9/25/2013

SAPTA DHARMA

AJARAN KEROHANIAN SAPTADARMA

Di tembok rumah sang pendirinya, tiba-tiba muncul gambar-gambar dan tulisan yang kelak menjadi lambang, nama, serta ajaran-ajaran pokok Sapta Darma…
Bagi kalagan umum disebut aliran kebatinan, bagi penganut Sapta Darma disebut ajaran kerokhanian. Diantara berbagai aliran kebatinan lain yang ada di tanah air, umur Sapta Darma tergolong muda dan modern. Meskipun sudah diakui pemerintah, namun hingga kini masih saja ada saja yang masih mempermasalahkannya dengan berbagai tuduhan yang miring.
Apa yang salah dengan aliran Sapta Darma? Bukankah negeri ini dasarnya adalah Pancasila dimana dalam sila pertamanya tercantum Ketuhanan Yang Maha Esa dan aliran ini bahkan mewajibkan warganya menyembah Tuhan yang satu, Allah Yang Maha Kuasa dan penganutnya berkewajiban menjalankan hidupnya berdasarkan tujuh kewajiban suci (darma), agar selamat hidup dunia dan akhirat.
Sapta Dharma bukanlah aliran sesat yang menyembah berhala dan meminum darah musuh demi mendapatkan kesaktian, Sapta Darma adalah aliran yang ingin agar penganutnya menjadi manusia yang berbudi luhur dan Pancasilais.
Tapi, lihatlah banyak fakta yang terjadi dimana masyarakat yang mengaku beragama tertentu menyerang para penganut aliran kebatinan tersebut dengan berbagai dalih. Kenapa hingga kini berbagai aliran kepercayaan/ aliran kebatinan itu masih dipandang sebelah mata? Bukankah mereka tumbuh berkembang sebagai hasil interaksi manusia asli Indonesia dengan alam dan Tuhan?
Sejarah adalah bukti bagaimana pemerintah kita mengakui eksistensi berbagai aliran kebatinan di nusantara. Dimulai pada tanggal 19 dan 20 Agustus 1955 di Semarang diadakan kongres dari berpuluh-puluh aliran kebatinan yang ada di berbagai daerah dilanjut dengan Kongres berikutnya pada tanggal 7 Agustus 1956 di Surakarta dan dua kongres serta seminar mengenai masalah kebatinan dalam tahun 1959, 1961 dan 1962.
Aliran kepercayaan/ kebatinan merupakan budaya lokal dengan anggota yang jumlahnya berkisar antara 200 orang hingga ribuan orang. Yang termasuk aliran kecil adalah berjumlah 200 orang misalnya PANCASILA HANDAYANINGRATAN dari Surakarta; ILMU KEBATINAN KASUNYATAN dari Yogyakarta; ILMU SEJATI dari Madiun; dan TRIMURTI NALURI MAJAPAHIT dari Mojokerto, PENUNGGALAN, PERUKUNAN KAWULA MANEMBAH GUSTI, JIWA AYU dan dan lain-lain.
Ada pula aliran kebatinan yang tergolong besar yang beranggotakan lebih dari 1000 orang yang tersebar di berbagai daerah. Yang termasuk aliran dengan banyak pengikut di antaranya HARDOPUSORO dari Purworejo, Susila Budi Darma (SUBUD) yang asalnya berkembang di Semarang, Paguyuban Ngesti Tunggal (PANGESTU) dari Surakarta, Paguyuban SUMARAH dan SAPTA DHARMA dari yogyakarta.
HARDOPUSORO adalah yang tertua diantara kelima gerakan yang terbesar itu, didirikan oleh Kyai KUSUMOWIDJITRO, seorang kepala desa di desa Kemanukan, Purworejo pada tahun 1895. Ia menerima wahyu yang semula disebut KAWRUH KASUNYATAN GAIB. Ajaran-ajarannya termaktub dalam dua buah buku ynag oleh para pengikutnya sudah hampir dianggap keramat, yaitu Buku KAWULA GUSTI dan WIGATI.
Susila budi (SUBUD) didirikan pada tahun 1925 di semarang, pusatnya sekarang berada di jakarta. Mereka tidak menyebut diri sebagai aliran kebatinan, melainkan “pusat latihan kejiwaan”. Anggota-anggotanya yang berjumlah beberapa ribu itu tersebar di berbagai kota diseluruh indonesia dan mempunyai sebanyak 87 cabang di luar negeri. Banyak dari para pengikutnya adalah orang Asia, Eropa, Australia dan Amerika. Doktrin ajaran organisasi itu dimuat dalam buku berjudul SUSILA BUDHI DHARMA.
PAGGUYUBAN NGESTI TUNGGAL, atau lebih terkenal dengan nama PANGESTU adalah sebuah budaya kebatinan lain yang luas jangkauannya. Gerakan ini didirikan oleh Soenarto, yang di antara tahun 1932 dan 1933 menerima wangsit yang oleh kedua orang pengikutnya dicatat dan kemudian diterbitkan menjadi buku Serat Sasangka Jati.
Pangestu didirikan di surakarta pada bulan mei 1949, dan anggota-anggotanya berkisar antara 50.000 orang tersebar di banyak kota di Indonesia. Anggota yang berasal dari daerah pedesaan banyak yang tinggal di pemukiman transmigrasi di Sumatera dan Kalimantan. Majalah yang dikeluarkan organisasi itu DWIJAWARA merupakan tali pengikat persaudaraan Pangestu.
PAGUYUBAN SUMARAH diprakarsai oleh R. Ng. Sukirno Hartono dari Yogyakarta. Ia mengaku menerima wahyu pada tahun 1935. Pada akhir tahun 1940 mengalami kemunduran, namun berkembang kembali tahun 1950 di yogyakarta. Jumlah anggotanya kini sudah mencapai 115.000 orang baik yang berasal dari golongan priyayi maupun dari kelas-kelas masyarakat lain.
SAPTA DARMA adalah yang termuda dari kelima gerakan kebatinan yang terbesar di jawa yang didirikan pada 27 Desember tahun 1952 oleh Hardjosapuro yang kemudian mengganti namanya menjadi Panuntun Sri Gutomo. Beliau berasal dari desa Keplakan, Pare, Kediri. Berbeda dengan keempat organisasi yang lain, SAPTA DARMA beranggotakan orang-orang dari daerah pedesaan dan orang-orang pekerja kasar yang tinggal di kota-kota. Walaupun demikian para pemimpinnya hampir semua priyayi. Buku yang berisi ajarannya adalah KITAB PEWARAH SAPTA DARMA.
AJARAN SAPTA DARMA
Pemeluk SAPTA DARMA mendasarkan apa saja yang dilakukan sebagai suatu ibadah, baik makan, tidur, dan sebagainya. Tetapi ibadah utama yang wajib dilakukan adalah SUJUD, RACUT, ENING dan ULAH RASA. SUJUD, adalah ibadah menyembah Tuhan; sekurang-kurangnya dilakukan sekali sehari.
RACUT, adalah ibadah menghadapnya Hyang Maha Suci/Roh Suci manusia ke Hyang Maha Kuwasa. Dalam ibadah ini, Roh Suci terlepas dari raga manusia untuk menghadap di alam langgeng/surga. Ibadah ini sebagai bekal perjalanan Roh setelah kematian. ENING, adalah semadi, atau mengosongkan pikiran dengan berpasrah atau mengikhlaskan diri kepada Sang Pencipta. ULAH RASA, adalah proses relaksasi untuk mendapatkan kesegaran jasmani setelah bekerja keras/olah raga.
Warga Sapta Darma tidak membicarakan surga dan neraka, tetapi mempersilahkan warga Sapta Darma untuk melihat sendiri adanya surga dan neraka tersebut dengan cara racut. Kejahatan, kesemena-menaan, dan sebagainya mencerminkan neraka dengan segenap reaksi yang ditimbulkannya. Begitu juga dengan kebaikan seperti bersedekah, mengajarkan ilmu, menolong sesama mencerminkan surga.
SAPTA DARMA lebih fokus pada pengembangan budi pekerti yang saat ini semakin terdegradasi di negeri kita. Seperti tawuran pelajar ada di mana-mana, pemerkosaan terhadap anak-anak dan perempuan, perdagangan manusia, semua terjadi hampir tiap hari. Semua catatan segala penyimpangan akan terus bertambah dan barangkali bisa menjadi daftar panjang tidak berkesudahan. Belum lagi apabila ditambah dengan korupsi yang dilakukan para politikus dan pejabat negeri ini.
Salah satu upaya untuk memperbaiki situasi adalah dengan terus menumbuhkembangkan budi pekerti sebagaimana yang dilakukan oleh aliran kerohanian Sapta Dharma. Inti dari ajaran aliran yang asal-muasalnya dari tanah Jawa itu adalah menyelaraskan kehidupan manusia dengan alam, sesama, dan Sang Maha Pencipta.
Ketua Badan Pengurus Yayasan Srati Dharma Pusat Yogyakarta Subiyantoro mengungkapkan, aliran yang intinya pada penggalian budi pakarti luhur itu diterima kali pertama oleh Hardjosapuro yang setelah menerima wahyu bergelar rohani Sri Gutomo pada Desember 1952 di Pare, Kediri.
Dikisahkan saat proses awal Hardjosapuro menerima wahyu. Sewaktu dia Waktu itu, dia merasa tidak enak badan, lantas mengambil tikar dan berusaha tidur di lantai. Tiba-tiba dia merasakan suatu getaran hebat dan tergerak untuk menghadap ke timur. Di tengah-tengah situasi menggetarkan itu, dia beberapa kali merasa meneriakkan sesuatu. Setelah mengalami peristiwa aneh, dia kemudian menceritakan kepada teman-temannya.
Semula tidak ada yang percaya tetapi setelah semua ikut mengalami akhirnya percaya bahwa ada kekuatan yang mendorong mereka untuk menumbuhkembangkan budi pekerti luhur. Bukan sebatas itu, yang fenomenal adalah di tembok rumah Harjosapuro muncul gambar-gambar dan tulisan yang kelak menjadi lambang, nama, serta ajaran-ajaran pokok Sapta Dharma.
Semenjak itulah, berkembang aliran kerohanian yang bernama Sapta Dharma hingga kini sudah tersebar di seluruh propinsi di Indonesia.
Menurut Subiyantoro ajaran SAPTA DARMA terbuka bagi siapa saja dengan latar belakang berbeda-beda. Tidak ada diskriminasi dalam ajaran kerokhanian tersebut. Dijelaskan Subiyantoro, Ritual SAPTA DARMA adalah Ritual Sujud seperti layaknya orang berdoa untuk melakukan penggalian rohani. Dalam sujud tersebut, para penganut meluhurkan Allah yang Mahakuasa, mengakui kesalahan dan bertobat tidak melakukan kesalahan lagi.
SETIAP KALI SUJUD, SESEORANG BISA MEMAKAN WAKTU 1,5 JAM BAHKAN LEBIH. WAKTU TIDAK BISA MEMBATASI SESEORANG HARUS SELESAI SUJUD, TERGANTUNG PADA GETARAN YANG MEREKA RASAKAN. PADA TAHAPAN TERTENTU, SESEORANG BISA BERUBAH POSISI DARI SEMULA DUDUK BERSILA PERLAHAN-LAHAN TERTUNDUK SAMPAI KEPALA MENYENTUH LANTAI. “Ajaran Sapta Darma yang pada intinya budi pekerti luhur memang untuk menumbuhkan pikiran, sikap, dan perilaku berbudi pekerti luhur setiap insan,” tuturnya.

Sujud dan Dua Belas Saudara

Dalam sujud manembah yang telah diuraikan
Turunnya getaran dari kepala benar dirasakan
Terutama sewaktu melintasi jalur di dada
Tempat adanya bentuk tiga belah ketupat
Satu di atas, satu di tengah, dan satu di bawah
Yaitu yang disebut dengan istilah radar

Maka pada tiap belah ketupat itu
Terdapat getaran-getaran perwujudan
Dari sifat khusus kedua-belas saudara
Getaran berwarna hitam adalah aluwamah
Yang merah amarah, kuning suwiyah, putih mutmainah

Adapun letak dan sifat dua belas saudara itu demikian:
Hyang Maha Suci di ubun-ubun, sarana untuk menghadap
Hyang Maha Kuwasa dalam sujud dan dalam hening
Premana di dahi di antara kedua mata, untuk melihat
Segala hal yang tak tampak oleh mata biasa

Jatingarang atau Suksmajati di bahu kiri tempatnya
Gandarwaraja di bahu kanan dan bersifat kejam
Sering bertengkar serta tamak
Brama di tengah, senang marah sifatnya
Bayu di dada kanan, cirinya adalah keteguhan

Endra di dada kiri dan berpembawaan malas
Mayangkara di pusar, seperti kera suka mencuri
Merampas, mengejek, dan menghina
Suksmarasa di pinggang kiri dan kanan
Memiliki sifat halus perasaan

Suksmakencana di tulang tungging
Pengaruhnya pada gairah kebirahian
Nagatahun atau Suksmanaga di tulang belakang
Seperti ular sifatnya berbelit-belit dan berbisa
Baginda Kilir atau Nur Rasa bergerak sifatnya
Letaknya di ujung jari dan dapat digunakan
Oleh warga untuk menyembuhkan penyakit

Maka dalam sujud Sapta darma
Segala sifat saudara yang baik itu
Dikembangkan kepada kesempurnaan
Dan sifat saudara yang buruk
Diruwat agar menjadi tawar

Demikianlah ajaran Sapta Darma
Yang datang dari Panuntun Agung Sri Gutomo
Baik untuk didengar, dipahami, dan dijalankan
Supaya dapat seseorang menjadi satria berbudi
Yang berpegang pada Wewarah Tujuh dan Sesanti:

Ing ngendi bae Warga Sapta Darma
Kudu sumunar pinda baskara!

Dengan demikian para warga itu
Sesungguhnya juga mengikut pada petuah:
Sepi ing pamrih rame ing gawe!

Nb. Akan segera saya salin kitab wewarah sapta darma yang di terbitkan oleh yayasan sapta darma jogjakarta yang di tulis dan di sahkan oleh panuntun Sri Gutama malam jumaat wage tgl 18 april 1957

Tidak ada komentar:

Posting Komentar