasa memiliki pribadi yang terpisah dengan Tuhan’ ini tersingkap, maka yang ada hanyalah KOSONG. KOSONG itulah KEABADIAN DAN KEBAHAGIAAN MILIK KITA DULU. KOSONG ITULAH TUHAN!)
49. Abdul Jabar nulya mojar, Sira iku angakoni, wujudmu wujuding Suksma, ing mangka ragamu kuwi, kêna rusak bilahi, ora langgêng sira wutuh, Gatholoco angucap, Ingkang rusak iku bumi, kalimputan wujud-mami lan Pangeran.
Abdul Jabar lantas berkata, Kamu mengakui, wujudmu adalah wujud (Hyang) Suksma, padahal ragamu itu, bisa terkena rusak dan celaka, tidak utuh abadi selamanya, Gatholoco berkata, Yang bisa rusak itu badan yang berasal dari bumi (kata bumi hanya mewakili segala unsur alam semesta), yang terselimuti wujud-Ku (Atma) dan Tuhan (Brahman).
50. Ingsun Ingkang Maha Mulya, tan kêna rusak bilahi, ingkang langgêng swarga mulya, Kyai Guru anauri, Yen mangkono sireki, wêruh pêsthine Hyang Agung, kang durung kalampahan, Gatholoco anauri, Wêruh pisan pêsthine mring raganingwang.
Aku Yang Maha Mulia, tak bisa rusak dan celaka, yang langgeng dan sesungguhnya surga mulia (Jannatun Firdaus, Moksha, Nirwana, Kerajaan Allah) itu sendiri, Kyai Guru menyahut, Jikalau demikian kamu ini, mengetahui takdir Hyang Agung yang belum terjadi? Gatholoco menjawab, Bahkan aku bisa membuat takdir yang bakal terjadi pada diriku.
51. Ingsun pêsthi awakingwang, wayah iki dina iki, jêjagongan lawan sira, mêngko gawe pêsthi maning, kang durung den lakoni, kanggone mêngko lan besuk, supaya aja salah, dadi ora kurang luwih, lamun salah ngrusak buku sastra angka.
Telah aku tetapkan sendiri, pada saat ini hari ini, duduk bertemu dengan kalian semua, nanti aku akan membuat takdir lagi, yang belum terjadi, untuk hari esok dan kelak, harus hati-hati dalam membuatnya, sehingga tidak kurang dan tidak lebih (tetap dalam keseimbangan), jika salah bisa merusak kitab sastra angka. (Gatholoco sebenarnya hendak menjelaskan tentang hukum sebab akibat, dimana takdir itu yang membuat adalah kita sendiri)
52. Kalawan ngrusak gulungan, iku bangêt wêdi-mami, wêdi manawa dinukan, marang ingkang juru-tulis, mulane ngati-ati, gawe pêsthi aja kliru, Kyai Guru angucap, Kang durung sira lakoni, bêja sarta cilakamu besuk apa.
Jika sampai merusak gulungan kitab (maksudnya melakukan perbuatan buruk sehingga merangkai takdir buruk pula bagi diri kita), itu sangat kutakutkan, takut jika sampai dimarahi, oleh juru tulis (maksudnya alam semesta, yang merekam dan mencatat segala perbuatan dan aktifitas kita), makanya aku hati-hati, membuat takdir jangan sampai keliru, Kyai Guru berkata, Yang belum kamu jalani, untung dan celakamu besok bagaimana?
53. Aneng ngêndi kuburira, Gatholoco anauri, Kuburan wus ingsun-gawa, sabên dina urip-mami, kalawan ngudanêni, ning sawatês umuringsun, kalamun parêk ajal, sajroning rolas dina mami, lagya milih jam sarta wayahira.
Dimanakah kuburmu? Gatholoco menjawab, Kuburku telah aku bawa, setiap saat dalam kehidupanku, serta aku tahu, pada batas usiaku, jika sudah dekat ajal, dalam dua belas hari, baru memilih jam dan saatnya. (Gatholoco berkata benar. Manusia yang kesadarannya tinggi, mampu memilih hari, jam dan saat kematiannya sendiri!)
54. Yen gawe pêsthi samangkya, papêsthene awak-mami, bokmanawa luwih kurang, susah anggoleki pêsthi, bêcike sabên lawan ari, anggawe papêsthen iku, manut sênênging driya, dadi ora kurang luwih, ora angel ora cidra ing sêmaya.
Membuat takdir itu, takdir untuk diriku sendiri, sangat sulit membuat yang seimbang (maksudnya membuat takdir yang menghasilkan keseimbangan sehingga menunjang lepas dari dualitas duniawi), sangat sulit mencari takdir (yang menunjang pelampauan dualitas tersebut), lebih baik setiap hari, dalam membuat takdir, dibuat dalam keadaan pikiran yang bahagia (pikiran positif), sehingga hasilnya kelak tidak akan lebih dan kurang (seimbang), tidak membuat kesukaran (dalam proses evolusi Atma) dan tidak membuat ingkar janji (mengingkari tujuan hidup yang sejati yaitu menyatu dengan SUMBER ABADI SEMESTA).
55. Kyai Abdul Jabar ngucap, Pêsthine marang Hyang Widdhi, ingkang durung kalampahan, Gatholoco anauri, Iku pêsthening Widdhi, dudu pêsthi saking ingsun, Allahku sabên dina, anggawe papêsthen mami, anuruti marang kabeh karsaningwang.
Kyai Abdul Jabar berkata, (Bagaimana dengan) ketetapan Hyang Widdhi, yang belum terlaksana, Gatholoco menyahut, Itu ketetapan (Hyang) Widdhi, bukan ketetapan dari-(Atma)ku, Allah-ku setiap hari, membuat ketetapan bagiku, menuruti kepada semua kehendak-ku. (Disini jelas harus dibedakan, mana takdir yang dibuat oleh manusia untuk dirinya sendiri melalui pikiran, perkataan dan perbuatannya, dengan takdir jalannya siklus semesta raya. Jelas, takdir bagi diri sendiri kitalah yang membuat, tapi takdir jalannya siklus semesta raya, manusia tidak bisa membuatnya.)
56. Guru tiga sarêng ngucap, Gatholoco sira iki, nyata kasurupan setan, Gatholoco anauri, Bênêr pan ora sisip, kala ingsun dereng wujud, ana ing alam samar, tumêka ing jaman mangkin, setaningsun durung pisah saking raga.
Ketiga Guru sama-sama berkata, Gatholoco kamu ini, nyata-nyata kesurupan setan! Gatholoco menjawab, Benar memang tidak salah, saat aku belum lahir, didalam alam yang samar, hingga pada jaman aku lahir (kembali sekarang), setanku belum bisa aku pisahkan dari diriku!
57. Basa setan iku seta, asaling bibit sakalir, wujudingsun duk ing kuna, punika asale putih, lamun durung mangrêti, iya iku asal ingsun, purwa saking sudarma, tumêka kalamullahi, sayêktine ingsun asal Kama Pêthak.
Setan itu berasal dari (air) putih (sperma), bibit semua manusia, wujudnya pertama kali, berwarna putih, maka ketahuilah, itulah asal-ku, berasal dari orang tua laki-laki, hingga aku harus lebur (moksa, maka setan akan tetap ada didalam diriku), sesungguhnya aku (Tubuh fisik ini beserta setannya) berasal dari Kama Pêthak (sperma berwarna putih)!
58. Mênêk Guru têlu sira, Kama Irêng ingkang dadi, dene buntêt tanpa nalar, Abdul Manap duk miyarsi, mojar mring Ahmad Ngarip, Abdul Jabar Yen sarujuk, wong iki pinatenan, lamun maksih awet urip, ora wurung ngrusak sarak Rasulullah.
Akan tetapi kalian ketiga Guru, Kama Irêng (sperma hitam) asal kalian (sperma yang berisi roh-roh terikat) sehingga bodoh tanpa nalar! Abdul Manap (Abdul Manaf) begitu mendengar, berkata kepada Ahmad Ngarip (Ahmad ‘Arif), serta kepada Abdul Jabar Jika kalian setuju, kita bunuh saja orang ini! Jika masih tetap hidup, tidak urung akan merusak syari’at Rasulullah!
59. Iku wong mbubrah agama, akarya sêpining masjid. Gatholoco asru ngucap, Den enggal nyuduk mring mami, sapisan nyuduk jisim, pindho bathang sira suduk, ya ingsun utang apa, arsa mateni mring mami, saurira Mung lêga rasaning driya.
Orang ini merusak agama, bakal membuat sepinya masjid, Gatholoco keras berkata, Segeralah tusuk Aku, pertama kamu hanya akan mampu menusuk tubuh fana ini saja, kedua kamu hanya akan mampu menusuk bangkai (tidak bakalan kalian mampu menusuk yang namanya ‘Aku’)! Berhutang apakah Aku pada kalian? Sehingga kalian hendak membunuh ‘Aku’? (sesungguhnya kalianlah yang telah banyak berhutang pada-Ku)! Terdengar jawaban, Agar puas rasa hati kami!
60. Krana sira ngrusak sarak, Gatholoco anauri, sarak tan kêna rinusak, pinêsthi dening Hyang Widdhi, …………………………, ………………………, …………………….., iku têtêp aran janma ngrusak sarak.
Karena kamu telah merusak syari’at! Gatholoco menyahuti, Syari’at (hukum yang sesungguhnya alias hukum alam) tidak bisa dirusak! Sudah ditetapkan demikian oleh Hyang Widdhi, (belum saatnya saya terjemahkan……………….), Itulah sesungguhnya yang dinamakan manusia perusak syari’at!!
61. Dene bangsane agama, sasênêngne wong ngaurip, sanajan agama Cina, lamun têrus lair batin, yêkti katrima ugi, Guru têlu agamamu, iku agama kopar, agamaku ingkang suci, iya iku kang aran Agama Rasa.
Semua agama, terserah kepada pribadi masing-masing, walaupun agama berasal dari Cina, apabila mantap lahir batin, pasti diterima (oleh Tuhan), agama kalian, itu agama sombong, agamaku yang suci, inilah yang disebut Agama Rasa.
62. Têgêse Agama Rasa, nuruti rasaning ati, rasaning badan lan lesan, iku kabeh sun-turuti, rasaning lêgi gurih, pêdhês asin sêpêt kêcut, pait gêtir sadaya, sira agama punapi, saurira Agamaku Rasulullah.
Maksud dari Agama Rasa, mengamati rasa hati, rasa badan dan rasa lidah, itu semua aku amati, rasa manis gurih, pedas asin sepat kecut, pahit dan getir semuanya (Gatholoco tengah menguraikan meditasi Vipassana, yaitu melatih Kesadaran agar senantiasa awas dengan segala gejolak pikiran dan segala sensasi tubuh), sedangkan kalian agama apakah, Mereka menjawab Agamaku agama Rasulullah!
63. Gatholoco asru ngucap, Patut sira tanpa budi, aran ra punika raras, sul usul raras kang sêpi, sul asal têgêsneki, mulane sireku kumprung, Guru tiga miyarsa, sigra kesah tanpa pamit, sakancane garundêlan urut marga.
Gatholoco keras menyahuti, Pantas kalian tanpa buddhi (kesadaran), tidak bisa mengamati rasa diri, mengamati asal usul rasa yang sepi (dari segala rasa), makanya kalian bingung, Mendengar kata-kata itu ketiga Guru, segera pergi tanpa pamit, seluruh yang bersama mereka menggerutu sepanjang jalan.
64. Sangêt dennya nguman-uman, Ahmad Ngarip muwus aris, Abdul Jabar Abdul Manap, salawasku urip iki, aja pisan pisan panggih, kalawan wong ora urus, manusa tan wruh tata, jroning ngimpi ingsun sêngit, yen kapêthuk sun mingkar tan sudi panggya.
Sangat-sangat sakit hati, Ahmad Ngarip (Ahad ‘Arif) berkata pelan, Abdul Jabar Abdul Manap (Abdul Manaf), selama hidupku ini, jangan sekali-kali lagi bertemu lagi, dengan orang yang tidak benar, manusia yang tidak mengetahui etika (seperti Gatholoco), bahkan didalam mimpi sekalipun, jika bertemu aku akan menghindar tidak sudi bertemu!
65. Gatholoco kang tinilar, aneng ngisoring waringin, rumasa yen mênang bantah, mangkana osiking galih, bangêt kêpati-pati, angêkul sameng tumuwuh, Sun-kira luwih manah, pangawruhe Guru santri, dene iku isih bodho kurang nalar.
Gatholoco yang ditinggal, dibawah pohon beringin, merasa jika telah menang dalam berdebat, begini kata hatinya, Sangat-sangat prihatin aku, betapa banyak manusia yang tidak sadar seperti kul (keong), aku kira sangat luas, wawasan Guru para sanri (tadi), ternyata masih bodoh kurang nalar.
66. Durung padha durung timbang, yen tinandhing kawruh-mami, durung nganti ingsun-gêlar, kawruhku kang luwih edi, prandene anglangani, kalah tan bisa samaur, yen mangkono sun-kira, ingkang muruk tanpa budi, iku nyata setan ingkang menda janma.
Sangat-sangat tidak seimbang, apabila diukur dengan wawasan-ku, belum juga aku wedarkan, pengetahuanku yang lebih unggul, tapi pada kenyataannya, kalah tak bisa menjawab, jika demikian kesimpulanku, siapa saja yang mengajarkan ilmu tanpa buddhi (kesadaran), itu nyata-nyata setan yang menjelma sebagai manusia.
67. Lamun wulange manusa, mêsthine pada mangrêti, mring duga lawan prayoga, aywa karêm karya sêrik, mulane kudu eling, eling marang Ingkang Asung, asung urip kamulyan, upayanên den kapanggih, yen pinanggih padhang têrang sagung nalar.
Jika benar-benar manusia, pastilah akan memahami, akan baik dan buruk, tidak suka gampang menghakimi sesama, oleh karenanya harus ingat, ingat kepada yang Maha Pemberi, yang memberikan kemuliaan hidup, carilah (Dia) hingga ketemu, jika telah ketemu akan terang benerang kesadaran ini.
68. Yen padhang têgêse gêsang, lamun pêtêng iku mati, janma ingkang duwe nalar, aran manusa sujati yen luwih wus ngarani, agal myang alus cinakup, tan kaya Guru tiga, bodhone kêpati-pati, cupêt kawruh pêtêng nalar maknanira.
Terang itu hidup, sedangkan gelap itu mati, manusia yang mempunyai kesadaran, itulah manusia sejati, manusia yang unggul, melampaui yang kasar dan halus (dualitas duniawi), tidak seperti ketiga Guru tadi, sangat-sangat bodoh, sempit wawasan gelap kesadarannya.
69. Gatholoco gya lumampah, têtêmbangan urut margi, kêbo bang kagok (sapi) upama, ‘sapi-san’ maning pinanggih, bibis alit ing tasik (undur-undur), ora ‘mun-dur’ bantah kawruh, pêlêm gung mawa ganda (kuweni), kawuk ingkang menda warni (slira), bêcik ingsun ‘ngênte-ni’ lan ‘ura-ura’.
Gatholoco segera beranjak, melantunkan tembang sepanjang jalan, Kerbau berwarna merah keputihan (SAPI maksudnya), ‘SAPI-san’ (sekali lagi) bertemu, binatang bibis yang hidup diatas pasir (binatang UNDUR-UNDUR), tidak akan ‘mun-DUR’ jika harus berdebat lagi, mangga besar dengan baunya yang harum (mangga KWENI), binatang kawuk yang berganti rupa (binatang SLIRA), lebih baik aku ‘ngente-NI’ (menanti) sembari ‘u-RA-u-RA’ (berdendang).
70. Gude rambat (kara) puspa krêsna (tlasih), ‘mani-ra’ pan ‘i-sih’ wani, witing pari (dami) enthong palwa (wêlah), ora nêja ‘ka-lah ma-mi’, araning wisma paksi (susuh), ‘mung-suh’ sira guru pêngung, parikan ulêr kambang (lintah), ingsun sênêng ‘ban-tah’ ilmi, wêlut wisa (ula) tininggal atiku ‘gê-la’.
Tumbuhan Gude yang merambat (tumbuhan KARA) daun hitam (daun TLASIH), mani-RA (diriku) sungguh ‘ma-SIH’ berani, batang padi (DAMI) centhong perahu (dayung atau WÊLAH), tidak akan ‘ka-LAH ma-MI (diriku)’, nama rumah burung (SUSUH), ‘bermu-SUH-an’ dengan kalian guru bodoh, ulat yang mengambang diair (LINTAH), aku sangat suka ‘berban-TAH-an’ ilmu, belut yang berbisa (ular atau ULA) ditinggal hatiku ‘gê-LA (kecewa)’.
71. Mendhung pêthak (mega) kunir pita (têmu), ‘muga-muga têmu’ maning, têpi wastra rinumpaka (kêmadha), banjur ‘pa-dha’ maring ngêndi, kayu rineka janmi (golek), apa ‘golek’ guru jamhur, sarkara munggeng tala (madu), arsa den ‘a-du’ lan mami, wadhung rêma (cukur) malah ‘so-kur’ yen mangkana.
Mendung berwarna putih (MEGA) kunyit merah (TÊMU), ‘semo-GA bertê-MU’ lagi, pinggir kemben yang dirias (KÊMADHA), lantas ‘pa-DHA (sama)’ kemana semua? Kayu yang dibuat seperti wujud manusia (GOLEKAN), apa mau ‘GOLEK (mencari)’ Guru terkenal? Cairan manis diatas pohon (MADU), hendak ‘di-ADU’ dengan aku, cangkulnya rambut (alat CUKUR) malah ‘syu-KUR’ jika memang begitu.
72. Jangkrik gung wismeng kêbonan (gangsir), manira ora ‘guming-sir’, bêbasan putrane menda (cêmpe), ‘sakarê-pe’ sun-ladeni, jamang wakul (wêngku) upami, angajak apa ‘sire-ku’, duh lae putêr wisma (dara), nganggo ‘si-ra’ mêjanani, kênthang rambat (katela) sanajan rupaku ‘a-la’.
Jangkrik bertubuh besar berumah dikebun (binatang GANGSIR), diriku tidak akan ‘guming-SIR (mundur)’, anak kambing (CÊMPE), ‘sakare-PE (semaunya)’ aku layani, mahkota tempat nasi (WÊNGKU), mau mengajak apa ‘sire-KU (dirimu)’, burung Puter yang suka dipelihara (burung merpati atau DARA), sehingga ‘si-RA (kamu)’ menghinaku, buah kentang yang merambat (KÊTELA) walaupun wajahku ‘a-LA (jelek)’.
73. Mênyawak kang sabeng toya (slira), ‘praka-ra’ mung bantah ilmi, wulu bauning kukila (êlar), kabeh ‘na-lar’ sun tan wêdi, sayêkti pintêr mami, tinimbang lan sira guru, kaca tumraping netra (têsmak), ora ‘ja-mak’ mejanani, mulwa rêngka (srikaya) yen sira luru ‘sara-ya’.
Biawak yang suka di-air (binatang SLIRA), ‘perka-RA’ tentang berdebat ilmu, bulu punggungnya burung (ÊLAR), segala ‘na-LAR’ (pengetahuan) aku tidak takut, pasti lebih pintar aku, daripada kalian para guru, kaca untuk mata (kaca mata atau TÊSMAK), ‘ora ja-MAK (tidak lumrah, sudah melampaui batas)’ penghinaan kalian, buah nangka yang gampang terbelah (buah SRIKAYA), jika kalian mencari ‘sara-YA (cara)’.
74. Kêmadhuh rujit godhongnya (rawe), aywa suwe sun-anteni, guru ngêndi srayanira, najan jamhur luwih wasis, ingsun wani nandhingi, angayoni bantah kawruh, masa ingsun mundura, yeku karsane Hyang Widdhi, raganingsun yêktine darma kewala.
Daun kemadhuh bergerigi (RAWE), jangan ‘su-WE (lama)’ aku nantikan, guru mana yang kamu andalkan, walaupun tersohor dan pintar, aku berani menandingi, melayani berbantah ilmu, tidak akan aku mundur, karena ini semua kehendak Hyang Widdhi, diriku hanya sekedar menjalani.
75. Gatholoco sukeng driya, rêrêpen alon lumaris, miling-miling mung priyangga, dumugi patopan mampir, manjing mring bambon linggih, ngambil klelet kang kinandhut, saglindhing dipun untal, ngrasuk badan anyêgêri, kraos gatêl astane ngukur sarira.
Gatholoco suka dihati, berdendang sembari berjalan pelan, hanya sendirian saja, sampai disebuah tempat lantas mampir, masuk kedalam tempat madat dan duduk, mengambil candu yang di bawa, segelintir langsung dimakan, merasuk badan menyegarkan, terasa gatal tangannya menggaruk tubuh.
_________________