SERAT DARMO GANDHUL
Serat Darmagandhul
Cerita berdirinya Negara Islam di Demak,
hancurnya Negara Majapahit, dimana saat itulah awal mula masyarakat Jawa
meninggalkan agama Buda [Shiwa Buddha] dan berganti memeluk agama Islam.) Prosa
dalam bahasa Jawa kasar. Diambil dari catatan induk asli peninggalan K.R.T.
Tandhanagara, Surakarta.
Tergerak dan terdorong hati ini, setelah
mengetahui cerita indah, dari Kyai Kalamwadi (Kalam = Ucapan, Wadi = Rahasia),
yang dulu pernah berguru menimba ilmu kepada Raden Budi (Buddhi = Kesadaran),
mentaati dan menuruti, apa yang selalu diperintahkan oleh guru, setia
menjalankan petunjuk, tekadnya sudah tiada lagi keraguan lahir maupun batin,
memuja guru bagaikan dewa itu sendiri.
Apapun petunjuk Raden Budi (Buddhi = Kesadaran)
sangat jernih, dijunjung dan diresapi didalam hati, benar-benar dihargai lahir
maupun batin, tiada peduli walau harus hancur luluh, itulah tekad (Kyai
Kalamwadi) mulai pertama (berguru) hingga akhir nanti, diterima oleh Bathara
(Hyang Widdhi), segala keinginannya-pun terwujud, sangat besar anugerah Hyang
Suksma (Yang Maha Gaib), selalu diberi petunjuk melalui Alam Sahir (Alam =
Dunia, Sahir;Sugrho = Kecil, Alam Kecil, Micro cosmos, Jagad Cilik, Bhuwana
Alit maksudnya Badan Manusia) maupun Alam Kabir (Alam = Dunia, Kabir;Kubro =
Besar, Alam Besar, Macro cosmos, Jagad Gedhe, Bhuwana Agung maksudnya Alam
semesta), sehingga akhirnya menjadi Auliya (Manusia Pilihan).
Mampu membaca segala rahasia Hyang Widdhi, dan
selalu bisa mematuhi dengan teguh, segala pesan gurunya, yang memerintahkan
agar mengajarkan sebuah pengetahuan, agar membuat tenteram hati sesama, dan
juga membuka rahasia agar seluruh ahli sastra, bisa meniru dan menyebarkannya,
Kyai Kalamwadi (Kalam=Ucapan, Wadi=Rahasia) menulis, diberikan judul SERAT
DARMAGANDHUL (Darma = Kebenaran, Gandhul = Menggantung, Mengambang,
Darmagandhul artinya KEBENARAN YANG MENGAMBANG), dirangkai dalam syair-syair
tembang Macapat (Tembang kecil)
Saat membaca tulisan beliau, cakupan tembang-nya
sangat bagus dan gampang dimengerti, jelas dan terang maksudnya, membuat hati
terpana, sehingga ingin memiliki (tulisan tersebut) dan ingin menyimpannya,
ingin menulisnya ulang untuk diri sendiri, semua isinya, setelah selesai
membaca, segera ditulis ulang, berguna untuk menghibur hati.
Saat berdiam diri dirumah, disela-sela waktu
bekerja, tembang ini bisa dinyanyikan, sebagai petunjuk bagi orang bodoh
(seperti saya, maksudnya Darmagandhul), dan bisa dibuat untuk menentramkan
hati, saat beristirahat, saat menganggur tiada pekerjaan, tembang ini bisa
dibuat memupuk rasa kasih kepada Hyang Widdhi, tidak banyak menyita waktu untuk
menyanyikannya sehingga tak kelaparan anak istri, sekeluarga tetap sejahtera.
Pada akhirnya pasrah kepada takdir, berserah
mengikuti kehendak Hyang (Widdhi), telah tercatat di Lokhilmakpul (Laukhil
Makfudz =Kitab yang konon berisi catatan-catatan takdir manusia), saat menulis
ulang tepat, tanggal Duapuluh tiga hari Tumpak Manis (Sabtu Legi), bulan RUWAH
(Sya’ban) tahun JE (tahun ke-empat dalam satu windu yang terdiri atas delapan
tahun, yaitu Alip, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, Jimakir), windu SANCAYA
(nama kumpulan windu pada urutan keempat atau terakhir, yaitu ADI, KUNTARA,
SENGARA, SANCAYA), masa ke-VI (Masa adalah perhitungan mirip bulan dan
dipergunakan untuk pertanian), wuku Wukir (Wuku adalah hari 30-an, dimana satu
hari terdiri dari 7 hari biasa atau satu hari sama dengan satu minggu, Wukir
adalah nama hari wuku ke-3), pertanda tahun Wuk Guna Ngesthi Nata (Wuk = 0,
Guna = 3, Ngesthi = 8, Nata = 1. Jika dibalik 1830).
Terjemahan asli dalam bahasaIndonesia:
Pada suatu hari Darmagandhul bertanya kepada
Kalamwadi, begini pertanyaannya,” Apa awal mula penyebab orang Jawa meninggalkan
agama Buda (Shiwa Buddha~bukan hanya Buddha) dan berganti memeluk agama Islam?”
Ki Kalamwadi menjawab, “Aku sendiri juga kurang
tahu, akan tetapi aku pernah mendapatkan cerita dari guruku, dan guruku adalah
orang yang bisa dipercaya, beliau menceritakan awal mula orang Jawa
meninggalkan agama Buda (Shiwa Buddha) dan berganti memeluk agama Rasul
(Islam).
Bertanya lagi
Darmagandhul,”Bagaimanakah ceritanya?”
Ki Kalamwadi lantas berkata,”Hal ini sesungguhnya
memang perlu diceritakan agar mereka yang belum mengetahui lantas bisa
mengetahuinya.”
Pada jaman dahulu Negara Majapahit sesungguhnya bernama asli Majalengka,
sedangkan nama Majapahit itu hanyalah sekedar perlambang, akan tetapi yang
belum tahu kisahnya maka nama Majapahit-lah dianggap nama asli.Di Negara
Majalengka yang bertahta sebagai Raja terakhir bergelar Prabhu Brawijaya. Kala
itu, Sang Prabhu tengah tergila-gila, Sang Prabhu menikah dengan Putri Cempa
(Champa), padahal Putri Cempa beragama Islam. Disetiap memadu asmara, Sang
Retna (Retna : Intan, maksudnya Putri Cempa) senantiasa menceritakan kepada
Sang Raja, tentang keluhuran agama Islam, setiap dipanggil menghadap, tiada
lain lagi yang diceritakan, selain memuliakan agama Islam, sehingga membuat
ketertarikan hati Sang Prabhu kepada agama Islam.
Tidak berapa lama kemudian, seorang keponakan
Putri Cempa yang bernama Sayyid Rahkmat (Sayyid Rakhmad) berkunjung ke
Majalengka, serta memohon ijin kepada Sang Raja, agar diperkenankan menyebarkan
syariat agama Rasul (Islam). Sang Prabhi mengabulkan apa yang diminta oleh
Sayid Rakhmat. Sayid Rakhmat lantas berdiam di Ngampeldenta (daerahSurabaya)
dan mensi’arkan agama Rasul (Islam). Mulai saat itu banyak para ulama dari
seberang berdatangan, para ulama dan para Maulana menghadap Sang Prabhu di Majalengka,
untuk meminta ijin berdiam dipesisir (utara Jawa). Permintaan merekapun
dikabulkan oleh Sang Raja. Lama kelamaan apa yang diingini oleh para pendatang
mendapat sambutan juga, masyarakat Jawa lantas banyak yang memeluk agama Islam.
Salah satunya adalah Sayit Kramat (Sayyid
Karomah) menjadi guru dari orang Jawa yang telah memeluk agama Islam,
berkedudukan di daerah Benang wilayah Tuban. Sayit Kramat adalah Maulana dari
tanah Arab masih keturunan Nabi Rasulullah (Nabi Muhammad), oleh karenanya
dipercayai sebagai seorang guru oleh orang Islam. Banyak orang Jawa yang
terpikat dan berguru kepada Sayit Kramat. Seluruh masyarakat Jawa dipesisir
utara, mulai ke barat sampai ketimur semua meninggalkan agama Buda (Shiwa
Buddha), dan lantas memeluk agama Rasul (Islam). Bahkan mulai daerah Blambangan
ke barat hingga daerah Banten, banyak yang pada tertarik ucapan-ucapan Sayit
Kramat.
Padahal agama Buda (Shiwa Buddha) telah ada
ditanah Jawa selama kurang lebih seribu tahun, semua pengikutnya menyembah
kepada Budi Hawa. Budi (Buddhi : Kesadaran ~ disini yang dimaksud adalah
Kesadaran Sejati) adalah Dzat Hyang Widdhi, Hawa adalah kehendak hati
(maksudnya tanpa paksaan. Menyembah Buddhi Hawa artinya menyembah Kesadaran
Sejati tanpa ada paksaan dari siapapun dan apapun : DS), manusia tidak memiliki
kekuatan apapun, manusia hanya sekedar menjalani, Buddhi (Kesadaran Sejati ~
Tuhan)-lah yang menggerakkannya.
Sang Prabhu Brawijaya memiliki putra lelaki hasil
perkawinannya dengan seorang putrid berkebangsaan Cina, lahir diPalembang,
bernama Raden Patah.
Ketika Raden Patah telah beranjak dewasa, berniat
menghadap kepada ramandanya, ikut serta saudara lain ayah satu ibu, bernama
Raden Kusen. Setibanya di Majalengka Sang Prabhu sempat kebingungan untuk
memberikan nama kepada putranya tersebut. Sebab jika mengambil nama dari
ramandanya maka harus bernama Jawa Buda karena ramandanya beragama Jawa Buda.
Jika mengambil nama menurut para leluhur dahulu, seorang putra Raja yang lahir
di wilayah pegunungan harus diberinama Bambang. Jika mengambil nama dari ibunya
maka lebih cocok diberinama Kao Tiang, jika mengambil nama dari Arab sesuai
dengan agama yang dianut Raden Patah maka pantas diberi nama Sayid atau Sarib.
Sang Prabhu lantas memerintahkan Patih dan para nayaka (pejabat) untuk menghadap,
semua diminta pertimbangan untuk memberikan nama kepada putranya ini. Sang
Patih mengatakan bahwasanya jika menurut leluhur maka pantas diberikan nama
Bambang, akan tetapi karena ibunya berasal dari Cina maka lebih baik diberinama
Babah, selain pantas juga menyiratkan maksud bahwa Raden Patah ‘pambabare ana
Negara liya (lahirnya di daerah luar Jawa)’. Mendengar penuturan Sang Patih
yang seperti itu, semua pejabat menyepakati. Dan pada akhirnya Sang Raja
kemudian mengumumkan bahwasanya putra beliau yang lahir diPalembang tersebut
diberikan gelar dan nama Babah Patah. Hingga sekarang, untuk menyebut anak
blesteran Cina Jawa lumrah dinamakan Babah. Pada waktu itu, Babah Patah merasa
takut jika tidak menyetujui kehendak ramandanya memberikan nama Babah padanya,
sehingga seolah-olah dia juga menyukai nama itu, padahal tidak demikian,
sesungguhnya dia tidak menyukai nama Babah tersebut.
Dikala itu Babah Patah lantas diangkat sebagai
Bupati didaerah Demak, membawahi seluruh Bupati mulai pesisir Demak ke barat,
serta pula Babah Patah dinikahkan dengan putrid dari Ngampelgadhing, cucu dari
Kyai Ageng Ngampel (Sayit Rahkmat atau Sunan Ngampel/Ampel ~ keponakan Putri
Cempa). Setelah sekian waktu berdiam di Majalengka lantas boyongan ke Demak,
berada didesa Bintara. Karena Babah Patah semenjak diPalembang telah beragama
Islam, oleh Sang Prabhu diperkenankan tetap menjalankan agamanya di Demak.
Sedangkan Raden Kusen waktu itu diangkat sebagai Adipati Terung (daerah Tarik,
Mojokerto sekarang), diberikan gelar Raden Arya Pecattandha.
Lama kelamaan syariat Rasul (agama Islam) semakin
berkembang pesat, semua ulama meminta perkenanan Sang Prabhu untuk memakai
gelar Sunan. Sunan itu artinya budi (buddhi : Kesadaran), akar kecerdasan untuk
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, Jika buah budi (Buah Kesadaran)
mampu menyadari kepada segala kebaikan, maka manusia seperti itu patut
dijadikan tempat ‘sinuwunan (dimintai)’ pengetahuan lahir batinnya. (Maksudnya
patut dijadikan guru)
Pada saat itu para ulama budi (kesadaran)-nya
masih bagus, belum memiliki keinginan untuk berbuat tidak baik, masih berfokus
pada spiritualitas murni. Sang Prabhu Brawijaya melihat dan heran, para ulama
Islam kok olah batinnya mirip dengan pengikut agama Buda (Shiwa Buddha), akan
tetapi minta disebut Sunan. Spiritualitas yang dijalankan sama dengan pengikut
agama Buda. Padahal menurut kabar, penganut sayariat Rasul (Islam) hanya
menjalankan puasa tidak sedemikian kerasnya, karena merusak/melanggar syariat
(Maksudnya, konon kabar yang diterima Sang Prabhu tentang aturan spiritualitas
orang-orang Islam sesuai syariat, tidaklah seketat yang beliau lihat yang
dijalankan para Sunan tersebut. Sang Prabhu tidak tahu bahwa para Sunan
tersebut menjalankan laku Tassawuf, laku spiritualitas yang memang kadang
sedikit berseberangan denga syariat Islam itu sendiri dibeberapa hal). Prabhu
Brawijaya-pun mengijinkan permintaan para ulama. Agama Rasul semakin menyebar
luas. Semua kejadian diatas memang sangat aneh (maksudnya begitu mudahnya Sang
Prabu memberikan ijin), kita tidak menyaksikan sendiri, semua ini berasal dari
ingatan para leluhur, manakala kita mendapat cerita ini, sudah sepatutnya otak
kita kritis, mau mempercayainya atau tidak, harus benar-benar dipertimbangkan
secara matang, sampai sekarang masih Nampak peninggalan-peninggalan sejarah
yang berkaitan dengan cerita diatas, masih bisa dinyatakan keberadaannya, oleh
karena itu menurutku kejadian diatas bisa dipercaya.
Kala itu Sunan Benang berkeinginan untuk
mengunjungikotaKedhiri. Dalam perjalanan tersebut, yang menemani hanya dua
orang sahabat (murid). Sesampainya di wilayah Kedhiri bagian utara, tepatnya di
wilayah Kertasana (Kertosono), perjalanan mereka terhalang oleh aliran air
sungai Brantas yang tengah meluap banjir (namun tidak begitu besar). Sunan
Benang beserta dua muridnya masih bisa menyeberang. Sesampainya di sebelah
timur sungai mereka mencari tahu agama apa yang dipeluk oleh masyarakat yang
tengah berdiam disitu, apakah sudah memeluk agama Islam atau masihkah
menjalankan agama Budi (dalam teks asli, tidak tertulis Buda, tapi Budi.
Berarti jelas, yang dimaksud adalah agama-agama selain Islam dan keberadaan
agama-agama tersebut diikat oleh tali Kesadaran pluralitas. Saling asah asih
dan asuh satu sama lain. Agama Budi, kurang lebihnya berarti Agama Kesadaran :
DS). Menurut penuturan Ki Bandar (mungkin salah seorang penduduk yang sudah
memeluk agama Islam), masyarakat sekitar mayoritas memeluk agama Kalang. Yang
memeluk agama Buda hanya beberapa saja, sedangkan syiar agama Rasul (Islam)
masih sedikit sekali, tapi sudah mulai merambah kesana. Mayoritas masyarakat
disana beragama Kalang, memuliakan Bandung Bandawasa. Bandung dianggap sebagai
Nabi. Jika tengah berhari raya, seluruh pengikutnya bersama-sama memakan
makanan yang enak-enak, bersuka cita dikediaman masing-masing. Sunan Benang
berkata : “Jikalau demikian seluruh masyarakat yang bermukim disini ber-agama
Gedhah. Gedhah maksudnya tidak hitam juga tidak putih. Oleh karenanya diwilayah
ini patut disebut kota Gedhah.”
Ki Bandar berkata: “Sabda yang telah tuan
ucapkan, saya yang menjadi saksinya.” Wilayah di sebelah utarakota Kedhiri
lantas terkenal dengan namakota Gedhah. Sampai sekarang-pun masih tetap
disebutkota Gedhah. Akan tetapi jarang yang mengetahui asal usul mengapa diberi
nama demikian.
Sunan Benang berkata kepada muridnya : “ Kalian
berdua carilah banyu imbon (air bersih yang disimpan untuk keperluan memasak)
ke pedesaan. Sungai ini masih banjir, airnya masih kotor, jikalau diminum akan
membuat sakit perut. Dan lagi, ini sudah masuk waktu shalat Dzuhur, aku hendak
berwudlu, hendak menjalankan shalat.”
Salah seorang murid segera pergi kearah pedesaan
untuk mencari air bersih. Sesampainya didesa Pathuk dia mendapati sebuah rumah
yang terlihat tanpa penghuni lelaki, disana yang ada cuma seorang gadis muda
belia. Seorang gadis yang baru beranjak dewasa. Kala itu dia tengah sibuk
menenun. Sang murid mendekat serta berkata sopan : “Gadis yang cantik, saya
hendak meminta sedikit banyu imbon (air yang disimpan) yang bersih.” Sang
perawan terkejut begitu mendengar suara seorang pria yang tiba-tiba menyapanya.
Begitu menoleh, seketika terlihat olehnya seorang pria berpakaian santri. Salah
mengira sang perawan, dikiranya lelaki tersebut hendak menggodanya, hendak
berbuat kurang ajar padanya, oleh karenanya dijawabnya permintaan tersebut
dengan ucapan kasar : “Anda ini baru saja melewati sebuah sungai kok malah
kesini hendak meminta banyu imbon (air yang disimpan). Disini tidak ada
kebiasaan menyimpan air, kecuali air kecing saya ini, jika hendak meminum,
minumlah!” (Kesalah pahaman ini terjadi karena memang didaerah dimana sang
gadis tinggal, sangat dekat sekali dengan aliran sungai Brantas. Tak mungkin
seorang yang berada didaerah situ tidak melihat adanya aliran air sungai disana
: DS)
Mendengar jawaban semacam itu, sang santri segera
pergi tanpa pamit. Langkah kakinya dipercepat sembari menyumpah serapah
sepanjang jalan. Setibanya dihadapan Sunan Benang, segera diceritakannya apa
yang baru dialaminya. Mendengar penuturan muridnya, Sunan Benang marah, hingga
keluar sumpah-nya. Sumpah yang terucap (darti mulut Sunan Benang) adalah
diwilayah tersebut akan sulit mencari air dan setiap gadis serta perjaka yang
tinggal disana tidak akan bisa menikah sebelum usianya tua. Begitu usai sumpah
terucap, seketika itu juga aliran Sungai Brantas tiba-tiba surut dan lantas
meluap menerjang wilayah pedesaan, hutan, ladang dan pesawahan. Banyak desa
yang rusak oleh karena terlanggar aliran sungai yang menyimpang jalur. Setelah
seluruh air sungai tumpah ke pedesaan, menyusul kemudian menyusut dan lenyap.
Hingga sekarang diwilayah Gedhah sangat sulit mencari air, sedangkan para
perjaka dan perawan yang tinggal disana banyak yang menjadi perjaka dan perawan
tua. Sunan Benang lantas melanjutkan perjalanannya ke Kedhiri.
Pada saat itu tersebutlah seorang makhluk halus
(Jin/Asura) bernama Nyai Plencing yang berdiam disebuah sumur diwilayah
Tanjungtani. Waktu itu seluruh anak cucunya berdatangan, melaporkan kejadian
bahwasanya ada seorang manusia bernama Sunan Benang, sangat suka sekali
melakukan kekerasan kepada para makhluk halus yang tidak bersalah,
mengunggulkan kesaktiannya. Bahkan aliran sungai yang berasal dari Kedhiri
dikutuk sehingga kering seketika. Alirannya sempat keluar dari jalur yang
semestinya (sebelum lenyap mengering). Akibatnya banyak desa, hutan, ladang dan
pesawahan rusak terlanggar. Semua itu karena ulah Sunan Benang. Bahkan lagi
mengutuk penghuni didaerah tersebut agar menjadi perawan dan perjaka tua serta
mengutuk didaerah tersebut juga akan kesulitan mencari air dan bahkan mengganti
nama wilayah seenaknya dengan nama Gedhah. Sunan Benang memang suka membuat
masalah. Begitu mendengar pengaduan anak cucunya seperti itu, Nyi Plencing
(diikuti seluruh anak cucunya) segera menyusul kemana Sunan Benang tengah
berjalan. Akan tetapi seluruh makhluk halus tadi tidak ada yang bisa mendekati
Sunan Benang. Badan mereka terasa panas bagaikan dibakar. Para makhluk halus
tadi segera menuju ke Kedhiri. Sesampainya di Kedhiri, segera menghadap Raja
mereka dan menceritakan semua yang baru saja terjadi. Raja mereka berdiam di
Selabale (sebelah barat kota Kedhiri). Dia bergelar Buta Locaya. Wilayah
Selabale tepat berada di kaki pegunungan Wilis. Buta Locaya sesungguhnya adalah
(bekas) Patih Sri Jayabaya (Prabhu Jayabaya). Dulu dia bernama Kyai Daha,
mempunyai seorang adik bernama Kyai Daka. Kyai Daha adalah penghuni asli
Kedhiri semenjak dulu. Begitu Sri Jayabaya bertahta, namanya diambil sebagai
nama Negara (yang diperintah oleh Sri Jayabaya), sedangkan dia sendiri diberi nama
baru Buta Locaya dan diangkat sebagai Patih, pendamping Sang Prabhu Jayabaya.
Buta artinya : Buteng atau Bodoh, Lo artinya
kamu, Caya artinya bisa dipercaya. Kyai Buta Locaya memang bodoh, akan tetapi
jujur, setia dan berbakti kepada Raja. Oleh karenanya, dia lantas diangkat
sebagai Patih. Awal mula ada gelar Kyai, dimulai oleh Kyai Daha dan Kyai Daka
ini. Kyai artinya : Ngayahi anak putune sarta wong-wong ing kana keringe (Orang
yang mampu mengiringi/menjaga/momong anak cucu berikut sesama makhluk)
Saat Sri Narendra (Nara : Manusia, Indra : Dewa
Indra. Manusia yang bagaikan Dewa Indra. Dewa Indra adalah Raja para Dewa.
Manusia yang bagaikan Dewa Indra berarti dia seorang Raja. Disini maksudnya
adalah Sri Jayabaya : DS) tengah keluar keraton (maksudnya saat tengah terjadi
peperangan dengan Jenggala dan Sri Jayabaya tengah dalam kesulitan) beliau
pernah ke kediaman Kyai Daka. Disana beliau beserta para pengikut disambut
dengan berbagai persembahan oleh Kyai Daka. Oleh karenanya Sang Prabhu
(Jayabaya) sangat mengasihi Kyai Daka. Nama Kyai Daka diambil sebagai nama
sebuah desa, selanjutnya Kyai Daka lantas diberi nama baru Kyai Tunggulwulung,
dan dikemudian hari (setelah berhasil memenangkan peperangan dengan Jenggala)
diangkat sebagai seorang Senopati.
Saat Sang Prabhu Jayabaya moksha, diikuti pula
oleh putri beliau yang bernama Ni Mas Ratu Pagedhongan. Buta Locaya dan Kyai
Tunggulwulung-pun ikut melakukan moksha (Moksha disini ada dua arti, pertama
Moksha menyatunya Atman dengan Brahman seperti yang dialami oleh Sang Prabhu
Jayabaya sendiri, kedua moksha hilang raganya berpindah alam. Pemahaman orang
Jawa sekarang tentang kata MUKSWO cenderung mengarah ke arti yang kedua, yaitu
berpindah alam : DS). Ni Mas Ratu Pagedhongan lantas menjadi Raja makhluk halus
pulau Jawa. Pusat pemerintahannya berada di Laut Selatan dan bergelar Ni Mas
Ratu Anginangin. Seluruh makhluk halus (Jin/Asura) yang berdiam di lautan serta
didaratan berikut yang berdiam di tepi kanan kiri pulau Jawa, semua tunduk
kepada Ni Mas Ratu Pagedhongan.
Buta Locaya (setelah moksha ~ maksudnya berpindah
alam : DS) berkedudukan di Selabale (kaki pegunungan Wilis, sebelah barat
Kedhiri), sedangkan Kyai Tunggulwulung berkedudukan di (Gunung) Kelud
(diselatan Kedhiri). (Kyai Tunggulwulung) menjaga kawah dan lahar. Manakala
lahar keluar, dia akan menjaganya agar tidak sampai merusak pedesaan beserta
seluruh penghuninya.
Pada waktu itu Kyai Buta Locaya tengah duduk
diatas kursi kencana yang dialasi dengan permadani gemerlapan, dihiasi dengan
bulu-bulu merak. Dia tengah dihadap oleh patih-nya bernama Megamendhung beserta
kedua putranya, yang sulung bernama Panji Sektidiguna, yang bungsu bernama
Panji Sarilaut.
Buta Locaya tengah berbincang-bincang dengan
mereka yang tengah menghadap, mendadak dikejutkan oleh kedatangan Nyi Plencing
yang langsung memeluk kaki (Buta Locaya) sembari menghaturkan bahwasanya ada
manusia yang tengah membuat kerusakan, berasal dari Tuban yang kini tengah
berkelana di wilayah Kedhiri, bernama Sunan Benang. Nyai Plencing menghaturkan
segala kesusahan yang dialami para makhluk halus serta manusia (akibat
perbuatan Sunan Benang.)
Mendengar pengaduan Nyi Plencing seperti itu Buta
Locaya bangkit kemarahannya. Hingga mendidih bagaikan api badannya. Segera
dipanggilnya seluruh anak cucu berikut seluruh jin perayangan dan
diperintahkannya untuk menghadang Sunan Benang. Seluruh makhluk halus
mempersiapkan diri dengan senjata perang. Mereka segera berangkat berjalan
seiring hembusan angin. Tidak berapa lama para makhluk halus telah sampai di sebelah
utara desa Kukum. Ditempat itu Buta Locaya segera merubah wujudnya menjadi
manusia bernama Kyai Sumbre, sedangkan makhluk halus yang lain sengaja tidak
menampakkan wujud. Kyai Sumbre lantas berdiri ditengah jalan tepat dibawah
naungan pohon Sambi (Kusambi : Scheicheratriyuga Wild, banyak tumbuh disekitar
hutan jati. Besarnya kurang lebih 1,75 m dan bisa mencapi tinggi 40 meter : DS)
berniat menghadang Sunan Benang yang tengah berjalan dari arah utara.
Tidak menunggu waktu lama Sunan Benang terlihat berjalan
dari arah utara. Sunan Benang tidak khilaf melihat sosok manusia yang tengah
berdiri dibawah pohon Sambi yang tak lain adalah Raja makhluk halus. Sosok
jadi-jadian itu berniat hendak mengganggu perjalanannya, bisa dirasakan dari
keberadaan hawa tubuhnya yang sangat panas bagai bara. Sedangkan seluruh
makhluk halus yang lain seketika semua menyingkir dan menjauh, tidak betah
terkena perbawa Sunan Benang. Sedangkan Sunan Benang sendiri, tidak betah dekat
dengan Kyai Sumbre, sebab bagaikan berdekatan dengan bara api. Begitu juga Kyai
Sumbre, merasakan hal serupa.
Dua orang murid yang pingsan sedari tadi (karena
merasakan hawa yang panas luar biasa), mendadak sekarang kedinginan (begitu
mereka telah siuman). Mereka tidak kuat terkena perbawa Kyai Sumbre.
Sunan Benang berkata kepada Kyai Sumbre : “Buta
Locaya, apa maksudmu menghadang perjalananku dan menyamar sebagai manusia dan
bernama Kyai Sumbre, bagaimanakah kabarmu?”
Terkejut Buta Locaya manakala Sunan Benang
mengenali siapa dirinya yang sesungguhnya, terlanjur basah sudah ketahuan, maka
lantas bertanya kepada Sunan Benang : “ Bagaimanakah anda bisa tahu kalau saya
ini adalah Buta Locaya?”
Sunan Benang menjawab : “Aku tidak akan tertipu,
aku tahu kamu adalah Raja makhluk halus diwilayah Kedhiri ini, namamu Buta
Locaya.”
Kyai Sumbre bertanya kepada Sunan Benang : “Anda
ini orang apa, memakai busana kedodoran tidak praktis, bukan busana orang Jawa.
Mirip bentuk walang kadung (Belalang yang kakinya panjang-panjang tidak
simetris dengan tubuhnya)?”
Sunan Benang menjawab, “Aku berbangsa Arab,
namaku Sayid Kramat, kediamanku di Benang wilayah Tuban. Sesungguhnya yang
menjadi keinginanku bertandang ke Kedhiri ini, hanya sekedar ingin melihat
petilasan (bekas) kedhaton (istana) Sang Prabhu Jayabaya, dimanakah letaknya?”
Buta Locaya lantas menjawab : “Disebelah timur
dari sini terdapat dusun Menang, semua petilasan (bekas) telah sirna, istana
beserta pesanggrahan juga sudah tidak ada lagi. Taman Bagendhawati milik Ni Mas
Ratu Pagedhongan juga sudah musnah, pesanggrahan Wanacatur juga sudah sirna,
hanya tinggal dikenang dalam nama-nama dusun disana. Musnahnya semua petilasan
tadi dikarenakan tertimbun pasir yang dimuntahkan oleh gunung Kelud. Sekarang
saya hendak bertanya, anda melakukan perbuatan yang menyengsarakan kepada anak
cucu Adam (Buta Locaya sengaja menggunakan nama seorang Nabi yang diyakini
sebagai nenek moyang manusia oleh orang Islam seperti halnya Sunan Benang yang
kini berada dihadapannya : DS), dengan mengeluarkan kutuk yang tidak
sepatutnya. Mengutuk agar terjadi perawan tua dan perjaka tua, menamai
seenaknya sendiri tempat yang baru anda masuki dengan nama Gedhah, memindahkan
aliran sungai, mengutuk agar sulit air, itu semua adalah perbuatan yang bisa
disebut menganiaya sesama dan tidak pantas sama sekali. Menimpakan hukuman
kepada mereka yang tanpa dosa. Betapa susahnya menjalani sebuah pernikahan jika
usia sudah sangat tua, mempersulit mereka untuk meneruskan keturunan makhluk
Latawalhujwa (Lattawalhujwa ~ Latta dan Hujwa, adalah nama malaikat yang
dipercaya sebagai putra wanita Allah dijaman sebelum Islam lahir di Makkah.
Keberadaan Lattawalhujwa sangat ditentang oleh pengikut Islam dikemudian hari
setelah Islam mulai berkembang di Makkah, karena Latta dan Hujwa dianggap
setara dengan Allah itu sendiri. Buta Locaya sengaja menggunakan nama
Lattawalhujja untuk menunjukkan bahwasanya lebih baik menjadi makhluk ciptaan
Latta wal hujwa, sosok pencipta yang feminine, dimana sifat feminine yang
lembut pastinya akan dominan tergambarkan disetiap makhluk ciptaannya. Daripada
diciptakan oleh sosok pencipta yang keras dan penuh intimidasi. Itupun, jika
memang manusia diciptakan oleh sosok pribadi super. Karena sesungguhnya tidak
ada yang menciptakan manusia. Manusia adalah percikan, bukan ciptaan. Manusia
adalah Illahi yang mewujud.). Seluruh kesengsaraan yang tercipta ini semua
akibat ulah anda. Betapa susahnya mereka yang tempat tinggalnya terbenam akibat
sungai yang berhulu dari Kedhiri beralih alirannya sehingga menerjang
pedhusunan, hutan, pesawahan sehingga semuanya menjadi rusak. Ditempat ini
telah anda kutuk selamanya sulit air, sungai akan kering, anda telah menganiaya
tanpa alasan, menganiaya kepada mereka yang tak mempunyai dosa!”
Sunan Benang menjawab : “Alasanku memberikan nama
baru Gedhah ditempat ini, sebab kebanyakan agama yang dipeluk oleh masyarakat
disini tidaklah hitam juga tidak putih, tepatnya beragama biru, itulah agama
Kalang. Alasanku mengutuk agar susah mendapatkan air ditempat ini, sebab saat
aku meminta air, tidak diberikan. Makanya sungai aku pindah alirannya.
Sedangkan alasanku mengutuk agar ditempat ini semua perawan dan perjaka akan
menikah jika sudah tua usianya, sebab yang aku mintai air dan tidak mau
memberikan adalah seorang perawan.”
Buta Locaya berkata, “Itu namanya tidaklah seimbang
dengan kutukan yang anda timpakan, tidak begitu besar kesalahan yang dibuat
mereka, bahkan hanya sebab kesalahan seorang gadis, akan tetapi yang menerima
kesusahan seluruh penghuni disini. Sungguh tidak adil hukuman tersebut. Anda
ini bisa disebut telah membuat kemelaratan banyak orang, jikalau dilaporkan
kepada yang berwenang memegang pemerintahan, sudah sepantasnya anda ganti
dijatuhi hukuman dibuat lebih melarat (dari kemelaratan mereka yang baru saja
kehilangan harta benda akibat terlanda aliran air dan kemelaratan para petani
akibat kelak kekurangan air karena ditempat itu sulit mencari air). Nah,
sekarang lebih baik tariklah kutukan anda, agar supaya ditempat ini gampang
memperoleh air, sehingga bisa menghasilkan rejeki berlimpah bagi penduduk, dan
agar semua perawan berikut perjaka bisa menikah disaat muda sehingga bisa
memperbanyak keturunan makhluk Hyang Manon (Tuhan). Anda bukan seorang penguasa
yang mempunyai hak atas wilayah ini sebagaimana seorang Raja, akan tetapi
menghakimi agama-agama yang hidup ditanah ini, itu namanya anda manusia sirik!”
Sunan Benang menjawab : “Walau hendak kamu
laporkan kepada Raja Majalengka (penguasa sah wilayah ini) aku tidak takut!”
Begitu mendengar ucapan Sunan Benang bahwa
dirinya tidak takut kepada penguasa sah tanah Jawa, yaitu Raja Majalengka,
bangkitlah amarah Buta Locaya. Seketika dia berkata kasar :
“ Ucapan anda tadi bukan ucapan seorang ahli
negara (ucapan bangsawan atau ucapan orang yang berpendidikan), hanya pantas
jika diucapkan oleh mereka yang suka berkeliaran ditempat madat (maksudnya
preman), yang hanya mengagungkan kekuatan otot semata. Seyogyanya janganlah
seperti itu, merasa menjadi kekasih Tuhan, merasa banyak teman Malaikat, lantas
berbuat seenaknya tidak memperhitungkan kesalahan orang, menganiaya tanpa dosa.
Di tanah Jawa ini sebenarnya banyak yang bisa menandingi kesaktian anda, akan
tetapi semua adalah ahli Buddhi (ahli dalam peningkatan Kesadaran) dan takut
mendapat hukuman Dewata (Karmaphala). Tidak pantas disebut ahli Buddhi (ahli dalam
peningkatan Kesadaran) jika tingkah lakunya aniaya terhadap sesama menghukum
tanpa dosa. Apakah anda ini serupa dengan Aji Saka, murid Ijajil (Ijajil :
Dajjal ~ Buta Locaya menganggap Aji Saka adalah murid Dajjal atau Iblis.
Maksudnya tingkah laku ji Saka dulu-pun kurang patut manakala tinggal di tanah
Jawa, sehingga disebut murid Ijajil atau Dajjal atau Iblis : DS)? Aji Saka
bertahta di tanah Jawa hanya tiga tahun lamanya lantas minggat dari tanah Jawa,
bahkan sumber air bening yang ada di daerah Medhang ikut serta dibawa minggat
(sumber air bening maksudnya adalah pengetahuan asli Jawa : DS). Aji Saka orang
Hindhu (India), anda orang Arab, kelakuannya sama saja menganiaya sesama
manusia, sama-sama membuat sulit mencari ‘sumber air’ (coba anda artikan sendiri
maksud kata-kata Buta Locaya yang simbolik ini : DS). Anda menyebut diri Sunan
seharusnya memiliki buddhi luhur (Kesadaran yang mulia), bisa menciptakan
keselamatan bagi sesama, akan tetapi kok tidak seperti itu, tingkah laku anda
inilah sesungguhnya yang disebut tingkah laku Ijajil, tidak tahan digoda oleh
anak kecil, gampang keluar amarahnya, Sunan apakah yang semacam itu? Jika
memang anda Sunan bagi manusia, pastinya memiliki buddhi luhur (Kesadaran
mulia). Anda telah menganiaya sesama tanpa dosa, inilah jalan anda menuju
celaka, anda telah menciptakan neraka jahanam bagi diri sendiri (maksudnya
karma buruk). Jika nanti sudah jadi (neraka tersebut), kelak akan anda tempati
sendiri. Anda akan mandi ditengah air kawah yang panas bergejolak (memetik buah
perbuatan yang sangat menyengsarakan dalam kehidupan ini atau kelak setelah
kelahiran kembali). Lihatlah, saya ini adalah makhluk halus, berbeda alam
dengan manusia, akan tetapi saya masih senantiasa ingat untuk ikut andil
mengusahakan keselamatan bagi manusia (makhluk haluspun masih ingin
mengumpulkan karma baik demi peningkatan kesadaran pribadinya sendiri : DS).
Sudahlah, sekarang semua yang terlanjur rusak tolong kembalikan seperti semula.
Mulai dari sungai yang kering hingga seluruh tempat yang terlanggar aliran
sungai tolong kembalikan seperti sebelumnya. Jika anda tidak berkenan, seluruh
orang Jawa yang telah masuk Islam akan saya teluh biar mati semua, dan untuk
keperluan itu saya akan meminta bantuan pasukan dari Kangjeng Ratu Ayu
Anginangin yang bertahta di laut selatan!!”
Begitu mendengar kemarahan Buta Locaya, Sunan
Benang terketuk hatinya dan menyadari kesalahannya. Sadar telah membuat
bermacam-macam kesusahan dalam jangka panjang, sadar telah menganiaya sesama
tanpa dosa yang setimpal, dia lantas berkata : “Buta Locaya! Aku ini seorang
Sunan, yang tidak bisa menarik kutuk yang sudah terlanjur aku ucapkan, tapi
dengarkan, kelak setelahlima ratus tahun lagi, sungai ini akan kembali seperti
semula!” (Sekali lagi coba anda artikan ucapan Sunan Benang yang simbolik ini :
DS)
Mendengar ucapan Sunan Benang, Buta Locaya
bertambah marah, lantas berkata kepada Sunan Benang : “Tidak bisa! Harus anda
kembalikan saat ini juga! Jika tidak mampu anda saya tawan!!”
Berkatalah Sunan Benang kepada Buta Locaya : “Sudah
jangan membantah lagi! Aku hendak pergi menuju ke arah timur, mulai saat ini
buah dari pohon Sambi (Kusambi) ini aku namakan buah CACIL, sebagai pengingat
peristiwa debat seperti anak kecil, antara demit (makhluk halus) dan manusia
pe-CICIL-an (yang arogan) yang tengah berebut benar tentang kerusakan sebuah
wilayah yang menyebabkan kesusahan manusia dan makhluk halus. Aku mohonkan
kepada Rabbana (Tuhanku), semoga buah pohon Sambi berwarna dua macam, daging
buahnya jadilah kecut, biji buahnya jadilah keluar minyak. Kecut perlambang
dari kekecutan wajah, wajah sang demit (makhluk halus) dan wajah manusia yang
tengah berdebat dengannya, LENGA (minyak) perlambang dari makhluk halus MLELENG
JALMA LUNGA (Melotot marah ditingal pergi oleh manusia). Kelak dikemudian hari
agar bisa dijadikan pengingat peristiwa, dimana aku pernah berdebat denganmu.
Mulai sekarang tempat dimana kita bertemu ini, disebelah utarasana aku namakan
Desa Singkal, sedangkan disini aku namakan Desa Sumbre. Dan tempat dimana anak
buahmu menyingkir disebelah selatansana aku namakan Desa Kawanguran.”
Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Sunan
Benang lantas menuju ke arah timur sungai. Hingga sekarang didaerahkota Gedhah
terdapat desa yang bernama Kawanguran, Sumbre dan Singkal. Kawanguran artinya
ketahuan, Singkal artinya terhalang lantas mendapatkan cara untuk mengelak.
Buta Locaya terus mengejar Sunan Benang.
Perjalanan Sunan Benang sampai di desa Bogem, ditempat itu Sunan Benang
mendapati sebuah arca berbentuk kuda, bertubuh satu berkepala dua, terletak
dibawah pohon Trenggulun (Trengguli ~ Cassia fistula L. Tinggi bisa
mencapailimabelas meter, berasal dariIndia: DS). Pohon Trenggulun tadi banyak
ditumbuhi buah, hingga beberapa jatuh berserakan ke tanah. Sunan Benang
memegang kampak, serta merta arca kuda kepalanya dihancurkan!
Melihat perbuatan Saunan Benang menghancurkan
kepala arca kuda, Buta Locaya semakin marah dan lantas berkata : “Arca ini
buatan Prabhu Jayabaya, untuk menyimbolkan keadaan wanita Jawa nanti dijaman
kedatangan bangsa Srenggi, siapa saja yang melihat arca ini, akan ingat kepada
keadaan wanita Jawa nanti!”
Sunan Benang menjawab, “Kamu itu makhluk halus,
berani sekali mendebat manusia, itu namanya makhluk halus yang sok!”
Buta Locaya berkata, “ Apa bedanya, anda Sunan saya
Raja!!”
Sunan Benang tak menghiraukan bahkan berkata, “
Buah pohon Trenggulun ini mulai sekarang aku beri nama KENTHOS, agar bisa
dijadikan pengingat, bahwasanya aku pernah bertengkar dengan seorang makhluk
halus KEMENTHUS (yang sok) tentang sebuah arca!”
Ki Kalamwadi berkata, “ Hingga hari ini, buah
pohon Trenggulun di Jawa namanya kenthos, berawal dari sabda Sunan Benang,
begitu menurut Raden Budi Sukardi, guruku.”
Sunan Benang melanjutkan perjalanannya ke arah
utara, berbarengan dengan masuknya waktu shalat Ashar. Sunan Benang
berkeinginan untuk shalat. Diluar desa didapati sebuah sumur akan tetapi tanpa
penimba. Sumur digulingkan, sehingga Sunan Benang kemudian, bisa mengambil air
untuk dibuat berwudlu. (Coba anda artikan sendiri simbolisasi dari cerita Sunan
Benang menggulingkan sumur ini : DS)
Ki Kalamwadi kembali berkata, “ Hingga hari ini,
sumur tadi dikenal dengan nama Sumur Gumuling (Sumur yang digulingkan), Sunan
Benang yang menggulingkannya, itu cerita Raden Budi guruku, tidak tahu apakah
benar atau tidak.”
Seusai shalat Sunana Benang meneruskan
perjalanannya, sesampainya di desa Nyahen, disana terdapat arca raksasa
perempuan, berdiri dibawah pohon Dhadhap (Dhadhap Srep ~ Erythrina orientalis,
tinggi bisa mencapai dua puluh dua meter : DS). Saat itu pohon Dhadhap tersebut
tengah berbunga lebat. Banyak bunga yang jatuh berguguran dikanan kiri arca
tadi. Bahkan terlihat merah tubuh arca tersebut karena banyak juga bunga yang
jatuh ke badannya. Melihat sosok arca sebegitu besar, Sunan Benang sempat
keheranan. Arca raksasa tersebut menghadap ke arah barat, tinggi enam belas
tapak kaki manusia dewasa, lingkar badannya sepuluh telapak kaki manusia
dewasa. Jikalau hendak dipindahkan, seandainya diangkat oleh delapan ratus
orang sekalipun tidak akan kuat, kecuali jika menggunakan bantuan peralatan.
Bahu kanan arca tadi dihancurkan oleh Sunan Benang, dahinya dilobangi.
Buta Locaya melihat Sunan Benang kembali merusak
arca,marah dan berkata : “Jelas anda memang orang kurang kerjaan, arca raksasa
sebagus itu dirusak tanpa alasan yang jelas. Sekarang jadi buruk wujudnya,
padahal arca itu juga buatan Prabhu Jayabhaya, lantas apa hasilnya anda
merusaknya?”
Sunan Benang menjawab, “Aku rusak arca ini agar
supaya tidak diagung-agungkan oleh orang banyak. Agar jangan pula diberikan
sesajian dan diberi asap kemenyan. Manusia yang memuja berhala itu namanya
manusia kafir dan kufur, lahir batin telah tersesat!”
Buta Locaya berkata, “Orang Jawa-pun tahu, bahwa
ini hanyalah sebuah arca batu. Yang tidak memiliki daya kekuatan apapun dan
tidak punya kuasa, bukan Hyang Lattawalhujwa (maksudnya tidak dipuja
sebagaimana manusia Arab dulu memuja patung Latta dan Hujwa). Mengapa di layani
dengan diberi asap kemenyan berikut diberi sesajian, agar supaya semua makhluk
halus yang liar (disini maksudnya Ruh-Ruh manusia mati yang tersesat dan belum
menemukan jalan, bukan makhluk halus sejenis Buta Locaya atau seluruh
pasukannya yang telah lahir menjadi Jin/Asura : DS) tidak bertempat tinggal
sembarangan diatas tanah dan didalam pohon. Sebab tanah dan pepohonan bisa
menghasilkan sesuatu. Dan hasil dari keduanya sangat bermanfaat bagi kehidupan
manusia. Oleh karenanya makkhluk halus yang semacam ini lantas diberikan tempat
baru pada sebuah arca. Jika arca telah anda rusak, hendak diusir kemanakah
mereka semua? Sudah lumrah brekasakan (makhluk halus liar/ Ruh-Ruh orang mati
yang masih terikat dengan alam dunia) bertempat tingal disebuah gua atau
disebuah arca, serta makanan mereka adalah bau-bauan yang wangi. Makhluk halus
semacam ini, jika sudah mencium bau wewangian, badannya akan terasa segar.
Lebih senang lagi jika bisa tinggal didalam sebuah arca utuh yang diletakkan
ditempat yang sepi dan sejuk atau dibawah pohon besar. Mereka sadar mereka
tidak bisa hidup berbaur dengan manusia. Sekarang mereka telah tinggal didalam
arca ini tapi kemudian malah anda usik, bukankah berarti anda memang orang yang
jahil dan suka menganiaya kepada sesama makhluk. Makhluk yang sama-sama
diciptakan oleh Tuhan? Mendingan orang Jawa menghargai sebuah arca yang memang
pantas jika memiliki Kesadaran dan nyawa, sedangkan bangsa anda orang Arab,
bukankah juga menghargai Kakbatullah, yang wujudnya juga dari batu, apakah itu
juga tidak sesat?!”
Sunan Benang menjawab, “Ka’batullah itu yang
membuat Nabi Ibrahim. Disanalah pusat dunia. Diberi tugu dari batu dan disujudi
oleh seluruh manusia. Siapa saja yang sujud kepada Kakbatullah, Gusti Allah
akan memberikan ampunan atas segala dosa-dosanya selama hidup di alam
pengembaraan (alam dunia) ini!”
Buta Locaya berkata, “Apa buktinya telah
mendapatkan kasih Tuhan? Apa buktinya mendapatkan ampunan Tuhan dari segala
dosa? Apakah mendapatkan tanda tangan dari Tuhan Yang Maha Agung berikut
stempel berwarna merah sebagai tanda bukti sah?”
Sunan Benang menjawab, “Yang disebutkan dalam
kitab suciku, nanti jika telah meninggal akan mendapatkan kemuliaan.”
Buta Locaya menjawab sembari menggeram, “Mana
mungkin nanti jikalau telah meninggal akan tahu, sedangkan pengetahuan akan
kemuliaan didunia ini saja sudah tidak utuh, sudah tersesat menyembah tugu dari
batu. Jika memang benar-benar berniat menyembah cadas, lebih baik naik ke atas
gunung Kelud daripada jauh-jauh, disana banyak batu yang besar-besar asli
buatan Tuhan, tercipta semenjak dahulu seperti itu berasal dari sabda Kun
(Jadilah), malah itu lebih baik di buat pusat bersujud. Sesungguhnya menurut
kehendak Yang Maha Kuasa, seluruh manusia seyogyanya mengetahui kepada
Baitullah (Rumah Tuhan)-nya sendiri, tubuh manusia inilah sesunguhnya Baitullah
(Rumah Tuhan), sungguh-sungguh buatan Yang Maha Kuasa sendiri. Tempat inilah
yang harus dijaga betul-betul. Siapa saja yang tahu darimana asal badan ini,
siapa saja yang tahu darimana asal Buddhi dan hawa nafsu ini, patutlah dia
dijadikan suri tauladan bagi sesama. Walaupun siang malam menjalankan shalat,
akan tetapi apabila masih gelap pengetahuannya tentang diri sendiri, masih
tersesat pengetahuannya tentang yang sejati, masih mensujudi tugu batu, tugu
batu buatan Nabi (sungguh masih sesat manusia yang demikian itu). Bukankah Nabi
tiu sendiri adalah manusia juga kekasih Guati Allah, diberi anugerah dengan
kecerdasan dan ketajaman ingatan, terang kesadarannya, tahu hal yang belum
terjadi. Anda meyakini tulisan peninggalan mereka, orang Jawa meyakini sastra
peninggalan leluhur, sama-sama meyakini kabar masa lalu. Akan tetapi lebih baik
meyakini sastra berisi pekabaran masa lalu dari leluhur sendiri yang
peninggalannya masih bisa dilihat langsung disini. Orang Jawa yang meyakini
tulisan pekabaran masa lalu dari Arab, belum menyatakan sendiri keberadaannya
di sana, apakah nyata atau bohong, hanya membenarkan ucapan orang yang membawa
kabar semata. Maka menurut hamba, anda datang ke Jawa hanya menjual bualan,
menjual bualan bahwa negara Mekkah adalah yang termulia, padahal saya tahu
sendiri bagaimana keberadaan negara Mekkah itu, tanahnya beraura panas, jarang
air, tanaman apapun tidak bisa tumbuh, udaranya juga panas dan jarang hujan.
Bagi akal kebanyakan manusia, tanah disana itu adalah tanah kutukan, banyak
manusia menjual manusia sebagai budak dan dipakai sebagai pembantu. Anda
benar-benar manusia durhaka, lebih baik saya persilakan pergi dari tanah Jawa,
di Jawa ini adalah tanah suci dan mulia, dingin dan panasnya cukup, penuh
kekayaan didalam tanah dan air, apa yang ditanam bisa tumbuh, yang menghuni
baik lelaki maupun wanita mempunyai moral yang bagus dan cantik, berbicara-pun
lemah lembut dan sopan. Jika anda ingin melihat pusat dunia, dengarkan
sesungguhnya tempat yang kita injak inilah pusat dunia. Sekarang pertimbangkan
kata-kata saya tadi, jika ada yang salah, pukul saya sekarang juga! Semua yang
anda ajarkan banyak yang kurang tepat, pertanda kurang kecerdasan, kurang
memahami pengetahuan Kesadaran, suka menganiaya sesama. Yang membuat arca ini
adalah Prabhu Jayabhaya, kesaktian beliau melebihi kesaktian anda. Apakah anda
mampu meramal masa depan setepat beliau? Sudahlah, saya persilakan pergi saja
dari tanah Kedhiri. Jika tidak juga mau pergi, saya akan mengundang adik hamba
yang ada di gunung Kelud untuk mengeroyok anda, dan akan saya bawa ke kawah
gunung Kelud, apakah anda tidak takut jika nanti tidak bisa keluar dari alam
siluman dan menjadi penghuni batu seperti saya? Atau mari ke Selabale saja
menjadi murid saya.”
Sunan Benang berkata,”Tidak akan mempercayai
kata-katamu wahai setan brekasakan!”
Buta Locaya menjawab, “Walaupun saya dhemit
(makhluk halus), akan tetapi saya dhemit berpangkat Raja, mulia dan berumur
panjang. Anda belum tentu semulia hamba. Niat anda selalu kotor, suka
mengganggu dan menganiaya, apakah mungkin anda datang ke tanah Jawa ini
dikarenakan anda di tanah Arab adalah orang hina? Jika anda manusia mulia,
tentunya tidak usah pergi jauh-jauh keluar dari tanah Arab. Mungkin anda
minggat karena melakukan sebuah kesalahan fatal. Tandanya sampai di tanah
Jawa-pun masih juga usil, suka menghakimi adat orang lain, suka menghakimi
agama orang lain, merusak segala peninggalan luhur yang bagus-bagus, merusak
agama leluhur kuno. Sungguh Raja (Majalengka) berhak menangkap anda dan
membuang anda ke Menadhu (Menado)!”
Sunan Benang berkata,”Pohon Dhadhap ini bunganya
aku berinama Celung, buahnya aku beri nama Kledhung, sebab aku telah Kecelung
(tercuri) nalar (kepintaran)-ku dan Keledhung (terbantah) ucapanku. Ini semua
sebagai pengingat bahwa aku pernah berdebat dengan Raja Dhemit, kalah
pengetahuan dan kalah kepintaran.”
Oleh karenanya terkenal hingga sekarang, buah
Dhadhap namanya Kledhung sedangkan bunganya Celung.
Sunan Benang lantas berpamitan,” Sudahlah kalau
begitu aku akan pulang ke Benang.”
Buta Locaya menjawab dengan nada marah,”Benar, segeralah pergi, disini anda
hanya akan membuat tanah menjadi angker, jika anda berlama-lama disini hanya
akan menambah kesusahan, menyebabkan susah tumbuh padi, menambahi panas,
membuat susah air!!”
Sunan Benang lantas pergi, sedangkan Buta Locaya
beserta pasukannya juga kemudian balik pulang.
Lain yang diceritakan, yaitu dinegara Majalengka,
pada suatu hari, Sang Prabhu Brawijaya duduk disinggahsana dan dihadap para
pejabat. Sang Patih melaporkan bahwa telah mendapatkan surat khusus dari
Tumenggung Kertasana. Isi surat melaporkan bahwa daerah Kertasana sungainya
mengering. Sungai yang mengalir dari arah Kedhiri aliran airnya kini menyimpang
ke timur. Sebagian isi surat melaporkan seperti ini : Di sebelah utara barat
Kedhiri, banyak desa rusak, semua itu disebabkan karena kutukan ulama dari
tanah Arab, bernama Sunan Benang.
Mendengar laporan Patih, Sang Prabhu bangkit
murkanya. Sang Patih lantas diutus ke Kertasana, untuk menyatakan sendiri
keadaan disana, melihat kondisi manusia berikut hasil bumi yang terlanggar
aliran air. Bahkan mewngutus beberapa pejabat untuk memanggil Sunan Benang.
Singkat cerita, seusai Sang Patih melihat sendiri
kondisi Kertasana, segera melaporkan semuanya kepada Sang Prabhu. Sedangkan
utusan yang diutus ke Tuban juga sudah tiba kembali, melaporkan bahwa tidak
mendapatkan hasil, sebab Sunan Benang telah pergi tidak diketahui kemana.
Mendengar seluruh pelaporan para bawahannya, Sang
Prabh Brawijaya semakin murka! Beliau menyatakan bahwa ternyata ulama dari Arab
tidak ada yang tulus hatinya! Sang Prabhu lantas memerintahkan Patih agar
mengusir seluruh orang Arab yang tinggal di Jawa, sebab telah membuat kesusahan
negara! Hanya yang ada di Ngampeldhenta dan Demak saja yang masih diperbolehkan
tinggal di Jawa dan diijinkan mensiarkan agama Islam. Selain dikedua tempat
itu, semua harus dipulangkan ke asalnya! Jika menolak dipulangkan maka
diperintahkan untuk dihancurkan saja! Sang Patih berkata, “ Gusti, benar apa
yang paduka katakan. Sudah tiga tahun berselang penguasa Giripura (Giri
Kedhaton atau Sunan Giri) tidak pernah menghadap dan tidak pernah memberikan
upeti sebagai tanda takluk. Jelas mereka hendak merencanakan untuk mendirikan
negara sendiri. Tidak sadar telah makan dan minum hanya numpang di tanah Jawa!
Bahkan nama santri Giri (Sunan Giri) kini telah terkenal mengalahkan kebesaran
nama paduka. Bahkan kini mengambil gelar baru Sunan Ainulyaqin. Sunan berarti
Kesadaran, Ainul berarti Makrifat atau Mengetahui akan Tuhan dan Yaqin berarti
benar-benar mantap lahir batin. Paduka bisa mengartikannya sendiri. Dalam
bahasaa Jawa dia mengambil gelar Prabhu Satmata (Bermata Enam). Ini adalah
gelar yang sangat tinggi, hampir menyerupai gelar Yang Maha Kuasa sendiri
(Hyang Bathara Shiwa), Satmata berarti tahu segalanya. Dialam dunia, tidak ada
lagi sosok yang menggunakan gelar Sang Prabhu Satmata kecuali dulu Bathara
Wishnu manakala turun ke dunia dan menjelma sebagai Raja di Medhang Kasapta.”
Mendengar kata-kata Sang Patih, Sang Prabhu
segera memerintahkan untuk menyerang Giri. Berangkatlah pasukan tempur
Majapahit dibawah pimpinan Patih langsung menuju Giri. Perang pun terjadi.
Orang Giri ketakutan dan tidak mampu menahan serangan pasukan tempur Majapahit.
Sunan Giri lari ke Benang meminta bantuan pasukan, setelah mendapatkan pasukan
lantas kembali menghadapi pasukan Majalengka. Perang sangat ramai. Waktu itu
hampir separuh orang Jawa sudah memeluk agama Islam. Mereka yang tinggal
dipesisir utara sudah hampir semua memeluk agama Islam. Sedangkan orang Jawa
yang tinggal di selatan masih tetap beragama Buda (Shiwa Buddha). Sunan Benang
sudah menyadari kesalahannya sehingga tidak berani menghadap ke Majalengka.
Lantas bersama Sunan Giri melarikan diri ke Demak. Sesampainya di Demak segera
mengajak Adipati Demak untuk menggempur Majalengka. Begini ucapan Sunan Benang
kepada Adipati Demak : “Ketahuilah bahwa saat ini sudah tiba masanya kehancuran
Majalengka. Sudah seratus tiga tahun berkuasa di nusantara. Dari penglihatan
batinku, yang sanggup menjadi Raja tanah Jawa, tiada lain kecuali dirimu.
Saranku, hancurkan Majalengka, tapi dengan cara halus, jangan sampai menyolok
mata. Nanti pada saat garebeg Mulud (peringatan Kelahiran Nabi Muhammad) di
Ngampeldhenta (Surabaya), bawalah banyak tentara Demak dengan persenjataan perang
lengkap untuk menghadap ke Majapahit (seusai dari Ngampeldhenta). Ingat, 1.
Pakailah cara halus, 2. Undanglah seluruh bupati yang sudah memeluk agama Islam
untuk berkumpul di Demak dengan dalih hendak membangun masjid Demak. Jika nanti
mereka sudah berkumpul, apapun perintahmu pasti dituruti.”
Adipati Demak menjawab, “Saya takut merusak
Negara Majalengka, yang berarti memusuhi ayah dan raja sendiri, bahkan beliau
juga telah memberikan anugerah kenikmatan duniawi kepada saya sebagai seorang
Adipati. Lantas mengapa balasan saya seperti itu? Bukankah sudah pantas jika
saya membalasnya dengan kesetiaan dan kesungguhan? Wasiat dari eyang Sunan
Ngampelgadhing (Sunan Ampel), tidak diperbolehkan saya memusuhi ayahanda
sendiri, walaupun beliau beragama Buda tapi beliaulah yang menjadi lantaran
saya terlahir menjadi manusia didunia ini. Walaupun orang Buda dan kafir
sekalipun, jika dia adalah ayahanda sendiri tetap haruslah dihormati. Apalagi
beliau tidak memiliki kesalahan apapun.”
Sunan Benang berkata lagi, ”Walaupun harus
melawan ayahanda atau Raja, tidak ada salahnya! Sebab dia orang kafir! Jika
menghancurkan orang Buda kafir kawak (kawak : totok), maka imbalanmu adalah
surga! Eyang Sunan Ampel itu hanya santri kecil, walau bercukur rambut tapi
pengetahuan beliau masih kurang luas, hanya pantas menjadi ulama biasa.
Berapalah pengetahuan agama Sunan Ngampelgadhing (Sunan Ampel) keturunan orang
Champa itu, dibandingkan dengan diriku, Sayid Kramat, Sunan Benang yang
terkenal dipenjuru bumi, keturunan langsung Rasul (Nabi Muhammad) dan menjadi
panutan orang Islam Jawa. Jikalau dirimu berani menghancurkan ayahandamu, walau
seandainya memang berdosa, tapi hanya berdosa kepada satu orang dan orang
tersebut orang kafir. Jikalau sampai kamu bisa mengalahkan ayahandamu, seluruh
orang Jawa akan memeluk agama Islam. Yang semacam itu, berapa lagi keuntunganmu
mendapatkan pahala dari Tuhan, sungguh tak terhitung lagi! Tak terbilang kasih
Hyang Maha Kuasa yang akan kamu dapatkan! Dengarkan, sesungguhnya ayahandamu
telah menyia-nyiakan dirimu. Tandanya dirimu diberikan nama Babah, itu tidak
benar dan sangat memperhinakan dirimu. Maksud ayahmu memberikan nama Babah
sesungguhnya berarti Bah mati Bah urip (Biar mau mati kek biar mau hidup ~ Bah
: Biar. Sunan Benaang mencoba memelintir arti nama Babah : DS). Ibumu dibuang
diberikan kepada Arya Damar, Bupati di Palembang. Padahal Arya Damar adalah
keturunan Raksasa (maksudnya ibu Arya Damar, yaitu Ni Endang Sasmitapura dulu
adalah penganut Tantra Bhairawa yang melakukan ritual dengan memakan mayat dan
meminum darah manusia, makanya dalam Babad disebut Raksasa : DS). Kelakuan
ayahmu itu namanya menyakiti cinta ibumu. Sungguh ayahandamu tidak baik
hatinya. Oleh karenanya, balaslah secara halus, maksudnya jangan menyolok mata,
hisap darahnya dan kunyah tulangnya secara diam-diam!”
Sunan Giri ikut bicara,”Aku sendiri tidak
mempunyai salah juga diperangi oleh ayahandamu, dituduh hendak mendirikan
negara, disebabkan karena aku tidak menghadap ke Majalengka. Aku dengar
sesumbar Patih Majalengka, jika aku tertangkap akan dikepang ramputkui seperti
anak kecil dan disuruh memandikan anjing! Banyak orang china yang datang ke
Jawa, dan di daerah Giri semua aku Islam-kan, sebab menurut ujar kitab suci,
jika meng-Islam-kan orang kafir, balasannya kelak adalah surga. Oleh karenanya
banyak orang china yang aku Islam-kan, dan aku anggap keluarga sendiri.
Kedatanganku kemari hanya meminta perlindungan, aku takut kepada Patih
Majalengka sedangkan ayahandamu sangat benci kepada para santri yang suka
memuji dan berdzikir seperti aku. Katanya seperti orang sakit ayan orang
berdzikir dengan menggerakkan kepala kekiri dan kekanan. Jika kamu tidak angkat
senjata, pasti akan habis agama Rasul Nabi (Islam) di Jawa!”
Sang Adipati Demak menjawab,” Ayahanda menyerang
Giri itu sudah benar, jika ada seorang penguasa daerah, tidak tunduk kepada
Raja sebagai penguasa tertinggi, sudah semestinya diserang bahkan wajib dihukum
mati. Sebab penguasa semacam itu tidak menyadari telah numpang hidup di tanah
Jawa.”
Sunan Benang berkata lagi, “Jikalau tidak kamu
rebut sekarang dan kamu menunggu ayahandamu turun tahta, jelas tahta Majapahit
tidak akan jatuh kepadamu. Pasti akan diberikan kepada Adipati Panaraga
(Ponorogo ~ yaitu Adipati Bathara Katong : DS), sebab dia terbilang putra tua (maksudnya
tegas dan berwibawa), atau diberikan kepada putra menantu, yaitu Ki
Andayaningrat (Adipati Andayaningrat ~ yang disebut-sebut dalam Hikayat Putri
Gunung Ledang dan yang pernah bertempur dengan Hang Tuah. Cuma ada kesalahan
dalam catatan Hikayat dari Malaka tersebut. Saat Hang Tuah ke Jawa, Majapahit
sudah hancur dan Adipati Andayaningrat-lah yang dianggap sebagai pengganti
Prabhu Brawijaya karena memang dia-lah yang berhak mewarisi tahta Majapahit.
Jadi sesungguhnya Hang Tuah tidak ke Trowulan, Mojokerto, melainkan ke Pengging
di sekitar Surakarta sekarang. : DS) yang ada di Pengging. Kamu terbilang putra
yang paling muda, jadi tidak berhak menggantikan sebagai Raja. Mumpung sekarang
kesempatan terbuka, dan masalah Giri yang menjadi alasan bagi kamu untuk
menyerang Majalengka. Walaupun harus mati saat bertempur dengan orang kafir,
matimu adalah dijalan Sabilullah (dijalan Allah), kematianmu tidak sis-sia,
kelak akan mendapatkan surga yang mulia. Sudah benar bagi orang Islam jika
terbunuh oleh orang kafir karena membela agamanya. Dan pula sudah benar manusia
hidup didunia mencari kemuliaan duniawi, mencari derajat yang paling tinggi,
jikalau manusia hidup tidak memahami akan tujuan hidupnya dengan jelas, maka
belum benar dia hidup. Sudah sewajarnya bagi manusia menginginkan kekuasaan dan
ingin memiliki kekuatan, yaitu menjadi seorang Raja. Sebab Raja adalah
Khalifah, wakil Hyang Widdhi. Apa yang kamu inginkan akan terpenuhi jika kamu
menjadi Khalifah. Sudah menjadi suratan takdirmu, kamu bakal menjadi Raja di
tanah Jawa, menggantikan kedudukan ayahandamu. Tapi semua harus menggunakan
usaha lahir yaitu dengan cara merebutnya melalui peperangan. Jikalau dirimu
tidak mau menjalankan, pastilah anugerah Gusti Allah yang hendak diberikan
kepada dirimu akan diambil kembali oleh-Nya. Itu namanya manusia yang menolak
anugerah Gusti Allah. Diriku hanya sekedar mendukung, sebab diriku sudah tahu
semua apa yang bakal terjadi nanti, bagaikan aku melihat dengan semprong (kaca
yang dipergunakan untuk pelita jaman dulu) yang benar-benar berlobang begitulah
aku melihat secara gaib kejadian yang bakal terjadi nanti. Dirimulah yang
mendapatkan wahyu Tuhan, akan menjadi Raja di tanah Jawa, sebagai cikal bakal
tersebarnya agama Suci (Islam) di Jawa. Bahkan aku yang akan meruwat segala
halanganmu saat menjadi Raja nanti, aku yang akan memberikan restu agar kamu
menjadi Raja beserta keturunanmu selama-lamanya.” Banyak lagi kata-kata Sunan
Benang, membujuk Adipati Demak agar terbakar hatinya, dan mau angkat senjata
menyerang Majalengka. Bahkan ditambah dengan cerita tentang seorang Nabi, yang
berani melawan ayahnya yang kafir, ujung-ujungnya juga menemukan kesejahteraan
(Nabi Ibrahim yang melawan ayahnya : DS).
Adipati Demak berkata, “Jikalau demikian kehendak
paduka, saya hanya sekedar menjalani, paduka yang memegang kendali.”
Sunan Benang berkata lagi, “Sungguh seperti
itulah yang aku kehendaki darimu. Sekarang dirimu sudah sepakat. Untuk itu
sekarang kirimkan surat kepada Adipati Terung (adik tiri Adipati Demak yang
berkedudukan disekitar ibukota Majapahit: DS), akan tetapi pakailah kata-kata
yang halus tersamar, intinya tulislah apakah dia berat kepada Raja Majapahit
ataukah kepada saudara seibu yang juga se-agama. Jikalau adik (tiri)-mu sudah
mendukungmu, sangat gampang untuk menjebol Majalengka. Didalam keraton
Majapahit saat ini siapa lagi yang diandalkan sebagai panglima perang jikalau
bukan Kusen (Adipati Terung atau nama aslinya Kin-San : DS). Si Gugur
(maksudnya Raden Gugur, yaitu putra bungsu Prabhu Brawijaya dengan putri Champa
yang sudah resmi diangkat sebagai permaisuri. Putri sulung dinikahi Adipati
Andayaningrat dan tinggal di Pengging, putra kedua Raden Lembu Peteng
berkedudukan di Madura, yang bungsu Raden Gugur masih didalam keraton. Raden
Gugur inilah kelak dikenal sebagai Sunan Lawu, penguasa Gunung Lawu yang
terkenal hingga sekarang. : DS) masih kecil, mana mungkin dia berani maju
perang. Sang Patih sudah tua, dipukul sekali sudah mati. Jika Kusen
mendukungmu, siapa lagi sekarang ini yang bisa melawanmu di ibu kota
Majapahit?”
Adipati Demak lantas mengirimkan surat ke Terung,
tidak berapa lama berselang utusan telah kembali, sudah diterima surat balasan
dari Adipati Terung, isinya bersedia membantu perang. Surat diberikan kepada
Sunan Benang, membuat senang hatinya. Sunan Benang lantas memerintahkan kepada
Adipati Demak, agar memberitahukan kepada semua Bupati dan semua Sunan agar
datang ke Demak dengan dalih hendak membangun masjid, dan agar diberitahu bahwa
Sunan Benang sudah hadir di Demak.
Singkat cerita, tidak berapa lama para Sunan dan
para Bupati telah berdatangan semua. Lantas berkumpul dan membangun masjid.
Setelah masjid selesai dibangun, lantas dipergunakan pertama kali untuk shalat.
Seusai shalat, pintu masjid ditutup, seluruh yang hadir (para Sunan dan Bupati
saja) diberitahu oleh Sunan Benang bahwasanya Adipati Demak hendak dikukuhkan
sebagai Raja. Dan kemudian hendak menyerang Majapahit. Jika semua setuju, maka
rencana akan segera digulirkan serta tidak menunggu waktu lama lagi. Seluruh
Sunan dan Bupati semua menyetujui, hanya seorang yang tidak menyetujui, yaitu
Syeh Siti Jenar. Sunan Benang murka, Syeh Siti Jenar dibunuh. Yang
diperintahkan membunuh adalah Sunan Giri. Syeh Siti Jenar dijerat lehernya
hingga tewas. Sebelum Syeh Siti Jenar benar-benar meninggal, dia sempat
meninggalkan pesan : “Ingat-ingatlah wahai seluruh ulama Giri, kalian tidak
akan aku balas kelak diakherat, namun akan aku balas didunia ini sekarang.
Kelak jika ada Raja Jawa yang digandeng oleh orang tua, pada saat itulah leher
kalian ganti aku jerat.” Sunan Giri menjawab, “Nanti aku berani, sekarang-pun
aku berani. Tidak akan mundur diriku!”. Setelah sepakat semua, lantas
mematangkan rencana yang sudah disepakati. Sang Adipati Demak lantas dikukuhkan
sebagai Raja, menguasai tanah Jawa, bergelar Senapati Jimbuningrat. Patihnya
berasal dari mancanegara bergelar Patih Mangkurat. Keesokan harinya Senapati
Jimbuningrat sudah mempersiapkan bala tentara berikut seluruh persenjataan
perang, lantas berangkat menuju Majapahit diiringi oleh para Sunan dan para
Bupati. Rombongan yang berangkat mirip dengan rombongan memperingati grebeg
Maulud (Peringatan Kelahiran Nabi). Seluruh prajurid tidak memahami apa maksud
keberangkatan mereka, kecuali para Tumenggung, para Sunan serta para Ulama.
Sunan Benang dan Sunan Giri tidak ikut dalam rombongan ke Majapahit, mereka
merasa sudah tua dan hendak membantu dengan doa dari dalam masjid saja. Mereka
berdua memberkati rombongan tersebut. Jadi, hanya para Sunan dan para Bupati
saja yang mengiringi Adipati Bintara (Adipati Demak/Senapati Jimbuningrat).
Tidak diceritakan dalam perjalanan.
Berganti kisah yang ada di Majapahit. Seusai dari
Giri Sang Patih melaporkan tentang hasil penyerbuan ke Giri. Yang menjadi
senapati pasukan Giri adalah orang China yang sudah memeluk agama Islam,
bergelar Secasena. Dia maju kegaris depan mengamuk dengan senjata terhunus,
beserta seluruh bala tentaranya sebanyak tiga ratus orang. Semuanya pandai
bermain silat, berkumis tipis berkepala gundul dan memakai sorban bagaikan
seorang haji. Mereka bertempur lincah bagaikan belalang. Tentara Majapahit
merangsak maju, tentara Giri tidak mampu menahan serangan tentara Majapahit.
Senapati Secasena tewas, sedangkan tentara Giri yang terdiri dari orang China
melarikan diri kocar-kacir. Banyak yang mengungsi ke hutan dan pegunungan,
sebagian ada yang melarikan diri menyeberang laut, melarikan diri ke Benang.
Terus dikejar oleh prajurid tempur Majapahit. Sunan Giri dan Sunan Benang
melarikan diri dalam satu kapal menyeberang lautan, mungkin saja melarikan diri
ke Arab dan tidak berniat kembali ke Jawa. Sang Prabhu lantas mengutus Patih
untuk mengirimkan utusan ke Demak, guna memberikan perintah kepada Adipati
Demak agar supaya jika ada ulama dari Giri dan dari Benang melarikan diri
kesana, segera ditangkap dan dihaturkan kepada negara. Kesalahan santri dari
Benang adalah, telah melakukan perusakan didaerah Kertasana sedangkan kesalahan
santri Giri adalah, tidak mau menghadap kepada Sang Prabhu dan berniat untuk
membangkang!
Sesampainya di Paseban luar keraton, Sang Patih
kemudian memanggil duta yang hendak diutus ke Demak. Saat masih ada di Paseban
luar keraton, bertepatan datang utusan Bupati Pathi, memberikan surat khusus
kepada Sang Patih. Surat lantas dibaca oleh Sang Patih. Isi surat adalah
demikian. Menak Tunjungpura yang berkuasa di Pathi memberikan laporan,
bahwasanya Adipati Demak, yaitu Babah Patah, sudah mengukuhkan diri sebagai
Raja Demak. Yang memberikan ijin dan restu adalah Sunan Benang dan Sunan Giri.
Seluruh para Bupati pesisir utara yang sudah memeluk Islam semua mendukung.
Adipati Demak mengambil gelar Senapati Jimbuningrat atau Sultan Syah ‘Alam
Akbar Sirullah Khalifaturrasul ‘Amirilmu’minin Tajudil ‘Abdulhamid Khaq atau
Sultan Adi Surya ‘Alam Ing Bintara. Saat ini Babah Patah berikut pasukan Demak
telah berangkat menuju ibukota Majapahit, hendak menantang perang ayahandanya.
Babah Patah lebih berat kepada gurunya, dia menganggap enteng ayahandanya. Para
Sunan dan para Bupati banyak yang memberikan bantuan pasukan untuk menjebol
Majapahit. Jumlah pasukan Babah Patah kurang lebih tiga ribu prajurid dengan
persenjataan perang lengkap. Mohon segera dihaturkan kepada Sang Prabhu laporan
ini. Surat dari Bupati Pathi tertanggal 3 Mulud 1303 tahun Jimakir, Masa
Ke-Sembilan Wuku Prangbakat (Tahun Jawa dimulai pada Jumat Legi, 1 Suro 1555
Alip. Meneruskan tahun 1555 Saka dan perhitungannya lantas diubah menjadi
perhitungan tahun Hijriyyah atau menggunakan sistem Bulan. Jika ada tahun Jawa
1303, maka ini adalah semacam perhitungan mundur mirip dengan Sebelum Masehi
pada tahun Masehi. : DS). Surat habis dibaca, Kyai Patih benar-benar tak
menyangka. Seketika gigi bergemeletukan, menggeram, menggeleng-gelengkan kepala
dan benar-benar tidak bisa mempercayainya. Wajahnya tengadah menatap angkasa
sembari menyebut nama Dewa Yang Maha Luhur. Dalam hatinya benar-benar heran
kepada kelakuan orang Islam yang tidak tahu budi baik Sang Prabhu dan malah
membalas dengan hal yang tidak sepatutnya. Segera Kyai Patih menghadap Sang
Prabu dan melaporkan isi surat yang baru diterimanya.
Mendengar laporan Patih, Sang Prabhu benar-benar
terkejut. Seketika terdiam kaku tak bisa bersuara. Bagaikan sebuah tugu batu
yang mati. Dalam hati beliau benar-benar tidak bisa memahami akan kemauan
putranya dan kemauan para Sunan sehingga mereka memiliki niatan yang semacam
itu. Sudah diberi kedudukan tapi balasannya malah sedemikian rupa, tega hendak
merusak Majapahit. Benar-benar Sang Prabhu tidak dapat memahami apa yang
menjadi latar belakang kemauan mereka sehingga putranya sendiri berikut para
ulama hendak berniat menyerang keraton Majapahit. Lama Sang Prabu merenung,
tetap juga tidak menemukan jawabannya, lahir dan batin sungguh tindakan mereka
adalah tindakan yang tidak masuk akal sama sekali. Hati Sang Prabu benar-benar
terliputi kegelapan, benar-benar kecewa dan sedih, kesedihan seorang Raja
besar. Hati Sang Prabhu habis, seolah hati seekor kerbau yang habis dimakan
oleh kutu-kutu kecil. Setelah berapa lama berselang, Sang Prabhu bertanya
kepada Sang Patih, apa sebabnya sehingga putranya sendiri berikut para ulama
serta didukung para Bupati tega hendak menyerang Majapahit dan tidak ingat sama
sekali dengan kebaikan Sang Prabhu?
Sang Patih memberikan jawaban bahwasanya dirinya
sendiri juga tidak mengerti latar belakangnya. Sunguh diluar nalar sehat.
Diberikan kebaikan malah membalas dengan kejahatan. Umumnya manusia diberi
kebaikan akan membalas dengan kebaikan serupa. Ki Patih-pun ikut keheranan dan
kecewa, heran pada orang Islam yang memiliki kehendak yang tidak baik semacam
itu. Yang telah diiberi kebaikan malah membalas dengan kejahatan.
Sang Prabhu lantas berkata kepada sang Patih,
segala kejadian yang telah terlanjur ini sebenarnya juga akibat kesalahan sang
Raja sendiri, meremehkan agama yang sudah dipeluk secara turun temurun oleh
orang Jawa, serta terpikat oleh kata-kata Putri Champa, memberikan ijin kepada
para ulama untuk menyebarkan agama Islam secara mudah di Majapahit. Begitu
gelap batin Sang Raja sehingga keluarlah ucapan kutuk dari bibir beliau : Aku
memohon kepada Dewa Yang Maha Agung (Dewa segala dewa/Tuhan), semoga
terbalaskan kesedihan yang aku alamiini, semoga orang Islam Jawa kelak terbalik
dalam menjalankan agamanya, berubah menjadi orang berkuncir, karena tak
mengerti kebaikan, aku beri kebaikan balasannya malah keburukan!” (orang
berkucir maksudnya : manusia yang gampang mendua, gampang terpengaruh duniawi,
meremehkan spiritualitas, spiritualitas hanya dipakai kedok belaka.
Spiritualitas diperdagangkan, ditukar dengan materi. Berkucir adalah rambut
yang dikepang kekiri dan kekanan. Orang Islam Jawa kelak disisi lain bisa
kelihatan alim tapi disisi lain sangat materialistik. Seorang haji diam-diam
merangkap rentenir, seorang kyai bisa berkorupsi, tak ada rasa bersalah dan
risih, semua dianggap wajar dan bisa ditebus dengan tobat jika sudah puas
dengan materi kelak). Sabda Raja Besar yang tengah bersusah hati, diterima oleh
Bathara (Tuhan), disaksikan oleh jagad semesta, dengan tanda tiba-tiba
terdengar suara bergemuruh diangkasa bagaikan suara guntur. Semenjak itulah di
Jawa mulai muncul beberapa jenis burung bangau yang berkuncir bulu kepalanya.
Para ulama dan Sunan semua mempunyai nama rangkap bertolak belakang (maksudnya
disatu sisi dia tampil sebagai sosok penuntun, disisi lain diam-diam menimbun
kekayaan dari spiritualitas yang diajarkan. Nama rangkap bertolak belakang,
disisi lain alim disisi lain masih terjerat kenikmatan duniawi), hingga
sekarang banyak contoh para ulama yang demikian itu (nama rangkap bertolak
belakang dan berkucir rambutnya).
Sang Prabhu meminta pendapat Sang Patih, mengenai
datangnya musuh, yaitu para santriyang hendak merebut kekuasaan, baiknya
dilawan atau tidak? Sang Raja merasakecewa dan heran bercampur satu, kecewa dan
heran mengapa hanya karena ingin memegang kekuasaan Majapahit, Adipati Demak
memilih jalan pertumpahan darah? Seandainya diminta dengan baik-baik, pasti
juga akan diberikan karena Sang Rajasudah sepuh.
Sang Patih menyarankan agar melawan musuh yang
datang. Sang Prabhu ragu karena merasa sangat malu jika terdengar kabar beliau
berperang memperebutkan tahta dengan putra sendiri, oleh karenanya Sang Prabhu
memerintahkan agar menghadang musuh tapi hindari pertumpahan darah yang besar.
Lantas Sang Prabhu memerintahkanjuga agar memangil Adipati Pengging (Adipati
Handayaningrat) dan Adipati Pranaraga (Ponorogo ~ Adipati Bathara Katong) untuk
memimpin pasukan, sebab Raden Gugur belum saatnya untuk maju berperang. Selesai
memberikan perintah Sang Prabhu berkehendak meloloskan diri dari keraton menuju
Bali, diiringkan oleh Sabdo Palon dan Naya Genggong. Saat Sang Prabhu tengah
memberikan perintah, pasukan Demak sudah tiba dan mengepung kota. Kepergian
Sang Prabhu sangat tergesa-gesa sekali.
Pasukan Demak lantas bertempur dengan pasukan
Majapahit, para Sunan sendiri yang memimpin peperangan. Patih Majapahit
mengamuk hebat dimedan tempur. Begitu juga delapan orang pejabat Nayaka Bupati
ikut terjun ke peperangan. Peperangan berjalan sengit, pasukan Demak berjumlah
tiga juta prajurid sedangkan pasukan Majapahit yang ada di ibu kota hanya
terkumpul tiga ribu prajurid. Majapahit telah diserang musuh secara
besar-besaran, banyak prajurid yang gugur, Patih dan para pejabat Nayaka Bupati
terus bertempur tanpa kenal mundur. Prajurid Demak yang terkena amukan mereka
pasti tewas. Putra selir sang Prabhu yang bernama Lembu Pangarsa juga mengamuk
dimedan laga, berhadapan dengan Sunan Kudus. Ditengah pertempuran, Patih Demak
Mangkurat melemparkan tombak kearah putra selir Majapahit, gugurlah dia!
Melihat putra selir gugur secara licik,sang Patih semakin mengamuk bagai
banteng ketaton, tak lagi ada yang ditakuti,segala senjata tak mampu melukai
tubuhnya, bagaikan tugu terbuat dari baja,segala besi tak ada yang mempan
ditubuhnya! Ditempat mana yang diterjang pasti bubar semburat, yang nekat
melawan pasti tewas mengenaskan. Mayat bertumpang tindih. Sang patih ditembak
pelor dari kejauhan, bagaikan hujan datangnya mimis, akan tetapi mental bagai
mengenai batu cadas! Sunan Ngundhung (ayah Sunan Kudus) maju kedepan menghadapi
amukan sang Patih, ditikam tapi tak terluka, ganti terkena tikaman, Sunan
Ngundhung tewas seketika! (makam Sunan Ngundhung masih ada di pemakaman
Troloyo, Trowulan Mojokerto sampai sekarang : DamarShashangka). Begitu Sunan
Ngundhung tewas, sang Patih dikeroyok begitu banyak prajurid Demak, sedangkan
para prajurid Majapahit sudah banyak yang tewas.Seberapa kuatnya satu orang
melawan begitu banyak orang, akhirnya sang Patih gugur. Akan tetapi
jasadnya hilang dan meninggalkan suara : ” Ingat-ingatlah kalian semua orang Islam,
diberikan kebaikan oleh Raja-ku malah membalas dengan keburukan, tega merebut
negara Majaphit dan membuat pembunuhan sedemikian besar, ingatlah kelak akan
aku balas, akan aku hajar kesadaranmu agar tahu mana yang benar dan mana yang
salah, akan aku potong bersih rambutmu (maksudnya segala kebodohan mereka) dan
akan aku tiup kepalamu (maksudnya akan diberikan pengetahuan yang benar)!”
Setelah sang Patih gugur, para Sunan lantas masuk
kedalam keraton. Akan tetapi sang Prabhu sudah tidak ada, yang tinggal hanya
Ratu Mas, yaitu Putri Champa. Sang putri diminta untuk menyingkir ke Benang dan
menurut.
Para prajurid Demak masuk kedalam keraton tanpa
dkomando, didalam istana mereka menjarah dan mengambil segala yang ada hingga
bersih, para penduduk tidak ada yang berani melawan.Raden Gugur yang masih
kecil berhasil meloloskan diri. Adipati Terung ikut masuk kedalam istana,
membakar seluruh buku-buku ajaran Buda (Shiwa Buddha), pasukan yang tersisa
kocar kacir melarikan diri, padahal seluruh pintu benteng dijaga pasukan Terung
(coba diteruskan apa yang terjadi jika demikian? Dalam Serat Darmogandhul tidak
dilanjutkan). Masyarakat Majapahit yang tidak mau tunduk lantas mengungsi
besar-besaran ke gunung dan ke hutan-hutan (salah satunya pengikut Raden Jaka
Seger dan Dewi Rara Anteng yang mengungsi ke daerah pegunungan Bromo.
Menurunkan suku Tengger sampai sekarang. Nama Tengger diambil dari nama Dewi
Rara An-TENG dan Raden Jaka Se-GER : DS).Sedangkan masyarakat yang tunduk
dikumpulkan semua, lantas di Islam kan secara massal. Jasad para pejabat
berikut putra-putra selir yang gugur dikumpulkan dan dikubur (tidak dibakar
secara Shiwa Buddha) disebelah tenggara istana.Pemakaman tadi lantas dinamakan
Bratalaya, konon katanya disanalah makam RadenLembu Pangarsa juga berada.
Tiga hari kemudian, Sultan Demak berangkat ke
Ngampel, yang dipercaya menjaga di istana Majapahit adalah Patih Mangkurat dan
Adipati Terung, untuk menjaga keamanan istana dari serangan-serangan pasukan
Majapahit yang mungkin masih tersisa.Sunan Kudus juga ikut menjaga istana,
seolah-olah menjadi pengganti Sang Prabhu. Wilayah Terung dijaga ulama tiga
ratus, setiap malam melaksanakan shalat hajat serta membaca Kur’an. Separuh
pasukan dan beberapa sunan mengiringi Sultan Demak menuju Ngampeldhenta.
Sunan Ngampel sudah wafat, hanya tinggal sang
istri yang ada di Ngampel. Sang istri berasal dari Tuban, putri Adipati Arya
Teja. Sepeninggal Sunan Ngampel, Nyi Ageng (istri Sunan Ngampel) dituakan oleh
masyarakat Ngampel. Sang Prabhu Jimbuningrat (Raden Patah/Sultan Demak)
sesampainya di Ngampel, segera memberikan sembah bakti kepada Nyi Ageng.
Bergiliran, para sunan juga menghaturkan sembah baktinya. Prabhu Jimbuningrat
lantas melaporkan bahwa telah berhasil menjebol Majapahit, melaporkan lolosnya
Sang Ayahanda dan Raden Gugur,serta tewasnya Patih Majapahit serta mengabarkan
bahwa dirinya sudah mengukuhkan diri sebagai Raja yang menguasai tanah Jawa,
berjuluk : Senopati Jimbun atau Panembahan Palembang. Maksud
kedatangannya ke Ngampel hendak meminta restu agar lestari menjadi Raja hingga
keturunanya kelak.
Usai mendengar laporan Prabhu Jimbun, Nyi Ageng
seketika menangis dan merangkul Sang Prabhu (Jimbuningrat). Hatinya bagai
diiris-iris, beginilah ucapan yang keluardari bibir beliau :”Cucuku, kamu telah
melakukan tiga buah dosa. Berani melawan Raja-mu sekaligus Orang tua-mu, orang
yang telah memberikan kemuliaan duniawi, namun kamu hancurkan tanpa dosa. Jika
mengingat kebaikan paman Prabhu Brawijaya,dimana para ulama diberikan tempat
tinggal sehingga bisa mencari makan ditempat masing-masing, serta diberi
kebebasan untuk menyebarkan agama, seharusnya sebagai manusia patut mengucapkan
terima kasih. Tetapi mengapa akhirnya dibalas dengan kejahatan, sekarang beliau
wafat atau masih hidup tidak diketahui lagi bagaimana nasibnya!”
Nyi Ageng berkata lagi kepada Sang Prabhu :
“Ngger, aku hendak bertanya kepadamu, jawablah sejujurnya, siapakah ayahmu yang
sesungguhnya? Siapakah yang mengukuhkan kamu menjadi Raja tanah Jawa dan siapa
yang merestui? Apa sebabnya kamu melakukan pembunuhan kepada orang Majapahit
sedangkan mereka tanpa memiliki kesalahan kepadamu?”
Sang Prabhu menjawab, konon Prabhu Brawijaya
memang ayahandanya yang sesungguhnya.Yang mengangkat dirinya menjadi Raja tanah
Jaya tak lain para Bupati pesisir utara. Yang merestui para Sunan. Majapahit
diserang, sebab Sang Prabhu Brawijaya tidak mau masuk Islam, tetap bersikukuh
memeluk agama kafir kufur,agama Buda (Shiwa Buddha) totok yang sudah keras
bagai kerasnya kuwuk (batu laut).
Mendengar penuturan Prabhu Jimbun, Nyi Ageng
menjerit seketika dan merangkul sambilberkata : “Ngger! Ketahuilah! Kamu
telah berbuat dosa tiga macam. Pasti akan mendapatkan hukuman Gusti
Allah. Kamu telah berani melawan Raja-mu dan Orangtuamu sendiri, yang
telah memberikan kemuliaan duniawi bagimu, kamu tega telah melakukan kekerasan
kepada orang yang tanpa salah. Adanya manusia Islam dan Kafir siapa yang
menciptakan, kecuali hanya satu Gusti Allah sendiri.Manusia berganti agama itu
tidak bisa dipaksa, jika bukan kehendak pribadinya sendiri. Ketahuilah manusia
yang gugur karena memegang teguh keyakinannya termasuk manusia yang utama! Jika
Gusti Allah menghendaki, pastinya tak usah disuruh, pasti akan memeluk agama
Islam sendiri. Gusti Allah yang bersifat Rahman (Kasih) tidak memerintahkan untuk
memaksa orang masuk agama tertentu,semua sesuai kehendak manusia
sendiri-sendiri. GUSTI ALLAH TIDAK AKAN MENYIKSA MANUSIA KAFIR YANG TAK
BERSALAH DAN TIDAK AKAN MEMBERIKAN PAHALA KEPADA ORANG ISLAM YANG PERBUATANNYA
TIDAK BENAR! HANYA PERBUATANNYA YANG AKAN DIADILI SECARA ADIL, BUKAN KARENA
AGAMANYA APA! Ibumu China menyembah Pek-Kong, yang diwujudkan dalam kertas
bergambar atau arca dari batu. Tidak benar membenci orang Buda. Itu tandanya
matamu masih terlapisi, sehingga tidak terang penglihatanmu, tidak tahu mana
yang benar dan mana yang salah! Konon kamu putra Sang Prabhu, tapi mana ada
putra yang tega menghancurkan ayahandanya sendiri, menghancurkan tanpa ada
kesalahannya. Beda dengan mata orang Jawa asli, Jawa atau Jawi ( Jawa
maksudnya paham atau sadar, orang Jawa yang tidak paham etika atau sadar sopan
santun lumrah disebut ORA JAWA! : DamarShashangka), penglihatannya satu, paham
mana yang benar dan mana yang salah, sadar mana yang baik dan mana yang buruk!
Pasti takut berbakti kepada orangtua, kedua berbakti kepada Raja yang telah
memberikan anugerah kemuliaan duniawi, orang tua maupun Raja wajib diberikan
dharma bakti. Niatnya berbakti kepada orang tua, bukan melihat kafirnya! Kamu
aku beritahu, Agung Kuparman beragama Islam dan mempunyai mertua kafir.
Mertuanya benci kepadanya karena beda agama, senantiasa mencari jalan agar
menantunya mati. Akan tetapi Agung Kuparman senantiasa berbakti dan menghormati
karena mengingat dia adalah mertuanya yang bagaikan orangtua sendiri, tidak
melihat kafirnya! Itulah contoh manusia utama, tidak seperti perbuatanmu,
menganiaya orang tua hanya karena beliau beragama Buda dan tidak mau berganti
agama Islam. Perbuatanmu tidak patut. Dan lagi aku hendak bertanya, apakah kamu
pernah meminta secara pribadi kepada ayahandamu agar bersedia berganti agama?
Lantas apa yang menyebabkan kamu nekad merusak negara Majapahit?”
Prabhu Jimbun menjawab, belum pernah meminta
kesediaan ayahandanya agar berganti agama, datang ke Majapahit langsung
menyerang.
Nyi Ageng Ngampel tertawa dan berkata,
“Perbuatanmu semakin terlihat salah! Para Nabi pada jaman dulu, berani
menentang orang tuanya, sebab sudah setiap hari meminta kesediaan orang tua
mereka agar berganti agama, akan tetapi tidak mau juga,bahkan hingga diberi
bukti mukjijat segala, mukjijat sudah saatnya berganti agama Islam, akan tetapi
permintaan itu tidak digubris, orang tua mereka masih tetap memegang teguh
agama lama, lantas mereka dimusuhi oleh orang tua mereka.Jika begitu
kejadiannya, kalaupun harus bermusuhan dengan orang tua, mereka tidak salah.
Sedangkan dirimu, apa mukjijatmu? Jika memang nyata Khalifatullah(Wakil Allah)
yang berhak mengganti agama lama sekarang perlihatkan mukjijadmu aku ingin
menyaksikannya!”
Prabhu Jimbun menjawab jika tidak memiliki
mukjikat apapun, hanya menuruti bunyi kitab, katanya jika meng-Islam-kan orang
kafir kelak mendapat anugerah surga.
Nyi Ageng Nganpel tertawa dan semakin marah, ”
Hanya katanya kok dituruti, bahkan bukan ujar leluhur. Kata-kata orang
pengembara kok dituruti, akhirnya yang rusak dirimu sendiri. Itu tanda masih
mentah pengetahuan agamamu! Berani kepada orang tua, hanya karena ingin menjadi
Raja, kesengsaraan masyarakat banyak tidak kamu fikirkan. Dirimu bukan santri
ahli Budi (Kesadaran), hanya manusia yang berikat kepala putih, bagaikan
putihnya burung bangau, yang putih hanya kulitnya saja,didalamnya masih merah
menyala! Saat kakekmu (Sunan Ngampel) masih hidup, dirimu pernah meminta ijin
untuk menyerang Majapahit, kakekmu tidak memberikan ijin, bahkan wanti wanti
jangan sampai bermusuhan dengan orang tua. Sekarang kakekmu sudah wafat,
larangannya kamu langgar, kamu tidak takut melanggar wasiatnya. Jikalau dirimu
sekarang meminta restu padaku untuk menjadi Raja tanah Jawa, diriku tidak
berwenang memberikan ijin, diriku orang kecil, seorang wanita lagi. Nanti
terbalik akhirnya. Sebab seharusnya dirimu yang berwenang memberikan restu
kepadaku, sebab dirimu adalah Khalifatullah di tanah Jawa.Dirimu adalah orang
tua, apa yang kamu ucapkan bagaikan ludah berisi api (maksudnya bakal dituruti
banyak orang), diriku hanya tua tanpa arti, dirimulah yang tua karena kamu
sekarang Raja!”
Lantas Nyi Ageng Ngampel berkata lagi, “ Cucuku,
dengarkanlah aku akan menceritakan empat kisah lama yang bisa dijadikan suri
tauladan. Dalam sebuah kitab hikayat telah diceritakan, di tanah Mesir (yang
benar cerita ditanah Israel atau Isroil, penulis Darmagandhul membuat
kesalahan disini. Ini membuktikan sang penulis bukan misionaris Kristiani
seperti yang dituduhkan oleh beberapa kalangan akhir-akhir ini. Jika benar sang
penulis adalah misionaris Kristiani, mana mungkin melakukan sebuah kesalahan
semacam ini, dimana kisah Nabi Daud dikatakan cerita dari Mesir. Dalam Kitab
Perjanjian Lama sudah jelas diketahui Daud adalah orang Israel dan Raja Israel,
dan seorang Kristiani tak mungkin akan salah jika bertutur tentang Daud dan
Israel-nya. : DS) bahwa pernah suatu ketika putra Kangjeng Nabi Daud pernah
merebut tahta ayahnya. Nabi Daud sampai harus meloloskan diri dari kerajaan dan
sang putra mengukuhkan diri sebagai Raja. Tidak berapa lama Nabi daud berhasil
merebut kerajaannya. Sang putra lari dengan menunggang kuda ke hutan, kuda
berlari tak bisa dikendalikan hingga sang putra tersangkut pohon dan batu, dan
tewas dengan tubuh tersangkut pada sebatang pohon. Itulah yang disebut hukum
Allah. Ada lagi cerita dari Prabhu Dewatacengkar, dia juga merebut tahta
ayahandanya, dikutuk oleh sang ayah menjadi raksasa, setiap hari harus memakan
daging manusia, tidak berapa lama kemudian, datanglah seorang Brahmana dari tanah
seberang (India) ke Jawa, bernama Aji Saka, membawa kesaktian ditanah Jawa.
Seluruh masyarakat Jawa mengasihi Aji Saka, dan membenci Dewatacengkar. Aji
Saka diangkat menjadi Raja, Dewatacengkar dilawan hingga lari menceburkan diri
ke samudera, berubah menjadi buaya, tidak berapa lama kemudian meninggal. Ada
lagi cerita dari negara Lokapala, Sang Prabhu Danaraja berani melawan
ayahandanya, hukuman yang diterima juga tak jauh beda dengan cerita sebelumnya,
semua menemui kesengsaraan. Dan sedangkan kamu, melawan ayah tanpa dosa,
pastilah kamu menemui kesengsaraan, jika kelak meninggal pasti akan masuk
neraka, itulah hukum Allah bagimu!”
Mendengar penuturan sang nenek, Sang Prabhu
Jimbun dalam hati merasa menyesal, akan tetapi semua sudah terlanjur.
Nyi Ageng Ngampel masih meneruskan
penuturannya,”Ketahuilah dirimu itu diperalat oleh para Ulama dan para Bupati,
mengapa kamu menurut saja? Yang akan menerima kesengsaraan pastilah hanya
dirimu seorang, sudah kehilangan ayah, seumur hidup namamu akan tercemar. Kebanggaan
apa yang kamu dapatkan unggul berperang dengan ayah sendiri yang patut
dihormati? Walau kamu bertaubatl kepada Yang Maha Kuasa, menurutku tidak akan
diterima taubatmu. Kesalahan pertama kamu berani melawan ayahanda sendiri,
kesalahan kedua berani menentang Raja, kesalahan ketiga membalas kebaikan
dengan kejahatan serta melakukan perusakan dan pembunuhan tanpa ada dosa.
Ingat, Adipati Pranaraga (Bathara Katong) dan dipati Pengging (Adipati
Andayaningrat) tidak akan mungkin bisa menerima kehancuran Majapahit, pasti
mereka akan membela ayah mereka, menghadapi hal itu saja sudah sangat berat
buatmu.” Banyak lagi penuturan Nyi Ageng kepada Prabhu Jimbun. Sesudah Sang
Prabhu selesai dinasehati, lantas disuruh pulang ke Demak serta disuruh mencari
kemana perginya ayahandanya. Jika sudah ditemukan supaya diminta pulang kembali
ke Majapahit, sebelumnya diminta mampir ke Ngampelgadhing. Akan tetapi jika
tidak berkenan, tidak boleh dipaksa, sebab jikalau sampai membuat kemarahan
beliau lagi dan sampai mengeluarkan kutuk, pasti akan terjadi kutukan itu.
Sesampainya di Demak, Sang Prabhu Jimbun melihat
seluruh prajuridnya tengah bersuka cita dan bersenang-senang merayakan
kemenangan, sedangkan para santri semua memukur rebana sembari berdzikir,
mengucapkan syukur dan suka dihati melihat Sang Prabhu pulang sembari membawa
kemenangan.
Sunan Benang menyambut kedatangan Sang Prabhu
Jimbun, Sang Raja lantas melaporkan kepada Sunan Benang bahwa Majapahit sudah
bisa dijebol, seluruh kitab-kitab Buda sudah dibakar semua, serta melaporkan
bahwasanya ayahandanya berikut Raden Gugur lolos dari istana, sedangkan Patih
Majapahit tewas ditengah medan peperangan. Putri Cempa dibawa mengungsi ke
Benang, semua prajurid Majapahit yang menyerah dipaksa masuk Islam.
Mendengar laporan Sang Prabhu Jimbun, Sunan
Benang tertawa sembari mengangguk-angguk dan berkata kalau sudah sesuai dengan
apa yang sudah dilihatnya secara gaib.
Sang Prabhu berkata lagi, sebelum pulang ke Demak
menyempatkan mampir ke Ngampeldhenta, sowan kepada eyang Nyi Ageng Ngampel,
melaporkan kepada beliau jika baru saja berhasil menjebol Majapahit dan meminta
restu untuk menjadi Raja. Akan tetapi di Ngampel malah dimarahi habis-habisan
karena menurut beliau dirinya tidak bisa melihat kebaikan Sang Prabhu
Brawijaya. Sesudah itu, diutus oleh beliau agar mencari jejak kepergian
ayahandanya, semua yang diucapkan Nyi Ageng Ngampel dihaturkan semua kepada
Sunan Benang.
Sesudah mendengar penuturan Sang Raja, didalam
hati Sunan Benang merasa menyesal, menyadari kesalahannya, dimana dirinya tidak
mengingat semua kebaikan Sang Prabhu Brawijaya yang telah diberikan kepadanya.
Akan tetapi perasaan sesal itu segera ditepis dengan ucapan bahwasanya tindakan
menjebol Majapahit itu sudah benar karena Sang Prabhu Brawijaya dan Patih tidak
mau memeluk agama islam.
Sunan Benang lantas berkata bahwasanya seluruh
penuturan Nyi Ageng Ngampel tidak perlu dirisaukan, sebab akal seorang wanita
itu pasti kurang sempurna dibandingkan dengan akal pria, lebih baik usaha
menjebol Majapahit terus dilanjutkan. Jikalau Prabhu Jimbun menuruti nasehat
Nyi Ageng Ngampeldhenta, Sunan Benang memutuskn hendak pulang ke Arab. Prabhu
Jimbun berkata kepada Sunan Benang, bahwasanya jikalau tidak menuruti perintah
Nyi Ngampel, pastinya akan mendapatkan kutuk yang tidak baik, oleh karenanya
dirinya merasa takut.
Sunan Benang memberikan jalan keluar kepada Sang
Prabhu, jikalau memang Sang Prabhu Brawijaya diusahakan kembali ke Majapahit,
maka Sang Prabu Jimbun harus menghadap dan memohon maaf atas segala kesalahan
yang telah dilakukan. Namun jika hendak diangkat kembali menjadi Raja, jangan
diangkat di Jawa, sebab pastinya akan menjadi penghalang bagi mereka yang
hendak memeluk agama Islam. Seyogyanya dikukuhkan sebagai Raja diluar pulau
Jawa, dimana saja diwilayah Majapahit asal tidak di pulau Jawa!
Sunan Giri lantas menyambung, dia berpendapat
jalan yang terbaik agar tidak sampai terjadi pertumpahan darah yang
berkelanjutan, Sang Prabhu Brawijaya beserta para putra-putra yang masih
memiliki kuasa dibeberapa daerah seyogyanya ditenung (di santet) saja, membunuh
orang kafir itu tidak ada dosanya!
Sunan Benang dan Prabhu Jimbun akhirnya
menyetujui pendapat Sunan Giri tersebut.
Berganti cerita, perjalanan Sunan Kalijaga yang
tengah berusaha melacak jejak Sang Prabhu Brawijaya, hanya didampingi dua orang
murid. Perjalanan mereka terlunta-lunta. Setiap desa dimasuki hanya demi
mencari kabar berita. Perjalanan Sunan Kalijaga sampai dipesisir timur pulau
Jawa, dimana disanalah Sang Prabhu Brawijaya tengah berada.
Perjalanan dari Prabhu Brawijaya sendiri sudah
sampai di Blambangan. Karena rombongan merasa lelah lantas beristirahat
disamping danau. Pada saat itu suasana hati Sang Prabhu sangat gelap. Yang
menghadap didepan beliau hanya dua orang abdi terkasih, tak lain adalah
Nayagenggong dan Sabdapalon. Kedua abdi ini terus mengcoba menghibur hati Sang
Prabhu agar tidak terus larut dalam kesedihan karena kejadian yang baru
dialami. Tidak berapa lama datanglah Sunan Kalijaga, menghaturkan sembah
dibawah kaki Sang Prabhu.
Sang Prabhu lantas bertanya kepada Sunan
Kalijaga,” Sahid, mengapa kamu ada disini? Ada perlu apa menguntit
perjalananku?”
Sunan Kalijaga menjawab, “Sowan hamba ini diutus
oleh putra paduka untuk mencari keberadaan paduka. Jika bertemu dimanapun, agar
supaya sembah sujud sang putra dihaturkan kepada paduka. Memonon maaf atas
segala kesalahan yang telah diperbuat yang telah berani merebut tahta.
Disebabkan kebodohan hati seorang muda, yang belum memahami tata krama, terlalu
lancang menuruti keinginan hati agar bisa menjadi seorang Raja yang mempunyai
banyak wadyabala dan dihadap oleh banyak Bupati. Dan saat ini, putra paduka
telah menyadari segala kekeliruannya. Dimana dia yang telah memiliki seorang
ayah Raja Besar, yang telah mengangkat derajatnya dari orang rendah menjadi
seorang Adipati Demak, akan tetapi balasannya seperti ini. Saat ini putra
paduka telah menyadari, setelah paduka lolos dari istana dan tidak diketahui
lagi keberadaannya, putra paduka merasa menyesal dan takut mendapatkan hukuman
Tuhan. Oleh karenanya hamba diutus untuk melacak keberadaan paduka, pesannya
jika bertemu dimana saja diharapkan sudilah kiranya kembali ke Majapahit,
kembali bertahta seperti sediakala, mennguasai para prajurid dan dihadap para
punggawa, lestari menjadi sesepuh yang dihormati oleh para putra dan cucu serta
para kawula alit. Dihormati dan dimintai restunya. Jikalau paduka berkenan
pulang, putra paduka rela menyerahkan tahta kembali kepada paduka, putra paduka
berserah diri hidup dan matinya kepada paduka. Namun jika diperkenankan, putra
paduka hanya memohon agar dimaafkan segala kesalahannya yang telah dibuat dan
agar diperkenankan tetap menjabat sebagai Adipati Demak, seperti yang
sudah-sudah. Akan tetapi jika paduka tidak berkenan menerima tahta kembali, jika
menginginkan mendirikan istana di mana saja, walaupun dilereng gunung-pun,
dimanapun yang paduka senangi, putra paduka akan membuatkan dan akan menjamin
sandang dan pangan paduka, akan tetapi memohon agar berkenan memberikan pusaka
(tahta) tanah Jawa. Tahta diminta dengan segala kerendahan dan kerelaan hati.”
Sang Prabhu Brawijaya berkata,”Telah ku dengar
semua penuturanmu, Sahid! Akan tetapi tidak aku pedulikan lagi, sebab diriku
sudah kapok mendengarkan ucapan para santri yang mempunyai mata tujuh buah
(maksudnya banyak akalnya), dan semua mata tersebut mata yang dilapisi,
sehingga tidak terang dan jelas penglihatannya. Baik dimuka tapi memukul dari
belakang. Kata-katanya hanya manis dibibir, akan tetapi hatinya penuh dengan
debu kotoran yang dilemparkan ke wajahku sehingga butalah mataku ini. Sudah aku
berikan kebaikan, balasannya bagaikan tingkah makhluk yang berekor. Apa salahku
sehingga dirusak tanpa dosa, meninggalkan segala tata cara dan etika manusia,
mengobarkan peperangan tanpa tantangan, apakah memakai cara babi, sehingga
tidak memakai etika manusia?”
Mendengar jawaban Sang Prabhu, Sunan Kalijaga
merasa ikut bersalah karena secara tidak langsung ikut membiarkan kehancuran
Majapahit, dalam batin sangat-sangat menyesal, semua sudah terlanjur, sehingga
akhirnya keluarlah keluhannya, “Apapun kemarahan yang paduka ungkapkan, tetap
akan hamba jadikan jimat utama, hamba junjung dan hamba ikat diatas rambut
kepala, hamba letakkan diubun-ubun, semoga bisa menambahi cahaya nurbuat yang
bening sehingga membuat keselamatan bagi hamba dan semua putra dan cucu paduka.
Karena hamba sudah menyadari kesalahan ini, apalagi yang hendak hamba minta,
kecuali hanya kerelaan paduka untuk memberikan maaf. Lantas kalau boleh hamba
bertanya, selanjutnya paduka hendak pergi kemanakah?”
Sang Prabhu Brawijaya menjawab, “Sekarang aku
memutuskan hendak ke pulau Bali, menemui adikku Prabhu Dewa Agung di Klungkung.
Aku hendak memberitahu segala tindakan Patah, menganiaya orang tuanya sendiri
yang tanpa dosa. Aku hendak meminta adikku Prabhu Dewa Agung untuk menghubungi
seluruh Raja bawahan Majapahit diluar pulau Jawa, agar mempersiapkan diri
dengan persenjataan perang lengkap! Serta aku hendak meminta tolong kepada
adikku Prabhu Dewa Agung agar Adipati Palembang diberitahu, jikalau kedua
anaknya sesampainya di Jawa sudah aku angkat sebagai Bupati, akan tetapi tidak
tahu jalan yang benar, dan berani melawan ayah dan Raja-nya sendiri, aku hendak
meminta kerelaan Adipati Palembang untuk merelakan anaknya (Raden Kusen/Kin
Shan ~ Adipati Terung Pecattandha) aku bunuh. Bahkan melalui adikku Prabhu Dewa
Agung aku hendak meminta tolong menghubungi Hong Te di China, untuk mengabarkan
bahwasanya putrinya yang menjadi istriku telah melahirkan seorang cucu baginya
(Raden Patah ~ Adipati Demak), tapi tidak tahu jalan yang benar, berani melawan
ayah dan Raja-nya, aku juga hendak meminta kerelaan Hong Te untuk merelakan
cucunya aku bunuh. Tidak hanya itu, aku juga akan mengutus Prabhu Dewa
Agung untuk menghubungi Keraton China, meminta bantuan prajurid dengan
persenjataan lengkap dan segera datang ke Bali bersiap menggempur Jawa!
Pasti Raja China masih memperhatikan nama besarku, pasti Raja China tidak tega
melihat Raja yang sudah bungkuk terlunta-lunta seperti aku. Nama besarku pasti
akan membuat prajurid China bakal dikirimkan ke Bali. Akan aku kerahkan semua
pasukan tadi menyerang tanah Jawa, merebut tahtaku kembali. Sekarang, jika
memang harus terjadi perang besar antara ayah melawan anak, aku sudah tidak
peduli lagi! Sebab diriku selama ini tidak pernah memulai membuat kesalahan,
diriku selama ini tidak pernah meninggalkan tata cara seorang Raja bijak!”
Mendengar kata-kata Sang Prabhu yang demikian,
Sunan Kalijaga tercenung dan berkata dalam hati, “Benarlah apa yang dikatakan
oleh Nyi Ageng Ngampelgadhing, bahwasanya eyang wungkuk (Prabhu Brawijaya)
masih mempunyai nama besar dan masih punya kuasa. Sungguh tidak melihat diri
sendiri, kulit yang sudah keriput punggung yang sudah bungkuk. Jikalau sampai
menyeberang ke pulau Bali, pastilah akan terjadi perang besar dan dapat
dipastikan kekuatan Demak tidak akan bisa menang. Sebab jelas-jelas Demak
melakukan kesalahan yang tidak akan menarik simpati Negara manapun. Kesalahan
pertama berani melawan ayahanda sendiri. Kesalahahn kedua berani melawan Raja
tanpa ada masalah yang jelas dan kesalahan ketiga berani membalas kebaikan
dengan kejahatan. Pastilah semua penduduk Jawa (Majapahit) yang belum masuk
Islam akan membela Raja tua, mereka akan ikut memperkuat barisan, dan pastilah
akan kalah orang Islam, habis binasa dalam peperangan yang bakal terjadi.”
Akhirnya Sunan Kalijaga pelan berkata,” Duh
paduka yang mulia Kangjeng Sang Prabhu. Jikalau seandainya paduka terlaksana
menyeberang ke Bali, terlaksana menggalang kekuatan para Raja bawahan Majapahit
diluar Jawa, pastilah bakal terjadi perang besar. Apakah paduka tidak sayang
akan kerusakan tanah Jawa kelak ? Sudah dapat dipastikan putra paduka (Raden
Patah) yang akan menemui kekalahan. Paduka lantas kembali naik tahta, tak lama
kemudian akan turun tahta karena jelas paduka sudah sepuh. Tahta Jawa lantas
dikuasai oleh yang bukan keturunan darah paduka. Bagaikan anjing yang berebut
bangkai, anjing yang bertengkar tak ada yang mengalah dan binasa kedua-duanya,
sedangkan daging yang diperebutkan akhirnya dimiliki oleh anjing yang lain.”
Sang Prabhu Brawijaya menjawab, “Jikalau memang
harus seperti itu kejadiannya nanti, semua aku pasrahkan kepada kehendak Dewa
Yang Maha Lebih. Diriku ini Raja Besar, setia pada satu mata, tidak
mempergunakan dua mata, hanya satu mata melihat kebenaran, kebenaran yang sudah
ditetapkan turun temurun oleh leluhur tanah Jawa. Seandainya si Patah mengakui
aku ayahnya, jika hanya ingin menjadi Raja, seharusnya mintalah tahta secara
baik-baik. Tahta tanah Jawa pasti akan aku berikan dengan baik-baik pula.
Diriku sudah tua, sudah bosan menjadi Raja, dan sudah saatnya menjadi Pandhita,
menyepi dilereng gunung. Akan tetapi sekarang kenyataannya si Patah tega
menyia-nyiakan diriku, demi Dewata Yang Agung pastilah sekarang diriku tidak akan
rela jika tanah Jawa dikuasainya, begitu pula seluruh abdi-abdiku, tak ada yang
rela jika tanah Jawa dikuasai Patah!”
Sunan Kalijaga, begitu mendengar kata-kata Sang
Prabhu merasa sudah tidak bisa mencegah lagi. Sontak dia menyembah kaki Sang
Prabhu. Kemudian melepas keris yang terselip dipinggang belakang serta
disodorkan kepada Sang Prabhu sembari menyatakan, jikalau Sang Prabhu tidak
mendengarkan kata-kata Sunan Kalijaga, Sunan Kalijaga memohon agar Sang Prabhu
berkenan membunuhnya saat itu juga. Sunan Kalijaga merasa malu jika kelak harus
melihat peperangan besar terjadi di Jawa antara ayah dan anaknya.
Melihat apa yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga
sedemikian itu, hati Sang Prabu beku dan teriris, lama tak mampu bersuara. Dada
beliau seketika sesak dan tak terasa menetes air mata Prabhu Brawijaya.
Bergetar suara Sang Prabhu, “Sahid, duduklah kembali, sudah akan aku pikirkan
kembali kata-kataku, akan aku renungkan lagi semua ucapanmu, benar atau
tidaknya, jujur atau bohong. Sebab aku khawatir apa yang kamu ucapkan semua
tadi hanya bohong belaka. Ketahuilah Sahid, jika seandainya aku benar pulang
kembali ke Majapahit, lantas si Patah menghadap dihadapanku. Kebenciannya tak
mungkin bisa hilang, sebab merasa memiliki ayah orang Buda totok kafir kufur.
Hanya sesaat dia bisa menghargaiku. Lain hari pasti akan lupa lagi. Mungkin aku
nanti bisa juga dikebiri (sunat) olehnya, atau mungkin bisa juga disuruh
menjaga pintu gerbang belakang. Pagi sore dipaksa melaksanakan sembahyang. Jika
tidak bisa-bisa diguyur air dikolam dan dikosok tubuhku mengunakan daun
alang-alang kering!”
Sang Prabhu melanjutkan ucapannya kepada Sunan
Kalijaga, “Renungkanlah, Sahid. Bagaimana sedihnya hatiku, sudah tua, bungkuk,
diperlakukan bagai anak kecil direndam di kolam sedemikian rupa.”
Sunan Kalijaga tersenyum sembari berkata,”Tak
mungkin hingga sedemikian itu perlakuan putra paduka. Sungguh kelak saya yang
akan bertanggung jawab. Saya pastikan putra paduka tidak akan berani berlaku
sia-sia kepada paduka. Jika masalah agama, semua tergantung kepada pribadi
pasuka sendiri. Akan tetapi akan lebih baik jika paduka memang berkenan
berganti agama Buda dengan syari’at Rasul. Menyebut asma Allah. Jikalau memang
tidak berkenan, tidak juga menjadi masalah. Agama bukan jaminan (menemukan
kesejatian). Keyakinan orang Islam yang utama hanyalah sahadat. Walaupun shalat
jempalitan, manakala belum memahami sahadat, tetap saja dinamakan kafir.”
Sang Prabhu berkata,”Apa Sahadat itu? Aku kok
belum tahu, jelaskanlah akan aku dengarkan!”
Sunan Kalijaga lantas mengucapkan kalimat
Sahadat: “Ashadualla illa haillallah, wa ashadu anna Muhammadarrasulullah.
Artinya Aku bersaksi, tidak ada Tuhan yang sejati kecuali Allah. Dan aku
bersaksi, Kangjeng Nabi Muhammad adalah utusan Allah.”
Lantas Sunan Kalijaga mengatakan lagi,”Manusia
yang melakukan penyembahan kearah kiblat semata, akan tetapi tidak juga
memahami maksudnya, tetaplah dinamakan kafir. Dan lagi manusia yang menyembah
sesuatu yang berwujud dan berwarna, itu disebut menyembah berhala. Maka oleh
karenanya, manusia wajib memahami dirinya dari lahir hingga batin. Manusia
mengucapkan sesuatu harus tahu apa yang diucapkan. Sesungguhnya yang disebut
Nabi Muhammad Rasulullah, Muhamad itu sejatinya adalah bagaikan makam atau
kuburan. Badan sejati manusia ini (Ruh) ibarat tempat tertanamnya/melekatnya
segala gejolak batin. Sesungguhnya yang mengucapan sahadat adalah menyaksikan
Diri-nya sendiri (Ruhnya sendiri sebagai utusan Allah), bukan naik saksi kepada
Muhammad yang ada di Arab. Badan (sejati) manusia ini adalah Percikan Dzat
Tuhan. Diibaratkan sebagai kubur atau makam segala rasa dan gejolak batin.
(Diri sejati sebagai) Rasul (utusan) akan dapat di-Rasa-kan (oleh Ruh). Bukan
dirasakan bagai merasakan Rasa makanan (dan segala rasa pancaindriya, akan
tetapi Rasa sadar bahwa diri ini adalah utusan Tuhan). Rasul (utusan/Ruh)
ini murni illahi. Lullah (dari Allah) bisa juga diartikan bagaikan luluh.
Seperti lumpur yang luluh. Rasulullah (Utusan Allah/Ruh ini) sesungguhnya
adalah illlahi yang diselimuti oleh rasa negative dan segala yang jelek.
Muhammad Rasulullah (Ruh adalah utusan Allah). Untuk menyadarinya pertama-tama
harus memahami apa badan (kasar) ini, kedua memahami segala keinginan (gejolak
batin/badan halus). Sudah wajib semua manusia mencermati segala rasa (gejolak
batin yang ditimbulkan oleh badan halus). Rasa dan Tedhi (semua gejolak batin
yang halus) itulah yang melekati Muhammad Rasulullah (Ruh utusan Allah). Oleh
karenanya setiap melakukan shalat orang Islam harus mengawali dengan ucapan
‘Usholi’ artinya berniat sungguh-sungguh untuk mengetahui asal-usul (Ruh ini).
Raga manusia ini berasal dari bayangan Ruh Idhofi, yaitu Muhammad Rasulullah
itu sendiri. Yang dimaksud Rasul adalah utusan yang harus bisa di Rasa
(disadari) bahwsanya kita ini utusan sejati. Dari sanalah benih segala
kehidupan. Akan bisa dicapai dengan kesadaran terbuka. Diawali memahami
ashadualla (sahadat). Jika tidak memahami apa arti sahadat sesungguhnya, maka
tidak sempurna rukun Islam dan tidak akan mengetahui awal asal usul kehidupan
kita!”
Banyak yang dihaturkan oleh Sunan Kalijaga
sehingga Prabhu Brawijaya akhirnya tertarik dan berkenan memeluk agama Islam.
Lantas kemudian Sunan Kalijaga memohon agar diperkenankan memotong rambut
panjang Sang Prabhu akan tetapi tidak bisa terpotong saat digunting. Oleh
karenanya Sunan Kalijaga lantas menyarankan agar Sang Prabhu benar-benar
sungguh-sungguh masuk Islam lahir batin. Sebab jika hanya lahir saja, rambut
tidak akan mempan digunting. Sang Prabhu lantas berkata bahwa dirinya sudah
lahir batin, oleh karenanya rambut lantas bisa dipotong.
Selesai dipotong rambutnya Sang Prabhu lantas
berkata kepada Sabda Palon dan Naya Genggong, “Kalian semua aku jadikan saksi,
bahwa mulai hari ini aku meninggalkan agama Buda dan memeluk agama Islam.
Menyebut asma Allah Yang Sejati. Keinginanku, kalian berdua aku harapkan ikut
berganti memeluk agama Rasul dan meninggalkan agama Buda!”
Sedih Sabda Palon menjawab, “ Hamba ini adalah
Raja Dang Hyang (makhluk gaib) yang menjaga tanah Jawa. Siapapun yang menjadi
Raja, adalah momongan hamba. Mulai dari leluhur paduka dulu, yaitu Wiku
Manumanasa, Raden Sakutrem hingga Bambang Sakri, turun temurun hingga sekarang
ini, semua menjadi momongan hamba dan hamba ajari ajaran Jawa sejati. Jika
hamba tidur, mampu tidur selama 200 tahun. Selama saya tidur di Jawa akan
banyak terjadi peperangan antar saudara. Yang kuat akan memangsa
sesame manusia, menghancurkan sesame bangsanya sendiri. Hingga sat ini usia
hamba 2003 tahun. Hamba telah momong ajaran Jawa, semua yang hamba momong
selama ini tak ada yang berubah agamanya. Memegang teguh agama Buda. Hanya
paduka sekarang saja yang berani meninggalkan ajaran leluhur Jawa. Jawa artinya
paham , yang sudah paham disebut Jawan (Sadar). Sadar bahwa badan sejati ini
hanya sementara tinggal didunia, tujuannya adalah meraih moksha!”
Ucapan Wiku Utama dibarengi seketika oleh suara
gemuruh guntur!
Sang Prabhu Brawijaya oleh para Dewa disindir
karena telah memeluk agama Rasul. Tiga sindiran yang muncul di bhumi Jawa mulai
sat itu adalah 1. Suket Jawan (Rumput Jawan), 2. Pari Randhanunut (Padi
Randhanunut, Randha : Janda, Nunut : ikut tinggal/Numpang Randhanunut ~ Seorang
jandha yang ikut tinggal/numpang hidup) dan 3. Pari Mriyi (Padi Mriyi).
(Konon mulai saat itulah muncul Padi dan Rumput
dengan nama seperti diatas. Rumput Jawan, maksudnya Kesadaran yang telah rendah
serendah rumput yang bisa diinjak-injak. Padi Randhanunut, maksudnya
padi/makanan batin/ajaran agama milik seorang janda yang tinggal numpang
dirumah seseorang, alias kebenaran yang dimiliki oleh sekelompok manusia yang
kehilangan pasangan sejati/Tuhan yang numpang di Jawa dan Padi Mriyi adalah
Padi yang kecil-kecil, maksudnya makanan batin/ajaran yang masih berupa jenis
yang kecil : DS)
Sang Prabhu berkata lagi, “Aku Tanya lagi
bagaimana niatanmu, mau atau tidak meninggalkan agama Buda berganti memeluk
agama Rasul. Menyebut nama Nabi Muhammad Rasulullah, panutan para Nabi dan
menyebut asma Allah Yang Sejati?”
Sabda Palon sedih berkata,”Silakan paduka sendiri
saja yang masuk, hamba tidak tega melihat kelakuan sia-sia mereka, seperti
watak orang Arab. Sia-sia artinya suka menghukum (menghakimi), menghakimi semua
yang berbadan. Jikalau hamba berganti agama, jelas akan membuat tak berguna
tujuan moksha hamba kelak. Yang mengaku paling mulia itu hanya orang Arab saja
dan diikuti oleh orang Islam semua. Memuji dan meninggikan kelompoknya sendiri.
Menurut hamba lebih baik tidak usah mengurusi (menghakimi) tetangga (agama
lain). Perbuatan semacam itu (suka menghakimi agama lain) hanya akan menunjukkan
rendahnya pemahaman diri. Saya tetap menyukai agama lama, tetap suka menyebut
Tuhan dengan nama Dewa Yang Maha Lebih!”
Semesta ini adalah perwujudan dari Dewa yang
mempunyai sifat Maha Sadar dan Maha Berkehendak. Sudah menjadi kewajiban
manusia agar senantiasa berpegang pada Kewaspadaan diri dan Kesadaran diri
untuk terus dapat mengamati keinginan-keinginan (liar) diri sendiri supaya
tidak sia-sia dalam menjalani kehidupan. Apabila paduka memilih menyebut Nabi
Muhammad Rasulullah, (maka mohon dengarkan) , seperti yang sudah dikatakan oleh
Sunan Kalijaga bahwa sesungguhnya Muhammad itu adalah Roh yang bagaikan makam,
makam dari segala gejolak batin manusia yang buruk. Gejolak batin yang liar dan
seringkali kita agung-agungkan. Bisa juga disimbolkan sebagai kuburan, kuburan
dari segala kenikmatan ragawi, rasa kenikmatan raga yang berasal dari unsur
tanah ini. (Muhammad atau Roh disimbolkan sebagai ) Kuburan dari segala sifat
badani, sifat yang hanya ingin menikmati makanan (kenikmatan) yang enak-enak, dan
sifat yang tidak merenungkan bagaimana keberadaan diri nanti pada akhirnya
(jika sudah meninggal).
Benarlah jikalau Muhamad (Roh) adalah makam kubur
dari segala macam kecenderungan liar manusia. Muhammad juga (bisa dilambangkan)
sebagai Roh Idhofi, maksudnya Ruh yang dilapisi oleh segala kecenderungan
negatif. Kecenderungan negatif yang suatu saat akan sirna kembali ke asalnya
lagi (maksudnya selain bisa dianalogikan sebagai kubur/makam segala gejolak
batin manusia, Muhammad/Roh juga bisa dianalogikan sebuah kesucian yang
terlapisi kekotoran : DS). (Jadi apa yang dijelaskan Sunan Kalijaga sebenarnya
sama saja dengan ajaran Buda tentang Atma atau Badan Sejati), Sekarang saya
bertanya, paduka Prabhu Brawijaya memilih untuk meyakini/menganut yang mana?
(Dengarkanlah lagi, oh paduka), Adam dan Hyang Brahim (Ibrahim ~ Adam leluhur
manusia, Ibrahim leluhur orang Arab dan orang Israel) sama-sama ‘kebrahen’
(berkeinginan besar untuk memiliki keturunan banyak) saat mereka berdua masih
hidup dulu. Merekalah yang memperbanyak makhluk-makhluk fana, makhluk fana yang
sulit menemukan ‘kesejatian’ rasa, makhluk-makhluk fana yang hanya cenderung
terjebak rasa badani belaka. Makhluk fana yang disebut Muhammadun yaitu Ruh
yang terlapisi kekotoran duniawi, Ruh yang menjadi kuburan dari segala macam
gejolak batin yang liar. Ruh yang menurunkan Kesadaran kecil dan mewujud dalam
bentuk manusia yang memiliki segala rasa ini. (Bukankah sama juga dengan kisah
Manu leluhur manusia sesuai ajaran Buda?). Manakala kelak diambil kembali segala
yang fana ini (yaitu badan halus yang memiliki kecenderungan liar dan badan
kasar yang suka menikmati kenikmatan inderawi) oleh Yang Maha Kuasa, diri
paduka yang berwujud manusia akan tinggal wujud JADI (maksudnya wujud
Sejati/Ruh/Atma). Itulah wujud kita pribadi (yang sejati). Untuk bisa terlepas
dari badan halus dan badan kasar, harus dengan lantaran menjauhi segala
kecenderungan buruk.
Ayah dan Ibu tidak membuat wujud Sejati ini,
makanya dinamakan ‘anak’ (anak ~ ana anane dhewek : ada dengan sendirinya S), mewujud dengan
sendirinya, menjadi dari sesuatu yang gaib dan samar, atas kehendak
Lattawalhuzza (penyebutan nama ini demi menyindir Sunan Kalijaga, dimana umat
Islam sangat membenci Lattawalhuzza. Sabda Palon sengaja menghindari penyebutan
Hyang Widdhi atau Brahman. Lattawalhuzza adalah nama berhala yang disembah
orang Arab sebelum Islam muncul dan dianggap memiliki saham dalam penciptaan manusia.
Maksud Sabda Palon sebenarnya, atas kehendak Yang Tak Tergambarkan, diri kita
adalah percikan dari Yang Tergambarkan tersebut : DS). Dia-lah yang meliputi
segala wujud ini. Dan seluruh wujud ini semua sebenarnya adalah wujud-Nya juga.
Kelak segalanya akan sirna dan kembali ditarik kepada wujud-Nya, (sesunguhnya
kita ini tak ada) lantas yang paduka miliki hanya perasaan bahwa diri ini ‘ada’
dan berwujud sendiri diluar wujud-Nya, itulah pemahaman keliru yang kita bawa
kemana-mana. Jika memiliki ketetapan hati yang keliru sedemikian itu, maka pada
saat kematian tiba, akan menjadi Roh penasaran (demit) yang berkeliaran diatas
tanah, menunggui jasadnya sendiri yang sudah busuk terkubur, sungguh sia-sia.
Itulah salah satu akibat kurangnya Kesadaran dan wawasan dari sang Roh. Saat
hidup dulu belum sempat memakan buah pohon Pengetahuan dan buah pohon
Kesadaran, sama saja memasrahkan diri kelak jika meninggal untuk lahir manjadi
setan (Roh Penasaran).
Memakan tanah atau mengharap-harap manusia lain
memberikan sesajian dan mengharapkan upacara selamatan untuk kematiannya
(karena hanya sesajian dan doa waktu upacara selamatan yang dilakukan
keluarganya saja yang bisa memuaskan dahaga sang Roh penasaranh tersebut : DS),
dan sebagai ucapan terima kasih, Roh semacam ini akan berusaha memenuhi
permintaan anak cucunya walau sesungguhnya malah membikin kesesatan bagi
mereka.
Manusia yang meninggal dunia, selamat atau
tidaknya tidak berdasarkan hukum Raja duniawi;. Sudah pasti suksma (badan
halus) berpisah dengan Buddhi (Kesadaran Roh). Jika perbuatannya dulu penuh
kebaikan, tentu akan mendapatkan kemuliaan, jika sebaliknya pasti akan
mendapatkan penderitaan (jadi bukan ditentukan oleh agama atau hukum dari
penguasa duniawi). (Maksud Sabda Palon, untuk memperoleh Kesejatian, harus
dimulai dengan pemahaman bahwa diri ini hanyalah perwujudan-Nya, kita ini tak
ada. Kemudian harus melakukan perbuatan yang baik selama hidup. Kesejatian
bukan didapat dari berpindah-pindah agama seperti itu : DS). Sekarang jawablah
jika telah meninggal anda hendak pergi kemana (sesuai ajaran yang baru anda
terima)?”
Sang Prabhu menjawab, “Kembali ke asal mulaku,
berasal dari Nur (Cahaya) akan kembali menuju Nur (Cahaya).” Sabda Palon
berkata lagi : “Itu pemahaman manusia bingung, hidupnya sia-sia, tidak memiliki
pemahaman akan kewaspadaan diri, belum pernah memakan buah pengetahuan dan buah
kesadaran, dari satu kembali menuju satu. Apa yang paduka sebutkan bukanlah
kematian yang utama. Kematian dari manusia utama bisa dilambangkan dengan
kalimat SATUS TELUNG PULUH (Seratus tiga puluh). Makna SATUS adalah PUTUS
(Melampaui), TELU adalah TILAS (Tanpa bekas), PULUH adalah PULIH (Pulih
kembali). Seluruh wujudnya rusak, akan tetapi yang rusak adalah yang melekati
Roh Idhafi. Hidupnya abadi, hanya jasad kasar beserta suksma (jasad halus) yang
terpisahkan dari kita. Inilah hakikat Sahadat tanpa Ashadu (Kesaksian tanpa ada
subyek maupun obyek yang dipersaksikan), wujud kita kembali menjadi bagian Roh
Idhafi. Bagaikan bulan yang tenggelam, tahu kemana tepat tenggelamnya yang
tepat. Demikian pula kita manusia harus tahu asal mula tempat kita sebelum
menjadi manusia. Kata SURUP (Tengelam) mengandung makna SUMURUPA (Ketahuilah)
awal, pertengahan dan akhir kehidupan ini. Jadilah pengembara yang waspada,
jangan sampai salah saat memahami awal mula tempat kita dulu, awal mula pertama
kali meenjadi manusia yang membawa SIR (Keinginan) dan CIPTA (Pikiran) ini.”
Sang Prabhu berkata : “Pikiranku aku sandarkan
kepada manusia yang lebih/mulia.” Sabda Palon berkata : “Itu sikap dari seorang
manusia yang tersesat. Bagaikan benalu yang menempel pada pohon-pohon besar.
Tidak percaya pada diri sendiri. Mempercayai kemuliaan orang dan menurut apa
yang mereka katakan. Jika demikian halnya, paduka tak akan dapat menemukan
kematian yang utama. Hanya akan mendapatkan kematian nista. Semenjak hidup
sukanya menempel orang lain, mengikut, tidak mempercayai diri sendiri, kelak
jika meninggal-pun akan mengalami hal serupa, menjadi Roh yang kesana-menari
menempel, jika diusir lantas kebingungan, penasaran, menjadi Roh penasaran, dan
mencari tempat menempel lainnya!” Sang Prabhu berkata lagi : “Aku berasal dari
kosong akan kembali kekosongan. Saat aku belum menjadi, tidak ada apa-apa, jadi
kelak aku juga akan menuju kepada kosong tersebut!” Sabda Palon menjawab, “Itu
kematian manusia yang tersesat, tidak memakai iman dan ilmu (keyakinan dan
pengetahuan. Sabda Palon sengaja menunjukkan istilah-istilah Arab demi
menunjukkan bahwa dirinya juga memahami ajaran baru Sang Prabhu : Damar
Shashangja). Hidup hanya seperti binatang, hanya sekedar mencari makan dan
minum serta hanya sekedar menikmati tidur. Manusia yang demikian hanya menimbun
daging, sangat bodoh. Tidak usah mencari pengetahuan kesejatian, cukup meminum
air kencing saja sudah puas. Mereka menganggap kelak jika meninggal sirna juga
dirinya.” Sang Prabhu : “Aku akan menjaga pekuburan, menjaga jasadku yang sudah
luluh jadi debu!” Sabda Palon : “Itulah kematian manusia bodoh, menjadi setan
kuburan, menjaga daging dipekuburan, daging yang sudah luluh menjadi tanah.
Tidak memahami bahwa dirinya adalah Roh Idhafi. Itulah jawaban manusia bodoh,
maaf paduka!” Sang Prabhu menjawab lagi : “Aku akan moksha beserta ragaku!”
Sabda Palon tertawa, “Dalam ajaran agama Rasul tidak ada tuntunan meraih moksha.
Tidak ada tuntunan menarik jasad fisik, karena kebanyakan golongan mereka
terlalu memanjakan kulit daging (hukum agama semata). Dan lagi moksha beserta
raga itu tidak diajarkan dalam ajaran Buda. Manakala manusia mati dan tidak
meninggalkan jasad, berarti tidak bisa diyakinkan apakah dia memang sudah mati
atau hanya sekedar berpindah alam saja. Belum bisa dipastikan akan mewujud
menjadi Roh Idhafi murni, kebanyakan hanya akan berpindah alam kealam demit
(Jin).” Jawaban Sang Prabhu : “Aku tidak akan memilih tujuan, aku tak akan
berusaha, sudahlah terserah Yang Maha Kuasa saja!” Sabda Palon : “Paduka
melupakan sifat kemanusiaan paduka, apakah paduka lupa bahwa manusia dijadikan
sebagai titah yang mulia. Paduka telah meninggalkan keharusan sebagai manusia. Manusia
memiliki hak untuk memilih dan menolak. Lebih baik menjadi batu saja, jadi
tidak perlu mencari ilmu kemuliaan untuk meraih kesempurnan kematian!” Sang
Prabhu : “Aku berkehendak pulang ke akhirat, naik surga, menghadap kepada Yang
Maha Kuasa.”
Sando Palon menjawab : Akherat, surga, semua
sudah paduka bawa dalam diri paduka, telah paduka bawa kemanapun juga. Didalam
diri manusia ini sesungguhnya semua sudah ada, oleh karenanya diri manusia juga
disebut alam sahir (mikrokosmos) karena apa yang ada di alam kabir
(makrokosmos), juga ada didalam diri manusia. Sudah semenjak tapel Adam
(didalam kandungan usia 9 bulan), semua sudah lengkap : surga, neraka, arasy
kursi. Lantas paduka hendak pergi ke akherat yang mana? Jangan sampai tersesat,
lho? Padahal kondisi akherat (diluar diri manusia) itu mirip sekali dengan
kondisi manusia yang melarat. Banyak tingkatan akherat (yang ada diluar diri
manusia), segala akherat semacam itu sangat saya hindari, jangan sampai saya
pulang ketempat yang kondisinya bagaikan kondisi manusia melarat, jangan sampai
saya menuju akherat diluar diri yang konon disebut Negara yang adil (padahal
bukan). Jikalau sampai salah tempat, pasti akan mendapat hukuman, pasti akan
diikat, disuruh kerja paksa yang berat serta tidak mendapatkan bayaran. Salah
satu akherat yang sesat adalah akherat di pulau Srenggi, nusa artinya tempat
manusia, sreng artinya kerja berat dan enggi artinya kondisi.
Jadi disana, roh manusia dipaksa bekerja
untuk Raja Nusa Srenggi. Sungguh celaka. Sedangkan manusia yang hidup didunia
saja jikalau mengalami kondisi semacam itu, mengalami kondisi sekeluarga hanya
mendapatkan jatah beras sedikit, tanpa lauk, tanpa sayur, sudah demikian
menyedihkannya, apalagi akherat tempat manusia yang meninggal di nusa Srenggi,
malah lebih menyedihkan dari kodisi didunia. Paduka jangan mencari jalan pulang
ke akherat yang ada diluar diri, jangan mengharap-harapkan naik surga, itu
bukan tempat sejati, banyak hewan yang ada ditempat itu, semua hanya menerima
tidur dengan berselimut tanah, setiap hari harus menurut untuk bekerja paksa,
malah ada yang tidak salah lantas disembelih. Paduka jangan mencari jalan
pulang ke akherat tempat Gusti Allah, (itu bohong, sebab Gusti Allah tidak
bertempat), Gusti Allah itu tak ber-Wujud dan ber-Rupa, Wujud yang bisa
dikenali manusia hanya Nama-Nya saja, (Gusti Allah itu) meliputi dunia dan
akherat, paduka belum mengenal-Nya. Yang paduka kenali hanya perwujudan-Nya
serupa cahaya bintang atau serupa cahaya bulan, atau perwujudan-Nya bagaikan
dua cahaya bintang dan bulan yang menyatu. Gusti Allah itu tidak menyatu juga
tidak pisah dengan kita, sangat jauh tanpa batasan tetapi juga dekat namun tak
bersentuhan dengan kita. Hamba saja belum bisa menguak inti-Nya, apalagi
paduka. Nabi Musa (yang diagung-agungkan orang Yahudi, Kristiani dan Islam
sebagai Nabi yang mampu berbicara langsung dengan Allah : Damar Shashangga)
saja tidak mampu melihat Wajah-Nya. Gusti Allah itu melampaui segala yang
terlihat tetapi Dzat-Nya menyelimuti segala perwujudan ini. Paduka ini adalah
manusia yang berasal dari benih Ruhani (percikan-Nya) jadi mengapa ingin
menjadi seperti Malaikat yang tinggal disurga segala? Raga manusia berasal dari
nutfah (air mani/sperma), jika sudah rusak akan terurai kembali kepada Hyang
Latawalhuzza (kembali Sabda Palon menggunakan istilah Lattawalhuzza). Jika raga
sudah tua, lebih baik meminta untuk mendapatkan raga baru (dan lahir menjadi
manusia lagi, bukan malah ingin hidup di surga), sehingga tidak bolak-balik
tertunda (perjalanan Punarbhawa/evolusi Ruh dalam wujud selain manusia)
walaupun memang harus tetap lahir dan mati. Yang dimaksud hidup sebagai makhluk
itu jika nafas terlihat masih ada, akan tetapi sesungguhnya yang disebut
HIDUP itu adalah Yang Abadi, Yang Stabil dan Yang Tak Berubah selamanya. Jadi yang
mati hanya raga semata. Raga hancur dan tidak lagi bisa merasakan kenikmatan.
Oleh karenanya bagi yang beragama Buda, manakala kematian menjelang, saat
suksma (dan Hidup/Atma) keluar dari raga, lebih baik meminta raga manusia yang
baru, kembali lahir melalui nutfah manusia (tidak malah mengharapkan lahir
dialam surga menjadi makhluk lain). Diri sejati manusia ini kekal, tidak
berubah dan stabil, yang berubah itu hanya tempat indriya/rasa (maksudnya
suksma dan raga), tubuh materi yang hanya bayangan dari Roh Idhafi (Atma/Hidup)
itu sendiri.
Sesungguhnya yang dinamakan Prabhu Brawijaya itu
tidak juga tua dan tidak juga muda, abadi berada dipusat semesta, berjalan tapi
tiada bergerak dari kedudukan semula, berada didalam goa sir (kehendak) dan
cipta (pikiran) yang hening (maksudnya diselimuti oleh sir/kehendak dan
cipta/pikiran : DS). Bawalah bawaanmu yang sesungguhnya (Kesadaran), bawaan
yang tanpa adanya Raga. Hilang segala tulisan. Seluruh perhitungan manakala
dijumlah menjadi Kumpul (Menyatu), keterpisahan dengan duniawi menjadikan
murni. Jalan kesempurnaan kematian, fokus pada detak jantung disebelah kiri
saat kematian menjelang, disanalah jalan sirnanya sir dan cipta (kehendak dan
pikiran), kembali menuju cetha (yang nyata ~ lambang KANG GAWE URIP/Atma),
cethik (yang membuat ~ lambang KANG NGURIPI/PURUSHA/Nur Muhammad/Nukat Gaib),
cethak (yang maha tinggi ~ lambang URIP/Brahman/Allah). Inilah kesempurnaan
ilmu orang Buda.
Terciptanya Roh mulai dari cethak (yang tinggi),
berhenti didalam cethik (yang membuat) keluar lewat kalamwadi (ucapan
rahasia/penis ~ atau cetha/yang nyata), hanyut dalam lautan cinta masuk kedalam
goa Indrakila wanita (Indra : Sarana merasakan sensasi ragawi, Kila/Kukila :
Burung ~ Tempat merasakan sensasi penis ~ Goa Indrakila artinya Vagina : DS),
jatuhnya nikmat didasar bumi kasih, disana Ki Budi (Kesadaran Roh) menciptakan
istana Baitullah (Rumah Tuhan ~ yaitu suksma dan raga manusia) yang mulia.
Tercipta dari sabda KUN (Jadi) dan berdiam ditengah semesta disurga orang tua
wanita. Oleh karenanya manusia seyogyanya tetap berdiam ditengah semseta
(maksudnya stabil Kesadarannya). Jagad manusia itu dilekati apa yang disebut
goa sir (kehendak) dan cipta (pikiran), dibawa kemana-mana tiada juga berkurang
dan usia manusia sudah ditentukan oleh karma, tidak bisa berubah, sudah
tertulis didalam Laukhil Makfudz (Kitab Nasib. Kitab Nasib sesungguhnya adalah
Alam Semesta yang merekam segala perbuatan kita : DS). Keberuntungan dan
Kecelakaan tergantung pada Budi (Kesadaran), Nalar (Pertimbangan) dan Kawruh
(Wawasan) kita sendiri. Yang kurang berusaha (menimbun kebaikan), bakalan
kurang pula Keberuntungannya.
Awal mula arah mata angin, dihitung dari arah
timur lantas barat, selatan dan utara. Wetan (Timur) lambang : Wiwitan manusa
maujud (awal mula manusia mewujud), Kulon (Barat) lambang : Lelaki berhasrat
untuk bercinta (Kelonan), Kidul (Selatan) lambang : Wanita disogok bagian
selangkangannya tepat ditengah (Didudul), Lor (Utara) lambang : Jabang bayi
lahir (Lair). Dilambangkan lagi TANGGAL SAPISAN KAPURNAMAN, SENTEG SAPISAN
TENUNAN SAMPUN NIGASI (KELUAR SEKALI SUDAH PURNAMA, SEKALI HENTAK TENUNAN KAIN
SUDAH MENJADI ~ Maksudnya mengambarkan penciptaan manusia dalam sebuah
persenggamaan. Sekali memancarnya sperma kedalam rahim, sudah cukup membuat seluruh
wadah bagi Roh mulai tercipta : DS) Pur artinya Kumpul/Menyatu, Na
artinya Adanya wujud, Ma artinya Terikat oleh wujud. Yang dimaksud Kumpul
artinya begitu memancar sperma semua lengkap menyatu, yaitu menyatunya segala
materi fisik dan materi non fisik. Keluarnya/Lahirnya manusia melalui
orang tua perempuan, bersamaan keluarnya saudara yang bernama Kakang Mbarep
(Kakang Kawah) dan Adhine Wuragil (Adhi Ari-Ari). Kakang Mbarep tak lain adalah
Kawah (Ketuban) sedangkan Adine Wuragil tak lain adalah Ari-Ari (Usus terakhir
yang menempel dipusar/tali pusar). Keduanya muncul pertama dan terakhir kali
(Ketuban pecah dulu, baru keluar Darah, kemudian Jabang Bayi, lantas Plasenta
dan terakhir Tali Pusar atau Ari-Ari : DS). Ketahuilah sang paduka, saudara kita
yang keluar bersamaan dengan kita, senantiasa menjaga kita bagaikan matahari
yang terus bersinar, berwujud cahaya, membantu Kesadaran, mampu menyertai
Kesadaran untuk hidup didunia yang penuh beraneka warna perwujudan ini, saat
keluar dan saat peleburan mereka seyogyanya diketahui, inilah pengetahuan orang
Jawa yang beragama Buda. Raga ini diibaratkan perahu, sedangkan suksma (badan
halus/sadulur papat tadi) ibarat manusia yang mengendalikan perahu, yang
menentukan arah hendak kemana, jikalau laju perahu salah arah, pasti akan
menemui kecelakaan, perahu pecah, yang menaiki akhirnya juga hancur.
Oleh karenanya harus waspada dan penuh kesadaran,
mumpung perahu masih berfungsi, manakala tidak waspada dan penuh kesadaran pada
saat hidup ini, mana mungkin bisa waspada dan sadar jika sudah meninggal nanti.
Sadar untuk mencari asal usul manusia. Manakala telah rusak/mati, seharusnya
suksma juga berpisah dengan Kesadaran Roh. Inilah yang dinamakah Sahadat,
pisahnya Kawula dengan Gusti. Sah bisa dimaknai Pisah, Dat bisa dimaknai Dzat
Gusti. Jikalau Raga dan Suksma telah berpisah (namun Suksma dengan
Bud/Kesadarani/Atma, belum mampu berpisah) maka Kesadaran Roh akan berganti
Baitullah (Rumah Tuhan atau Badan fisik baru ~ Punarjanma/Reinkarnasi). Kembali
hidup dengan bertalikan nafas dan wajib terus memuji kebesaran Gusti (agar
selamat dalam penjelmaan baru itu). Manakala Raga berpisah dengan Suksma dan
Suksma berpisah dengan Budi (Kesadaran Roh), maka akan menjelma kepada yang
tidak berwujud apapun, menyatu, menjadi maha besar, dan tiada akan redup
cahayanya untuk selamanya. Oleh karenanya harus senantiasa waspada, senantiasa
ingat akan asal usul Kawula. Seorang Kawula juga wajib meminta kepada Gusti,
meminta Baitullah (Rumah Tuhan/Badan manusia) yang baru dan yang lebih baik,
melebihi yang sudah rusak. Raga manusia inilah Baitullah, atau juga bisa
diibaratkan Perahu buatan Allah, menjadi dari sabda KUN. Namun, Perahu manusia
Jawa mampu berganti dengan Perahu yang baru (Reinkarnasi). Sedangkan orang
Islam tidak meyakini bisa mendapat Perahu baru, jikalau sudah meninggal nanti,
maka mereka yakin tidak akan menjelma kealam dunia lagi, tak ada manusia yang
menjelma kembali, menurut mereka jika manusia bisa menjelma, dunia akan terus
bertambah dan akan penuh sesak. Kehidupan menurut mereka hanya sekedar menjadi
muda, tua dan mati saja. Ketahuilah paduka, walaupun Roh manusia, manakala
sesat perbuatannya, kelak jika meninggal akan menjelma menjadi kuwuk (binatang
laut), akan tetapi Roh hewan, bisa menjelma menjadi manusia. Semua sudah
tertata dalam hukum keadilan Yang Maha Kuasa, setiap makhluk akan mendapatkan
hasil perbuatan dari apa yang dilakukannya.
Dikala Bathara Wishnu menjelma menjadi Raja di
Kerajaan Medhang Kasapta dulu, seluruh hewan dan makhluk halus dibantu menjelma
menjadi manusia, semua lantas dijadikan bala tentara Sang Raja. Kala Eyang
paduka Rsi Palasara membangun kerajaan di Gajahoya, seluruh binatang dan
makhluk halus juga dibantu menjelma menjadi manusia, oleh karenanya waktu itu
bau badan tiap manusia berbeda-beda, sesuai bau badan saat masih berwujud hewan
atau makhluk halus sebelumnya.
Tersebut dalam Serat Tapak Hyang, yang juga
disebut dengan Sastrajendrayuningrat, Serat yang tercipta dari Sabda Kun
(maksudnya berasal dari wahyu juga), yang dinamakan JITHOK (KUDUK MANUSIA)
sesungguhnya bermakna pu-JI THOK (Hanya Pujian semata). Dewa Yang Agung, yang
telah menciptakan cahaya menyala yang menyelimuti sekujur tubuh manusia
sesungguhnya ada dekat, sedekat dengan kuduk manusia. (Kuduk manusia sangat
dekat, namun sulit manusia melihat kuduknya sendiri kalau tidak bercermin).
JILING (KENING) sesungguhnya bermakna pu-JI e-LING (Memuji dan Ingat) kepada
Gusti. PUNUK (BAHU) sesungguhnya bermakna PANAKNA (TEMPATKANLAH ~ maksudnya
Tempatkanlah Kesadaran kamu pada posisi yang sesungguhnya). TIMBANGAN (TULANG
BAHU YANG MENONJOL) sesungguhnya bermakna SALANG (Terhubung ~ maksudnya
Terhubung dengan Gusti). PUNDHAK (PUNDAK) sesungguhnya bermakna PANDUK
(Mencari), hidup dialam dunia ini hanya mencari dua hal, Buah Pengetahuan dan
Buah Kuldi (Keduniawian), jika mendapatkan banyak Buah Kuldi, hasilnya akan
gemuk, jika mendapatkan Buah Pengetahuan yang banyak, bisa dibuat bekal untuk
hidup, HIDUP YANG KEKAL ABADI YANG TIDAK TERKENA MATI. TEPAK (DADA)
sesungguhnya bermakna TEPA TAPANIRA (Tetapkan Tapa-mu). WALIKAT (BELIKAT)
sesungguhnya bermakna WALIKANE GESANG (Dibalik Hidup). ULA-ULA (TULANG BELAKANG
MANUSIA) sesungguhnya bermakna ULATANA (Perhatikanlah dengan seksama), amatilah
punggungmu dengan seksama (maksudnya amatilah sesuatu yang dekat denganmu tapi
sulit untuk dilihat secara langsung seperti halnya punggung kita). SUNGSUM
(SUMSUM TULANG) sesungguhnya bermakna SUNGSUNGEN (Persembahkanlah ~ maksudnya,
Persembahkanlah kehidupanmu bagi Gusti). LAMBUNG sesungguhnya bermakna, Dewa
Yang Maha Agung yang menciptakan alam ini secara bersambungan, bersambungan
antara INGAT-LUPA, HIDUP-MATI (maksudnya Rwabhineda atau Dualitas duniawi).
LEMPENG (BAGIAN PINGGIR PERUT) kiri dan kanan, maksudnya Kuatkan tekad dan
LEMPENG (LURUS)-kanlah tekadmu lahir batin, luruskanlah agar bisa
membedakan mana benar dan mana salah, mana baik dan mana buruk. MATA maksudnya
lihatlah semuanya ini dengan kesatuan batin yang utuh, lihatlah kiblat yang
benar, banyak kiblat namun yang benar hanyalah satu saja. TENGEN (KANAN)
maksudnya TENGENEN (Benar-benar utamakan) hingga jelas dan terang, bahwasanya
didunia ini hanya sekedar memakai Raga fana semata, Raga yang tidak susah-susah
membuat sendiri dan tidak juga beli. KIWA (KIRI) maksudnya Raga ini berisi HAWA
keinginan, dan sulit untuk dimatikan segala keinginan tersebut. Begitulah apa
yang tertulis dalam Serat.
Manakala paduka meragukan siapakah yang membuat
Raga? Siapakah yang telah memberikan nama? Sesungguhnya tak lain hanya Lata wal
Huzza (sekali lagi Sabda Palon memakai istilah Tuhan dengan nama Latta wal
Huzza). Manakala paduka tetap meragukan, jelas paduka bisa disebut kafir,
kapiran (sia-sia) kelak jika paduka meninggal. Tidak mempercayai tulisan Gusti
(yang ada didalam tubuh paduka sendiri), serta telah murtad kepada para leluhur
Jawa semua. Kelak saat mati, Roh paduka akan menempel pada besi (pusaka), kayu,
batu, menjadi demit yang menjaga tanah. Itu akan terjadi jika paduka tidak bisa
membaca serat/wahyu yang ada didalam tubuh paduka sendiri, jelas kelak jika
meninggal akan menjelma/lahir kembali menjadi kuwuk (binatang laut). Akan
tetapi jika mampu membaca sastra yang tertulis didalam tubuh paduka, berasalnya
manusia akan lahir kembali menjadi manusia. (Sungguh kelahiran kembali ini juga
diceritakan dalam ajaran Timur Tengah), salah satu contohnya konon dulu saat
Kangjeng Nabi Musa hidup, ada orang yang telah meninggal dan telah berada
didalam kuburan, bisa hidup kembali, hidupnya bahkan bisa berganti menjadi Roh
yang murni, bahkan bisa mencapai kedudukan (evolusi jiwa) yang baru.
Jika paduka memeluk agama Islam, seluruh
masyarakat Jawa pasti akan ikut memeluk agama Islam semua. Kalau hamba ini,
Badan Kasar berikut Badan Halus hamba sudah hamba gengam dan hamba kuasai,
sudah mampu hamba jadikan satu, tak ada beda mana yang disebut dalam dan mana
yang disebut luar lagi. Jadi hanya sesuai dengan keinginan hamba semata,
menghilang dalam wujud gaib (berbadan halus) maupun mewujud (berbadan kasar
seperti sekarang) bisa hamba lakukan seketika dan kapanpun juga. Jika hamba
tengah berkeinginan mewujud, inilah wujud yang hamba pilih. Jikalau hamba
berkeinginan untuk berwujud gaib, bisa terjadi seketika, jikalau hamba
berkeinginan untuk berwujud wadag, bisa terlihat seketika juga. Raga hamba ini
sudah bersifat Illahi, seluruh Raga hamba ini satu persatu memiliki nama
sendiri-sendiri. Silakan ditunjuk, mana yang disebut Sabda Palon, sudah hamba
halangi dengan wujud ragawi. Begitu mewujudnya hingga tidak bisa diketahui lagi
mana sesungguhnya Sabda Palon. Hanya nama yang bisa dikenali. Sabda Palon
sesungguhnya tidak tua juga tidak muda, tidak mati juga tidak hidup, hidupnya
meliputi matinya dan matinya meliputi hidupnya, abadi selama-lamanya.”
Sang Prabhu bertanya :”Dimanakah Tuhan Yang
Sejati?”
Sabda Palon menjawab: “Tiada jauh juga tiada
dekat, paduka adalah perwujudan-Nya, dinyatakan telah menyatu, Budi
(Kesadaran), Hawa (Keinginan) dan Badan (Jasad Fisik), ketiganya adalah
sarana-Nya mewujud. Tiada terpisah, akan tetapi tidak juga menyatu.
Sesungguhnya paduka adalah Raja Yang Utama, pastilah akan memahami apa yang
hamba ucapkan!”Sabda Palon menjawab sedih : “Hamba menuruti aturan agama yang
lama, kepada agama yang baru hamba tidak menuruti. Apa sebabnya paduka
memutuskan berpindah agama akan tetapi tidak meminta pertimbangan kepada hamba?
Apakah paduka lupa akan arti nama hamba Sabda Palon? Sabda artinya Ucapan,
Palon : artinya Ketetapan. Naya artinya Wajah, Genggong : Langgeng tak berubah.
Jadi ucapan hamba ini, adalah ketetapan bagi wajah/bentuk dari tanah Jawa,
langgeng selamanya!”Sang Prabhu berkata : “Bagaimana ini, aku sudah terlanjur
memeluk agama Islam, sudah disaksikan oleh Sahid, aku tidak boleh kembali
memeluk agama Buda lagi. Akan memalukan dan ditertawakan bumi serta langit
(jika aku tidak konsekwen)!”
Sabda Palon berkata : “Sudah terlanjur, silakan
paduka jalani sendiri, hamba tidak ikut-ikut.”
Sunan Kalijaga lantas berkata kepada Sang Prabhu,
yang isinya menyarankan agar tidak perlu berfikir macam-macam, sebab agama
Islam itu adalah agama yang mulia. Sunan Kalijaga memohon ijin untuk menjadikan
air didalam danau sebagai tanda bukti, bagaimanakah nanti baunya. Jika air
danau nantinya bisa berbau wangi, itu berarti Sang Prabhu sudah mantap memeluk
agama Rasul. Sunan Kalijaga lantas menyabda air danau dan seketika berbau wangi
dan harum. Sunan Kalijaga berkata kepada Sang Prabhu, sebagaimana sudah
terbukti, jikalau Sang Prabhu nyata telah mantap memeluk agama Rasul, tandanya
air danau berbau harum.
Berkata Sabda Palon kepada Sang Prabhu : “Ini
hanya kesaktian belaka. Kesaktian kecil yang hanya seimbang dengan air kencing
hamba. Kesaktian seperti ini dipamerkan didepan hamba. Jikalau saya imbangi,
sama saja sama melawan air kencing hamba sendiri, apa yang hendak saya
perebutkan? Paduka sudah terlanjur terkecoh, sudah berkehendak menjadi manusia
yang sekedar menumpang, tidak memiliki ketetapan hati, sukanya hanya
ikut-ikutan. Sungguh tiada guna hamba momong paduka selama ini, hamba malu
kepada bumi dan langit, telah momong manusia bodoh, HAMBA HENDAK MENCARI
MOMONGAN LAIN YANG HANYA BERMATA SATU, hamba sudah tidak akan momong paduka
lagi. Jikalau hamba mau, air danau ini akan hamba jadikan minyak wangi dengan
lantaran kentut hamba saja. Ketahuilah, yang disebut MANIKMAYA oleh masyarakat
Jawa itu tak lain adalah hamba ini! Yang menciptakan kawah diatas gunung
Mahameru dulu adalah hamba. Adi Guru (Bathara Shiwa) yang memberikan ijin-Nya.
Pada waktu itu tanah dipulau Jawa masih belum stabil. Didalam tanah mengeram
api yang siap keluar setiap saat. Oleh karenanya, hamba kentuti setiap puncak
gunung agar supaya api tersebut bisa mengalir dari sana saja. Oleh karenanya,
tanah Jawa lantas menjadi stabil dan banyak gunung di Jawa yang aktif memiliki
kawah berapi, berisi air panas dan air tawar. Hamba yang membuat sedemikian itu
dulu. Semua atas kehendak Lata wal Huzza, yang telah menciptakan bumi dan
langit. Apa kurangnya agama Buda? Setiap pemeluknya bisa memohon sendiri kepada
Yang Maha Kuasa. Percayalah, jikalau paduka berganti agama Islam, meninggalkan
agama Buda, keturunan paduka akan senantiasa dalam kesusahan, Jawa hanya
tinggal nama, Jawa-nya hilang dan sukanya akan mengikut bangsa lain. Tapi kelak
suatu saat akan diperintah oleh orang Jawa yang memahami (ajaran leluhur
lagi)!”
“Silakan paduka buktikan, kelak sebelum menjelang
purnama jarang diikuti tampaknya bulan mulai tanggal pertama, biji padi banyak
yang susah tumbuh, ditolak oleh para Dewa, dipaksa untuk ditanampun akan tumbuh
menghasilkan biji Mriyi (padi kecil), hanya bisa dibuat makanan burung. Mriyi
itu padi yang tidak enak rasanya, hal ini dikarenakan paduka telah berbuat
kurang tepat, mengikut menyembah batu. Buktikanlah, kelak tanah Jawa berubah
hawa-nya, terasa lebih panas dan kurang hujan, berkurang hasil pertanian,
banyak manusia yang suka berbohong, suka berbuat nista dan mudah mengucap
janji. Hujan tiba tapi salah waktu, membuat kebingungan para petani. Mulai hari
ini, hujan akan berkurang, sebab merupakan hukuman bagi manusia Jawa yang
berani berpindah keyakinan. Kelak jika sudah kembali Kesadaran-nya, sudah ingat
kepada agama Buda lagi, serta manusia Jawa sudah gemar mencari buah Pengetahuan
lagi, Tuhan akan memberikan ampunan, suasana Jawa akan makmur tenteram kembali
seperti jaman Buda lagi!”
Mendengar ucapan Sabda Palon, Sang Prabhu dalam
hati merasa menyesal telah berpindah agama. Hingga lama tak bersuara, lantas
berkata, mengapa dirinya tertarik kepada agama Islam karena terpikat ucapan
putri Champa, yang mengatakan bahwasanya kelak manusia yang memeluk agama Islam
jika meninggal akan mendapatkan surga yang melebihi surga orang kafir.
Sabda Palon menjawab, sudah semenjak dahulu, jika
suami terlalu menuruti istri, pasti akan menemukan kesengsaraan. Karena wanita
ibaratnya adalah tempat rasa (penuh emosi), jarang yang bisa menggunakan
penalaran tanpa terbalut emosinya, Sabda Palon menasehati banyak hal kepada
Sang Prabhu.
Sang Prabhu berkata :”Kamu nasehati bagaimanapun
juga sudah tiada guna lagi, semua terlanjur. Sekarang, sekali lagi aku hendak
menanyakan ketetapan hatimu. Diriku sudah terlanjur masuk agama Islam dan telah
disaksikan oleh si Sahid, sudah tidak mungkin lagi kembali ke Buda lagi.”
Sabda Palon mengatakan hendak berpisah. Manakala
ditanya hendak pergi kemana, menjawab tidak hendak pergi jauh tapi sudah tidak
bertempat di Jawa lagi. Karena bagaimanapun untuk memegang tugasnya sebagai
Semar, tetap juga akan meliputi Jawa walau tiada terlihat nyata. Sang Prabhu
diberikan janji, JIKA KELAK ADA MANUSIA JAWA BERNAMA TUA, BERSENJATAKAN KAWRUH
(PENGETAHUAN KESADARAN) DIALAH YANG DI MOMONG SABDA PALON, MANUSIA JAWA YANG
SUDAH KEHILANGAN JAWANYA AKAN DIAJARI AJARAN BENAR DAN SALAH LAGI!
Sang Prabhu berkehendak ingin merangkul Sanda
Palon dan Naya Genggong, akan tetapi keduanya sirna seketika itu juga. Sang
Prabhu terkejut dan tak terasa keluarlah buliran air bening dari matanya,
lantas kemudian berkata kepada Sunan Kalijaga : “Kelak dikemudian hari, negara
Blambangan akan berganti nama Banyuwangi. Akan menjadi pengingat bahwasanya
kelak Sabda Palon akan pulang ke Jawa sembari membawa momongannya. Sekarang dia
ada ditanah seberang!” Sunan Kalijaga lantas disuruh mengamati air danau,
jikalau bau wangi akibat disabdakan oleh Sunan Kalijaga tadi hilang , maka itu
pertanda, kelak orang Jawa akan meninggalkan agama Islam dan berganti agama
Kawruh (Pengetahuan).
Sunan Kalijaga lantas membuat bumbungan dari
bambu dua buah, yang satu diisi air tawar dan yang satu diisi air danau. Air
danau nanti akan dijadikan pertanda, jikalau bau wanginya hilang, maka orang
Jawa kelak akan berpindah agama Kawruh (Pengetahuan). Bumbungan setelah diisi
air, lantas ditutup menggunakan daun Pandhan Sili, lantas dibawa oleh dua orang
murid Sunan Kalijaga.
Sang Prabhu berikut rombongan lantas berangkat
diikuti oleh Sunan Kalijaga dan muridnya. Perjalanan terhalang malam, lantas
bermalam di daerah Sumberwaru. Waktu pagi bumbungan dibuka, air dicium masih
berbau wangi, perjalanan lantas dilanjutkan. Sore menjelang, telah sampai di
Panarukan, Sang Prabhu berikut rombongan bermalam disana. Pagi harinya, air
didalam bumbungan dibaui masih wangi, Sang Prabhu lantas melanjutkan
perjalanannya.
Saat sore menjelang, sampailah di daerah Besuki.
Sang Prabhu beserta rombongan bermalam disana. Keesokan paginya, bumbungan air
dibuka lantas dicium, baunya malah semakin bertambah wangi. Sang Prabhu
melanjutkan perjalanan hingga matahari hampir tenggelam diufuk barat dan sampai
didaerah Prabalingga (Probolinggo). Disana Sang Prabhu beserta rombongan
bermalam, keesokan paginya air diperiksa kembali. Air tawar dalam bumbungan
yang satu masih terasa segar untuk diminum, namun nampak berbusa. Dan
busanya-pun berbau harum. Air tawar dalam bumbungan tersebut hanya tinggal
sedikit, karena kerap kali diminum disepanjang perjalanan. Akan tetapi
bumbungan yang berisi air danau, manakala diperiksa airnya berubah berbau tidak
enak sama sekali. Mendapati perubahan itu, air danau dalam bumbungan seketika
langsung dibuang. Sang Prabhu lantas berkata kepasa Sunan Kalijaga : “Didaerah
Prabalingga (Probolinggo) ini kelak akan dikenal dengan dua nama, yaitu
Prabalingga (Probolinggo) dan Bangerwarih. Tempat ini kelak akan menjadi tempat
berkumpulnya manusia-manusia yang suka mencari ilmu kepintaran dan ilmu
kebatinan. Kata Prabalingga bisa diartikan pula ‘PRABA-wane wong Jawa
ka-LING-an prabawane tang-GA’ (Kharisma manusia-manusia Jawa terhalang oleh
kharisma yang berasal dari tetangga diseberang).” Sang Prabhu beserta rombongan
lantas melanjutkan perjalanannya. Tujuh hari kemudian telah sampai di
Ampelgadhing (Ampeldhenta ~Surabaya). Nyai Ageng Ampelgadhing segera menyambut
kedatangan Sang Prabhu. Nyai Ampelgadhing lantas memberikan sembah bakti
sembari meratapi segala hal yang telah terjadi.
Sang Prabhu lantas berkata : “Sudahlah jangan
menangis, ngger (anakku), anggaplah semua ini adalah kehendak Yang Maha Kuasa.
Diriku dan kamu hanya sekedar menjalani, semua hal yang telah terjadi sudah
tertulis didalam Lokhilmakpul (Laukhil Makhfudz) sebelumnya. Keberuntungan dan
celaka sungguh tidak bisa dihindari. Sudah kewajiban manusia untuk melakukan
usaha.”
Nyi Ageng Ampel lantas menuturkan kepada Sang
Prabhu tentang kelakuan Prabhu Jimbun seperti yang sudah diterangkan didepan.
Sang Prabhu lantas memerintahkan agar memanggil Prabhu Jimbun. Nyi Ampel lantas
mengirimkan utusan ke Demak sembari membawasuratundangan. Sesampainya di
Demak,suratsegera dihaturkan kepada Sang Prabhu Jimbun. Tidak menunggu waktu
lama Prabhu Jimbun segera berangkat menghadap ke Ampel.
Tersebutlah putra Raja Majapahit, yang bernama
Raden Bondhan Kajawan yang tinggal di Tarub. Dia mendengar kabar jikalau
Majapahit telah dijebol oleh Adipati Demak. Sang Prabhu konon berhasil lolos
dari dalam istanadan tidak diketahui lagi kemana perginya. (Raden Bondhan
Kajawan) merasa tidak tenang hatinya, lantas berangkat ke Majapahit.
Disepanjang perjalanan, Raden Bondhan Kajawan senantiasa bertanya dan
mencari-cari kabar dimanakah kira-kira Prabhu Brawijaya sekarang berada.
Sesampainya di Surabaya, mendapat berita bahwasanya ayahanda Prabhu tengah
berada di Ampel, akan tetapi jatuh sakit. Raden Bondhan Kajawan lantas
menghadap dan memberikan sembah baktinya.
Sang Prabhu bertanya : “Yang memberikan sembah
ini siapa?”
Raden Bondhan Kajawan menjawab bahwasanya
dirinyalah yang tengah menghadap.
Sang Prabhu lantas merangkul putranya. Sakit Sang
Prabhu semakin parah, merasa kalau dirinya sudah dekat hendak berpulang ke
jaman keabadian, Sang Prabhu berpesan kepada Sunan Kalijaga : “Sahid,
mendekatlah kemari. Diriku sudah merasa hendak berpulang ke jaman keabadian.
Tulislahsuratuntuk dikirimkan ke Penging dan Pranaraga (Ponorogo). Nanti akan aku
bubuhkan tanda tangan disana. Tulislah bahwasanya agar mereka menerima
kehancuran Majapahit, jangan saling berebut tahta, semua ini sudah menjadi
kehendak Yang Maha Suci. Jangan saling memerangi, hanya akan membuat kerusakan
semata. Sayangkanlah kerusakan dan kerugian yang akan diderita oleh para
pengikut. Menghadaplah ke Demak. Sepeninggalku, agar supaya rukun dengan
saudara. Siapa saja yang memulai membuat kejahatan, aku benar-benar memohon
kepada Yang Maha Kuasa, agar kalah perangnya!”
Sunan Kalijaga lantas menulissuratseperti yang
diperintahkan, setelahsuratselesai ditulis, kemudian diberi tanda tangan oleh
Sang Prabhu.Suratdikirimkan ke Pengging dan Pranaraga (Ponorogo).
Sang Prabhu lantas berkata : “Sahid,
sepeninggalku dirimu harus bisa momong anak cucuku. Terutama aku titipkan anak
ini. Momonglah hingga seluruh keturunannya. Jika memang nanti ada keberuntungan
bagi dirinya, kelak anak inilah yang akan menurunkan ‘LAJERE TANAH JAWA’
(Tokoh-tokoh kuat di Tanah Jawa sesudah Majapahit). Dan lagi pesanku kepada
kamu, jikalau nanti aku sudah berpulang ke jaman keabadian, makamkan aku di
Majapahit, buatkanlah aku makam di sebelah utara timur kolam segaran. Namailah
makamku Sastrawulan. Dan sebarkanlah berita bahwasanya yang dimakamkan disitu
adalah istriku Putri Champa. Pesanku lagi, bagi keturunanku kelak jangan sampai
menikahi orang berbeda bangsa, dan juga jangan mempercayakan jabatan senopati
kepada lain bangsa.”
Sunan Kalijaga setelah mendapatkan pesan semacam
itu lantas bertanya : “Apakah Sang Prabhu tidak memberikan restu kepada putra
paduka Prabhu Jimbun untuk bertahta sebagai Raja ditanah Jawa ini?”
Sang Prabhu menjawab : “Aku memberikan restu,
akan tetapi restuku hanya berhenti sampai pada keturunannya yang ketiga!”
Sunan Kalijaga meminta penjelasan mengapakah
makam sang Prabhu kelak harus diberinama Sastrawulan.
Sang Prabhu menjawab : “Sastra maksudnya adalah
Tulisan, Wulan artinya pelita dunia, ini melambangkan keutamaanku hanya seperti
cahaya bulan (tidak stabil seperti matahari). Jikalau masih ada cahaya bulan,
kelak, biar semua orang Jawa tahu bahwa saat aku meningal dunia, diriku telah
memeluk agama Islam. Dan aku meminta padamu agar kelak dikabarkan bahwa yang
dimakamkan disana adalah Putri Champa, bukan diriku, sebab diriku telah
dianggap bagaikan seorang wanita (disepelekan) oleh si Patah, tidak lagi
dianggap sebagai seorang lelaki, hingga sedemikian teganya Patah menyia-nyiakan
ayahandanya sendiri. Diriku hanya memberikan restu kepada Raja Demak hanya
sampai keturunan ketiga, sebab Patah berasal dari tiga benih, yaitu Jawa (Sang
Prabhu Brawijaya), China (ibu Raden Patah Eng Kian) dan Raksasa (Adipati Arya
Damar ~ Adipati Arya Damar adalah keturunan Ni Endang Sasmitapura, penganut
ajaran Tantra Bhairawa yang dalam ritualnya menyertakan memakan daging mayat
dan meminum darah manusia, sehingga disebut Raksasa : DS), oleh karenanya tega
kepada ayahnya sendiri serta kotor tingkah lakunya. Pesanku, jangan sampai
keturunanku mendapatkan jodoh lain bangsa, sebab dengan menikahi bangsa lain,
disetiap kesempatan pastinya sedikit demi sedikit akan memberikan pengaruh dan
menggoyahkan keyakinan yang sudah dipegangnya, hal ini akan menciptakan
kesengsaraan hidup. Dan pesanku yang terakhir agar jangan sampai mempercayakan
jabatan senopati kepada lain bangsa, sebab pastinya kurang kesetiaannya kepada
Raja. Dikala tengah menghadapi pertempuran, pasti akan terbagi kesetiaannya.
Sudahlah Sahid, semua pesanku tulislah!”
Selesai memberikan wasiat, Sang Prabhu segera
bersendekap, dan meninggal dunia. Jenasahnya lantas dimakamkan di Astana
Sastrawulan, Majapahit. Hingga hari ini, terkenal bahwasanya yang dimakamkan
disana adalah Putri Champa, padahal sesungguhnya Putri Champa wafat di Tuban,
makamnya berada di Karang Kumuning.
Tiga hari kemudian, Sang Sultan Bintara baru
hadir ke Ampelgadhing serta bertemu dengan Nyai Ageng.
Nyai Ageng berkata :”Sudah menjadi nasibmu Prabhu
Jimbun, dirimu tidak bisa melihat detik-detik terakhir ayahandamu meninggal
sehingga tidak sempat memberikan sembah bakti serta meminta restu untuk bertahta
sebagai Raja. Dirimu juga tidak sempat memohon maaf atas segala kesalahan yang
telah kamu lakukan.”
Prabhu Jimbun mengatakan kepada Nyai Ageng,
dirinya sudah pasrah kepada nasib, semua sudah terjadi dan semua harus
dijalani.
Sultan Demak berada di Ampel selama tiga hari
lantas pulang.
Tersebutlah Adipati Pengging dan Adipati
Pranaraga (Ponorogo) yaitu Adipati Andayaningrat IV di Pengging dan Adipati
Bathara Katong di Ponorogo, sudah mendengar bahwasanya negara Majapahit
berhasil dijebol oleh Adipati Demak dengan cara berpura-pura hendak
memperingati hari raya Islam di Ampel. Sang Prabhu beserta Raden Gugur konon
berhasil meloloskan diri dari istana. Tidak diketahui kemana kepergiannya..
Kemarahan Adipati Pengging dan Adipati Pranaraga (Ponorogo) tak terbendungkan
lagi. Oleh karenanya, mereka masing-masing telah mengumpulkan kekuatan untuk
menggempuir Demak. Berkehendak untuk berbakti kepada Ayahhanda Prabhu sekaligus
hendak merebut tahta. Seluruh prajurid sudah siap sedia dengan persenjataan
tempur lengkap, tinggal diberangkatkan. Akan tetapi, utusan Sang Prabhu
Brawijaya datang. Adipati Pengging dan Adipati Pranaraga (Ponorogo), begitu
selesai membaca isisurat, segera disembahnyasurattersebut dengan hati yang
benar-benar teriris dan perih. Mereka hanya bisa menggeram marah dengan gigi
bergemeretakan! Wajah mereka memerah bagai api! Hingga keluarlah ucapan sumpah
dari mereka, bahwasanya semoga mereka tidak hidup lebih lama lagi agar tidak
menanggung malu berkepanjangan.
Kedua Adipati tidak bersedia menghadap ke Demak.
Dikarenakan sangat sedih hatinya, sehingga keduanya jatuh sakit. Tidak berapa
lama kemudian mereka meninggal dunia. Menurut kabar berita, kematian Adipati
Pengging dan Adipati Pranaraga (Ponorogo) dikarenakan karena telah ditenung
oleh Sunan Giri. Hal ini dilakukan agar kelak tidak menjadi penghalang
dikemudian hari.
Cerita kehancuran Majapahit sesungguhnya penuh
dengan perlambang (simbolisme). Sungguh tidak masuk diakal sehat manakala
negara sebesar itu, yang luas jajahannya hancur dikarenakan kekuatan-kekuatan
mukjijat Wali. Simbolisme dibuat juga dikarenakan para pujangga malu
menceritakan kejadian permusuhan antara anak melawan ayahnya sendiri. Beberapa
perlambang (simbolisme) kehancuran Majapahit yang dibuat oleh para bijak adalah
sebagai berikut :
1.
Dikartenakan kekeramatan para
Wali, keris milik Sunan Giri manakala dihunus keluarlah berjuta-juta tawon yang
menyengat prajurid Majapahit sehingga menimbulkan kekalahan.
2.
Badhong (penutup kemaluan)
milik SunanCirebon(Sunan Gunungjati) manakala dikibaskan keluar beribu-ribu
tikus yang memakan perbekalan serta makanan kuda prajurid Majapahit, sehingga
menimbulkan bubarnya mereka karena melihat begitu banyaknya tikus.
3.
Peti yang dibawa
dariPalembang(ceritanya konon diberikan oleh Adipati Arya Damar) manakala
dibuka ditengah pertempuran keluar demit (mnakhluk halus)-nya. Prajurid
Majapahit geger tewas karena diteluh oleh para demit (makhluk halus).
4.
Konon Sang Prabhu Brawijaya meninggal
secara MEKRAD/MEKRAT (Wafat tanpa meninggalkan jasad di Gunung Lawu)
Kyai Kalamwadi selanjutnya menjelaskan beberpa
simbolisme diatas kepada muridnya yang bernama Darmagandhul seperti dibawah ini
:
Itu semua hanyalah cerita simbolik semata,
sesungguhnya jatuhnya Majapahit ceritanya seperti yang sudah aku paparkan
diatas. Nagara Majapahit itu bukanlah sebuah barang remeh temeh yang mudah
dihancurkan dan dirusak, tidaklah mungkin hancur hanya karena dikeroyok
sepasukan tikus. Yang masuk akal adalah, tawon bisa bubar manakala kayu-kayu
tempat bersarang mereka dirusak oleh manusia.Parademit (makhluk halus) bisa
pula bubar manakala hutan-hutan dijarah oleh manusia. Akan tetapi jika
Majapahit bisa rusak hanya karena tawon, tikus dan demit (makhluk halus), siapa
yang bisa percaya? Mereka yang mempercayainya berarti manusia yang pendek
nalarnya, sebab cerita yang sedemikian itu tidaklah masuk diakal dan tidaklah
sesuai dengan nalar manusia. Semua cerita itu hanya sekedar simbolis belaka.
Jika diceritakan apa adanya berarti bisa membuka rahasia kehancuran Majapahit
itu sendiri. Tetapi, sedikit dari simbol-simbil itu akan aku jelaskan disini.
Binatang yang bernama tikus itu berwatak suka
memakan segala, jika dibiarkan saja lama-lama akan menjadi-jadi, maksudnya :
para ulama pada jaman dahulu, pertama kali datang meminta perlindungan kepada
sang Prabhu Majapahit, akan tetapi manakala sudah diberi perlindungan,
balasannya malah merusak. Sedangkan tawon adalah binatang yang membawa madu
yang manis, senjatanya ada dipantat, kediamannya ada dilobang pohon atau tempat
bercelah yang tinggi, maksudnya : pertama kali datang dengan ucapan yang manis,
akan tetapi ujung-ujungnya menyengat dari belakang, kediaman tawon diberi nama
tala, bisa diartikan ‘MEN-TALA (TEGA)’ merusak Majapahit, siapapun yang
mendengar hal ini akan keheranan.
Sedangkan demit (makhluk halus) yang berada
didalam peti yang dibawa dariPalembang, setelah peti dibuka menimbulkan bunyi
menggelegar, maksudnya alembangitu berarti bisa
diartikan ‘MLEMBANG (GOYAH)’, dimana orang-orangnya gampang berpindah agama.
Peti sendiri berarti tempat yang tertutup untuk menutupi benda yang samar,
demit (makhluk halus)-pun berarti samar, rahasia, tersembunyi, demit juga
cenderung suka meneluh. Maksudnya adalah sebagai berikut : Kehancuran Majapahit
akibat diteluh dengan rapi dan tersembunyi, jelasnya saast hendak melakukan
penyerangan tidak ada tersiar berita apapun, berpura-pura hendak mengadakan
perayaan gerebeg maulid, mengejutkan kedatangannya. Prrajurid Majapahit tidak
melakukan persiapan sama sekali, tahu-tahu Adipati Terung telah membantu
Adipati Demak.
Tidak ada kerajaan besar semacam Majapahit yang
kehancurannya hanya karena disengat oleh tawon serta diserang oleh tikus,
apalagi bubarnya prajurid hanya karena diteluh oleh demit (makhluk halus)
semata.
Kehancuran Majapahit menimbulkan suara
menggelegar, hingga terdengar sampai kemana-mana. Terdengar jikalau hancur
dikarenakan dijebol oleh putra sang Prabhu sendiri dengan dibantu oleh delapan
Wali, semua berkhianat kepada sang Raja.
Dan lantas Kyai Kalamwadi menjelaskan : Menurut
guruku Raden Budi Sukardi, sebelum Majapahit runtuh, burung bangau tidak ada
yang berbulu kuncir dikepalanya. Manakala negara sudah berpindah ke Demak,
keadaan berubah, muncul burung bangau dengan bulu kepala berkuncir.
Ini adalah sindiran dari Sang Maha Gaib bagi
Prabhu Brawijaya, kebo kombang atine entek dimangsa tuma kinjir (kerbau kumbang
hatinya habis dikakan kutu-kutu babi hutan). Kerbau melambangkan Raja yang kaya
raya, kumbang melambangkan suaranya hanya bisa berdengung saja, suara Prabhu
Bnrawijaya menyaksikan kehancuran Majapahit dengan hati yang habis terkikis dan
hanya bisa menggeram tak mampu berbuat apa-apa, tidak melakukan perlawanan.
Sedangkan kutu babi hutan (tuma kinjir : kutu yang biasa menempel dibulu babi
hutan : DS), TUMA (KUTU) artinya TUMAN (KETERLALUAN), CELENG (BABI HUTAN)
artinya berada dibawah, menggambarkan manakala Raden Patah saat datang pertama
kali ke Majapahit menghaturkan sembah bakti kepada ayahandanya, lantas
diberikan kedudukan, mendapatkan hati dari Sang Prtabhu, akan tetapi pada
akhirnya mengobarkan peperangan merebut tahta, tidak menimbang salah dan benar,
membuat habis hati Sang Prabhu.
Sedangkan burung bangau yang berkuncir adalah
sindiran bagi Sultan Demak yang telah menyia-nyiakan ayahanda Prabhu sendiri,
mentang-mentang beliau beragama Buda totok kafir kufur, oleh karenanya Gusti
Allah menyindir dengan munculnya burung bangau yang berkucir bulu kepalanya.
Sindiran itu bermaksud, lihatlah leher belakangmu sendiri, ibumu sendiri
berasal dariChina, tidak sepatutnya berlaku sia-sia kepada orang lain bangsa.
Sang Prabhu Jimbun itu memiliki benih dari tiga orang, yang pertama benih Jawa,
tak lain benih dari Sang Prabhu Brawijaya, oleh karenanya Sang Prabhu Jimbun
mempunyai kecenderungan ingin menjadi Raja yang berkuasa. Cenderung pada
kekayaan karena mempunyai benih dariChina, sedangkan cenderung berani tapi
tanpa perasaan akibat mempunyai benih dari Sang Arya Damar, sebab Arya Damar
ibunya adalah seorang raksasa (penganut ajaran Tantra Bhairawa : DS), suka
menghisap darah, kelakuannya suka menyakiti. Oleh karenanya muncul burung
bangau berkuncir itu semua atas kehendak Allah. Bukan hanya Sultan Demak saja
yang disindir agar menyadari kesalahannya, akan tetapi seluruh para Wali yang
lain juga disindir agar menyadari kesalahannya. Jikalau tidak juga segera menyadari
kesalahan yang telah dibuat, akan menangung dosa lahir batin. Oleh karenanya
sebutan Wali bagi orang Jawa juga bisa diartikan WALIKAN (BERBALIK), diberi
kebaikan balasannya malah membalas dengan kejahatan.
Sedangkan adanya orang China datang ke Jawa itu
dikarenakan, dahulu kala, saat para orang-orang bijak di Jawa belum begitu
banyak pengetahuannya, saat mereka meninggal dunia, suksma mereka banyak yang
terbawa angin dan lahir kembali di tanah China. Oleh karenanya lantas rindu
untuk pulang kembali ke tanah Jawa. Dengan demikian, orang-orangChinayang
datang ke Jawa sesungguhnya dulu suksma mereka pernah hidup di Jawa.
Kyai Kalamwadi meneruskan penuturannya : “Adapun
menurut guruku Rahaden Budi Sukardi adalah seperti ini : Ibadah yang bisa
diterima oleh Allah harus bersandarkan Dharudhemble. Kata DHAR maksudnya WUDHAR
(TERURAI), RU maksudnya RUWET lan RUNGSIT (KUSUT dan MISTERIUS). Sedangkan
DHEMBLE maksudnya DHEMBEL DADI SIJI (MENGUMPUL JADI SATU).Jikalau sudah
menyadari kesatuan hukum, syari’at, thariqah, haqiqat dan ma’rifat, disanalah
pepujian tanpa ucapan berlaku. Sarak (Syar’i : Hukum/Aturan) adalah syarat
untuk hidup dimasyarakat, disana terletak aturan untuk tidak melakukan, apa
yang harus dilakukan, bagaimana berusaha yang benar dan bagaimana memperoleh
penghidupan yang benar. Syari’at itu lebih meningkat lagi, sebuah aturan untuk
diri sendiri dan orang lain yang sudah menyentuh peningkatan kesadaran
(saringane kawruh agal alus : alat penyaring segala hal yang bersifat kasar
[badani] dan halus [rohani] ), Thariqat adalah sarana untuk menimbang hal yang
benar dan salah serta sudah betul-betul dijalankan dalam pola perilaku
sehari-hari, Haqiqat adalah keadaan manakala kita sudah menyadari wujud ini
semua adalah atas kehendak Allah. Segalanya yang menggerakkan Kesadaran hanya
Allah. Tingkatan Haqiqat adalah tingkatan seseorang yang sudah menyadari dan
tidak khilaf bahwa semua ini hanya wujud Allah. Jikalau dirimu sudah memahami
makna DHARUDHEMBLE, pasti akan puas dengan kesadaran yang bakal kamu dapatkan.
Sudah memakan buah pengetahuan dan buah kesadaran sekaligus. Sembahmu bagaikan
besi yang dibakar didalam bara api, setelah membara akan hancur dengan api dan
menyatu. Yang Di sembah dan yang menyembah sudah manunggal dan menyatu, DHEMBLE
(KUMPUL) menjadi satu. Jikalau dirimu sudah bisa memahami makna apa yang aku
ucapkan, pasti segera kamu akan ber-munajad. Bagaikan orang yang mengincar
burung dengan sumpit, jika tak tahu letaknya burung ada dimana, jelas tidak
akan kena sasaran. Saat melepaskan sumpitan hanya ngawur belaka. Pengetahuan
manusia yang cerdas tidak sulit dikenali, semua itu keluar dari otak.
“(Maksudnya, pengetahuan rasional tidak sulit dipelajari, karena itu hasil oleh
pikir. Tapi pengetahuan rohani, susah untuk dikenali, hanya bisa dijalani. :
DS)
Darmagandhul berkata, mohon untuk dijelaskan
tentang hal Nabi Adam dan Ibu Hawa yang telah dikutuk oleh Tuhan disebabkan
karena memakan buah pohon Pengetahuan yang ditanam ditengah taman
Firdaus.Adajuga kitab yang menerangkan, yang dimakan Nabi Adam dan Ibu Hawa
adalah buah Khuldi, yang ditanam di Surga. Oleh karenanya mohon dijelaskan,
jikalau menurut orang Jawa bagaimana, mengapa yang mencatat hanya Kitab
dari ‘Arab (Al-Qur’an) dan Kitab orang Srani (Orang Srani : Nashrani).
Kyai Kalamwadi lantas menjelaskan. Didalam kitab
Jawa tidak diceritakan hal yang sedemikian itu. Kitab sejarah Jawa yang
menghubungkan manusia Jawa keturunan Adam, hanya Kitab Manik Maya saja.
Kyai Kalamwadi lantas melanjutkan : “Setelah
kitab-kitab agama Buda banyak yang dibakar dikarenakan takut menjadi penghalang
perkembangan agama Rasul (Islam). Bahkan kitab-kitab yang disimpan oleh
beberapa orang secara sembunyi-sembunyi, juga dipaksa untuk diambil dan
dibakar. Hal itu terjadi setelah runtuhnya Majapahit. Siapa yang tidak mau
memeluk agama Islam boleh dijarah harta bendanya, oleh karenanya banyak manusia
Jawa yang ketakutan atas kebijakan Raja yang demikian ini. Sedangkan mereka
yang mau memeluk Islam, kebanyakan diberi hadiah pangkat atau tanah bahkan ada
juga yang dibebaskan dari pajak. Oleh karenanya masyarakat Majapahit banyak
yang memeluk agama Islam, selain takut juga karena tergiur iming-iming hadiah.
Pada saat itu Sunan Kalijaga berinisiatif, kearifan leluhur agar jangan sampai
terputus, lantas menciptakan kreasi wayang kulit, sebagai media pengganti
catatan dalam kitab-kitab kuno yang sudah banyak dibakar. Pada saat jaman
Mataram, banyak Raja-Raja-nya yang membuat cerita sejarah leluhur Jawa.
Kitab-kitab yang selamat tersimpan, lantas dikumpulkan, walau sudah banyak yang
rusak disana-sini. Seluruh masyarakat Mataram diperintahkan oleh Raja-Raja
Mataram agar mengumpulkan kitab-kitab kuno yang mereka simpan. Namun ternyata
banyak sejarah yang telah terputus dan tidak diketahui lagi. Semenjak jaman
Kerajaan Gilingwesi hingga Mataram, banyak sudah yang tidak bisa diketahui lagi
ceritanya. Buku-buku yang berasal dari Demak dan Pajang juga dikumpulkan. Tapi
ternyata hanya didapati kitab-kitab bertuliskan huruf Arab , kitab Fiqh dan
Taju Salatin. Semua terhenti pada cerita Surya Alam (Sultan Demak pertama).
Raja Mataram mendapatkan kekecewaan karena keinginannya untuk menyusun sejarah
leluhur Jawa menemui kesulitan mendapatkan sumber rujukan. Oleh karenanya, Raja
Mataram lantas menitahkan para pujangga mengarang naskah Babad Tanah Jawa.
Dikarenakan cerita yang diketahui hanya sebatas akhir Majapahit dan juga
dikarenakan banyak para pujangga yang diperintahkan membuat, maka muncullah
berbagai versi. (yang kebanyakan hanya berkisar seputar keruntuhan Majapahit
hingga jaman Mataram). Sedangkan kisah sebelum Majapahit diambil dari kisah
Lokapala (Jadi dihubungkan dengan cerita Mahabharata langsung). Dan hasilnya
adalah sebagai berikut.”
Cucu Nabi Adam , yaitu putra Nabi Syits (Seth),
bernama Sayyid Anwar. Sayyid Anwar mendapat marah dari ayah dan kakeknya
dikarenakan telah bernai memakan buah pohon Budi (Kesadaran) yang tertanam di
Surga. Keinginan Sayyid Anwar agar dirinya memiliki kuasa mirip dengan kuasa
Tuhan. Bukan hanya terima memakan buah pohon Pengetahuan dan buah Khuldi semata,
namun buah dari pohon Budi (Kesadaran) juga dimakannya. Sayyid Anwar lantas
membuat Syari’at (aturan agama) sendiri, tidak mau memakai aturan yang dibuat
oleh ayahnya maupun kakeknya. Oleh karenanya dia murtad dan menolak memakai
agama leluhurnya. Serta tidak mau mengakui sebagai keturunan dari Nabi Adam dan
Nabi Syits (Seth). Menurutnya, dirinya berwujud dengan sendirinya, hanya
jasadnya saja yang berasal dari Adam dan Syits. Dirinya berasal dari Budi Hawa
(Kesadaran dan Kehendak) Tuhan langsung. Pendapat yang demikian itu sangat
dipegang teguh oleh Sayyid Anwar, alasan dia : Yang berasal dari kosong, kelak
akan kembali kepada kekosongan tersebut. Oleh karenanya Sayyid Anwar lantas
pergi dari kediamannya menuju ke timur, ke tanah Dewani. Disana lantas bertemu
dengan Raja Jin Prabhu Nur Adi. Sayyid Anwar ditanya asal usulnya dan dia
lantas menceritakan semuanya. Pada akhirnya Sayyid Anwar diambil menantu dan
diberikan warisan tahta kerajaan, menjadi Raja Jin dengan gelar Prabhu Nur
Cahya. Nama Dewani lantas diubah menjadi Jawa. Sudah terkenal diseluruh tempat,
Raja Jawa memahami segala ilmu yang kasar hingga yang halus. Lantas Sang Prabhu
(Nur Cahya) membuat sastra yang hanya berjumlah Dua Puluhsatu huruf, seluruh
ucapan orang Jawa bisa diwakili oleh aksara ini. Aksara ini lantas diberi nama
Satra Endra Prawata. Kata Jawa lantas diartikan dari kata ngu-JA ha-WA
(Menuruti Kehendak). Keinginan Sang Prabhu agar dirinya hingga seluruh
keturunannya bisa menduduki tahta. Sang Prabhu mempunyai satu orang putra
bernama Sang Hyang Nur Rasa. Juga menikahi seorang putri Jin. Memiliki satu
orang putra bernama Sang Hyang Wenang. Sang Hyang Wenang juga menikahi
seorang putri Jin, juga memiliki satu orang putra bernama Sang Hyang Tunggal.
Sang Hyang Tunggal juga menikahi seorang putri Jin. Memiliki putra Sang Hyang
Guru. Sang Hyang Guru merasa memiliki kuasa seperti Gusti Allah lantas membuat
kerajaan diatas puncak Gunung Mahameru serta mengajarkan bahwa alas-usul
kehidupan keluar dari BUDI HAWA NAFSU (KESADARAN dan KEHENDAK). Mengambil gelar
sebagai Dewa dan beragama Buda Budi, menyembah kesaktiannya sendiri dan mengaku
sebagai Gusti Allah. Kehendak yang demikian itu diijinkan oleh Yang Maha Kuasa,
serta diijinkan untuk mengimbangi kuasa dari Yang Maha Kuasa sendiri. Dewa bisa
dimaknai dua arti pertama bu-DI ha-WA (Kesadaran dan Kehendak) serta wa-DI
da-WA (Rahasia Memanjang) dan menamai agamanya agama Buda. Sedangkan Dewi
maksudnya : DE-ning W-ad-I-ning wadon iku bisa ngêtokake êndhas bocah. (Melalui
tempat rahasia seorang wanita bisa mengeluarkan kepala manusia).
Darmagandhul lantas diperintahkan untuk menimbang
mana yang benar dan mana yang salah, memakan buah pohon Pengetahuan, atau
memakan buah pohon Budi (Kesadaran) atau memakan buah pohon Khuldi?
Menurut Darmagandhul semua itu benar, mana yang
disenangi harus di mantapkan dalam hati. Jika yang dimakan buah pohon Budi,
maka menyebut Tuhan dengan nama Dewa. Jika yang dimakan buah pohon Pengetahuan,
menyebut nama Kangjeng Nabi Isa, agamanya Srani (Nashrani). Jika yang dimakan
buah pohon Khuldi, agamanya Islam. Memuji Nabi panutan, yaitu Kangjeng Nabi
Rasul. Manakala menyukai daun Pengetahuan dan daun Budi, menyembah Pik-Kong,
menuruti aturan agama Sisingbing dan Sicim. Semuanya sudah benar. Namun jika
bisa, tiga macam buah tadi dimakan semua. Jika manusia tidak memakan
ketiga-tiganya akan menjadi manusia bodoh. Hidupnya bagai batu, tidak memiliki
tujuan serta tidak bisa membedakan baik dan buruk. Akan tetapi menurutku
pribadi, manusia itu menuruti kondisi alam saja, jika Khalifah (Penguasa)
memakan buah Budi, ikuti saja memakan buah Budi. Jika Khalifah (Penguasa)
memakan buah Pengetahuan, ikuti saja memakan buah Pengetahuan. Jika Khalifah
(Penguasa) memakan buah Khuldi, ikuti saja memakan buah Khuldi. Masalah benar
atau salah, Khalifah juga yang bakal mempertangung jawabkannya. Sebab seorang
Khalifah itu menjadi panutan banyak orang. Jika diibaratkan sebagai pohon,
Khalifah seumpama batangnya. Jikalau ada bagian pohon yang tidak sesuai dengan
batangnya, ibarat ikan yang keluar dari dalam air. Jilalau buah tidak mau
menempel pada pohon, akan terhampar tanpa tempat bersandar. Oleh karenanya,
sebaiknya manusia mengikuti agama yang sudah diwariskan kepadanya. Seumpama
salah, Gusti Allah pasti akan memberikan pengampunan-Nya. Darmagandhul lantas
meminta kejelasan perbedaan antara agama Rasul dengan agama lainnya.
Kyai Kalamwadi lantas menerangkan perbedaannya,
menurut petunjuk Yang Maha Kuasa, manusia diwajibkan untuk memuja agama. Akan
tetapi lantas banyak yang telah keliru memuja kepada benda yang terlihat.
Seperti halnya keris, tombak dan berbagai macam barang pusaka, lantas melupakan
Tuhan, disebabkan telah mendua dengan men-Tuhan-kan benda. Manusia hidup harus
mempunyai agama sebagai pegangan, sebab jika tidak memiliki agama dipastikan
banyak melakukan kesalahan tak sengaja, baik kesalahan yang besar atau sedikit.
Yang bisa membuat sirnanya kesalahan-kesalahan tadi, hanyalah air suci, yaitu
tekad lahir batin (dan itu yang diajarkan agama). Yang dimaksudkan dengan air
suci tekad maksudnya milikilah pikiran yang ening (hening), itulah cara mandi
manusia yang sesungguhnya, mampu membersihkan lahir dan batinnya. Manusia utama
dalam beragama tidak mengharap-harapkan memperoleh surga, yang dicari hanyalah
keutamaan suci melebihi manusia lainnya, jangan sampai menemukan penderitaan,
mempunyai nama yang baik, mempunyai sesebutan utama, mendapatkan ketentraman
lahir batin, mulia seperti dulu-dulunya saat masih berada di alam samar, tidak
terkena kesedihan dan keprihatinan. Bersihkan-lah pintu surgamu, berilah hiasan
dengan tekad utama, supaya tidak menimbulkan masalah, bisa selamat lahir dan
batin. Yang aku maksudkan dengan pintu surga dan pintu neraka, adalah sarana
menuju kebahagiaan atau penderitaan. Jika baik adanya akan menarik keuntungan,
jika buruk keadaannya akan menuai celaka. Pintu surga dan pintu neraka tak lain
adalah ucapanmu. Jika buruk mengundang celaka, masuk pada penderitaan. Jika
baik, akan mendapatkan keuntungan.
Darmagandhul bertanya lagi. Manusia didunia hanya
berwujud lelaki dan perempuan, akan tetapi mengapa jadinya bermacam-macam
bentuk, ada Jawa, Arab, Belanda danChina. Mengapa pula agamanya berbeda.
Mengapa tidak diberikan satu ajaran saja?
Kyai Kalamwadi lantas menjelaskan. Semua adalah
kehendak Yang Maha Kuasa. Oleh karena ajaran dibuat berbeda-beda, dimaksudkan
agar seluruh manusia bisa dipicu menemukan buah pohon Kesadaran dan buah pohon
Pengetahuan. Dengan sarana kecerdasan yang diberikan, sampai dimana mampu
memetik buah Pengentahuan dan buah Kesadaran. Ketahuilah, Gusti Allah telah
menciptakan sastra yang gaib, disebut sastra Hidup. Manusia jarang yang bisa
memahaminya, walaupun para Auliya maupun para Nabi tetap saja memahami sebatas
yang mereka bisa. Segala buah pohon Pengetahuan dan buah pohon Kesadaran diwujudkan
dalam tulisan, diguratkan diatas DALWANG (kertas) dengan MANGSI (tinta) agar
bisa terlihat wujudnya. Oleh karen disebut DALWANG sebagai sarana me-DAL
WANG-ngune (Keluar wewujudannya), MANGSIT (Memicu) manusia agar memakan buah
pohon Pengetahuan (mendapat Pemahaman/Pengertian sebelum mendapatkan buah pohon
Budi atau Kesadaran : DS). Alat tulisnya dinamakan KALAM, sebab buah
pengetahuan yang tergurat disana bagaikan ucapan alam.
Segala macam sastra/ajaran pemberian Yang Maha
Kuasa, wajib dimakan, agar kaya pengertian dan kaya pemahaman, hanya manusia
yang tidak memahami sastra/ajaran pemberian Gusti Allah tidak akan memahami
WANGSIT (Pengetahuan Rahasia).
(Aulia) yang terhormat Gong Cu (Kong Hu Cu)
terlalu terburu-buru meniru sastra/ajaran gaib pemberian Gusti Alah, sehingga
mewujudkan dalam aksara tidak sempurna dan banyak pengucapan yang cedal
karenanya. Para Auliya yang lain diseluruh dunia sabar mencoba meniru dan mampu
menciptakan aksara dengan batasan pasti untuk mewujudkan sastra/ajaran Hidup tersebut.
Hanya aksaraChinayang terlampau banyak jumlahnya, pengucapanya juga cedal,
sebab Auliya disana yang membuat aksara tersebut terlalu terburu-buru memakan
buah Pengetahuan dan lupa memakan buah Kesadaran, lupa jikalau dirinya
dititahkan sebagai manusia. Akan tetapi memaksakan diri memakai kuasa Yang Maha
Kuasa, meraih sesuatu yang belum saatnya, terburu-buru membuat aksara hingga
jumlahnya tak bisa dihitung. Aku menyebutnya sastra Godhong (Daun). Yaitu Daun
dari pohon Kesadaran dan daun pohon Pengetahuan, diambil sedikit-sedikit,
ditata dan dikumpulkan, diwujudkan dalam aksara dan ternyata jumlahnya ribuan.
AuliyaChinahendak meniru semua sastra Hidup buatan Gusti Allah. Auliya Jawa
sebelum mencipta aksara sudah mencapai tahap Kesadaran, oleh karenanya saat
hendak mewujudkan ajaran/sastra Hidup milik Gusti Allah dengan kesabaran,
sehingga mampu menciptakan aksara yang jumlahnya bisa dibatasi. Auliya Arab
memakan buah pohon Kuldi, membuat aksara demi untuk mewujudkan sastra/ajaran
Hidup Gusti Allah juga bisa dibatasi. Tapi sesungguhnya sastra/ajaran Hidup
buatan Gusti Allah, berasal dari Sabda (AUM ~ Logos : DS), berwujud sendiri,
berbunyi jelas dan bentuknya berbeda-beda serta tak terhitung.
Darmagandhul lantas disuruh menimbang, dari semua
ajaran buatan para Auliya tadi yang bisa menunjukkan tingkatan tinggi rendahnya
Kesadaran aksara yang mana?
Menurut pertimbangan Darmagandhul, semua ajaran
bisa dianggap benar, jikalau semua keluar dari Kesadaran. Sedangkan aksara yang
berjumlah lebih sedikit sebagai sarana mewujudkan ajaran tersebut dalam bahasa
manusia, menurut Darmagandhul itu hanya karena kepintaran/kemahiran sang
pencipta aksara tersebut (tidak ada hubungannya dengan Kesadaran sama sekali. :
DS).
Kyai Kalamwadi berkata : “Jika manusia hendak
melihat sastra/ajaran Gusti Allah, aksaranya tidak bisa dilihat dengan mata
lahir, hanya bisa dilihat dengan mata Kesadaran. (Ajaran Hidup atau ajaran
Tuhan itu adalah Rta/Dharma/Kebenaran/Hukum Alam ini. Itulah sastra/ajaran
Tuhan yang sesungguhnya : DS). Gusti Allah Tunggal ada-Nya, akan tetapi
Dzat-Nya meliputi seluruh perwujudan. Untuk bisa melihat harus dengan Kesadaran
yang jernih, tidak boleh tercampuri kehendak yang aneh-aneh. Harus teliti dan
sabar, supaya menyadari kenyataan Dia yang sebenarnya.
Kyai Kalamwadi duduk dihadap istrinya yang
bernama Endhang Prejiwati. Darmagandhul serta para cantrik (murid) yang lain
menghadap. Saat itu Kyai Kalamwadi tengah memberikan wejangan kepada istrinya.
Itulah kewajiban seorang suami harus memberikan pengajaran yang baik bagi
istrinya. Yang tengah diwejangkan adalah pengetahuan Kesejatian dan pengetauan
yang diperlukan jika sudah datang saatnya kematian. Seorang istri diibaratkan
seperti halnya rumah. Walau kondisinya sudah baik, akan tetapi setiap hari
harus tetap dibersihkan, dipelihara dan diperbagus. Kyai Kalamwadi lantas
menuturkan, bahwasanya didalam raga manusia ini banyak firman Tuhan yang
memberikan pengetahuan. Hanya sebatas berupa tanda-tanda yang tertulis
disekujur badan.
Kyai Kalamwadi berkata : “Dikarenakan diriku ini
orang bodoh, oleh karenanya aku tidak bisa memberikan wejangan yang terangkai
dengan kata-kata indah. Aku hendak bertanya kepada jasadmu, dan dari jasadmu
akan banyak ditemukan jawaban.”
Lantas beginilah ucapan Kyai Kalamwadi. Tangan
kirimu itu memiliki arti sendiri, bisa dibuat contoh nyata kebaikan,
menunjukkan ragamu itu dipenuhi wujud hawa (Keinginan) belaka. Kata ‘KI’
maksudnya ‘i-KI’ (Ini) ‘WA’ maksudnya ‘we-WA-dhah’ (Tempat). Jasadmu itu ibarat
perahu dan perahu ibarat dari seorang wanita. WONG maksudnya ‘ngelo-WONG’
(Memiliki ruang), WADON (Wanita) maksudnya hanya sebagai WADHAH (Tempat).
Isinya hanya tiga perkara, yaitu KAR-RI-CIS. Maksud dari KAR-RI-CIS adalah
sebagai berikut :
1.
KAR artinya dza-KAR (Penis).
Maksudnya jikalau lelaki bisa memenuhi kelelakiannya (memenuhi kebutuhan
biologis istrinya), sang wanita pasti merasa puas, sehingga akan langgeng dalam
perjodohan suami istri.
2.
RI maksudnya pa-RI (Padi).
Maksudnya makanan. Jikalau sang suami bisa mencukupi kebutuhan makanan sang istri,
pastilah sang istri tenteram hatinya.
3.
CIS maksudnya pi-CIS atau uang,
maksudnya jikalau sang suami mampu memberikan uang yang cukup kepada sang
istri, pastilah sang istri akan tenteram.
Jika sebaliknya, jikalau sang suami tidak mampu
memenuhi ketiga-tiganya, sang istri bisa resah hatinya. Sedangkan tangan TENGEN
(Kanan) maksudnya ‘etung-NGEN’ (Telitilah) tingkah lakumu. Setiap hari harus
bersedia melayani bahkan sang wanita wajib pula membantu sang suami mencari
sandang dan pangan.
Bahu atau KANTHI (Damping), maksudnya seorang
istri adalah pendamping suami untuk melakukan segala pekerjaan yang perlu.
SIKUT (Siku) maksudnya SINGKUREN (Belakangilah)
segala perbuatan salah. UGEL-UGEL (Pergelangan) melambangkan, walau terjadi
pertengkaran, seyogyanya tidak akan terpisahkan selamanya (Pergelangan adalah
tempat sambungan antara dua tulang yang terpisah. Suami dan istri walau
memiliki keinginan yang berbeda, tetaplah menjadi satu ibarat pergelangan
tangan tersebut). EPEK-EPEK (Telapak tangan), maksudnya nge-PEK (Meminta) nama
suami. Sebab wanita jika sudah bersuami, namanya lantas dipanggil dengan nama
suaminya. Inilah perlambang dari Warangka (Sarung Keris) masuk kedalam Curiga
(Keris). Warangka adalah sang wanita, Keris-nya adalah nama dari suaminya.
RAJAH ditelapak tangan, memberikan petunjuk agar
seorang istri menganggap suaminya adalah Raja-nya.
DRIJI (Jemari) maksudnya adalah DREJEG atau
pagar. Kelilingilah jiwamu dengan pagar keutamaan, seorang wanita harus
memiliki watak utama. Setiap jemari memiliki arti sendiri-sendiri.
JEMPOL artinya EMPOL (Bagian renyah didalam
batang pohon kelapa yang bisa dimakan), maksudnya seorang istri manakala
diingini oleh seorang suami, haruslah mudah dan renyah bagaikan renyahnya empol
kelapa.
DRIJI PANUDUH (Jari telunjuk) maksudnya seorang
wanita harus menjalani apa saja sa-PITUDUH-e (Segala yang ditunjukkan) oleh
sang suami.
DRIJI PANUNGGUL (Jari tengah), maksudnya agar
seorang wanita bisa ng-UNGGUL-ake (Mengunggulkan) suaminya agar mendapat
keberkahan.
DRIJI MANIS (Jari manis) maksudnya seorang wanita
harus memiliki wajah dan tingkah laku yang MANIS, berbicara yang MANIS dan
sewajarnya.
JENTHIK (Jari kelingking) maksudnya sebagai
seorang istri, seorang wanita kuasanya daam rumah tangga hanya seperlima dari
kuasa suami, oleh karenanya harus setia dan menurut kepada suaminya.
KUKU maksudnya harus KUKUH (Kuat dan rapat)
menjaga bagian rahasianya, jangan sampai gampang kendor tapih (kemben)-nya.
Pegangan hidup (PIKUKUH) berumah tangga, bagi
wanita harus setia dan penurut kepada suaminya serta harus menjalani empat
perkara, yaitu : PAWON (DAPUR) PATURON (RANJANG), PANGREKSA (MENJAGA DIRI)
serta menghindari PADUDON (PERTENGKARAN).
Hidup berumah tangga manakala bisa menetapi
aturan ini, dapat dipastikan akan selamat dan tenteram.Kyai Kalamwadi
memberikan petunjuk lagi tentang ketetapan berumah tangga. Menurut Kyai
Kalamwadi, hidup berumah tangga harus berketetapan pada hati yang ingat, jangan
sampai berbuat yang tidak baik. Bukan harta benda dan wajah sebagai
pegangannya, tapi hati yang senantiasa ingat. Jika gampang sangat-sangat
gampang, jika sulit, sangat-sangat sulit menjalaninya. Jika gagal gagal
sekalian, jika dapat harus dapat sekalian (tidak boleh setengah-setengah
maksudnya), jikalau sampai salah jalan tidak bisa diberikan ganti rugi dengan
harta dan perwajahan tampan/cantik (jika sudah melakukan kesalahan, tak pandang
punya harta banyak atau wajah bagus, tetap akan mendapatkan malu). Seorang
istri harus senantiasa ingat jika dirinya dimiliki oleh seorang suami. Jikalau
tidak mengingat akan hal ini, akan seenaknya dalam bersikap, sebab jika sampai
ingkar, bisa menghilangkan keberkahan hidup berumah tangga. Yang dimaksud
dengan ingkar bukan hanya ber-zina dengan lelaki lain saja, akan tetapi segala
hal perbuatan yang berakibat tidak baik, juga bisa disebut ingkar, oleh
karenanya seorang istri harus apa adanya (jujur) lahir dan batin, sebab jika
tidak, pasti akan mendapatkan dua maca dosa, pertama berdosa kepada suami dan
kedua berdosa kepada Gusti Allah, dapat dipastikan tidak akan mendapatkan
kehidupan yang nyaman dikemudian harinya. Oleh karenanya hati harus senantiasa
ingat, sebab perbuatan badan menuruti keinginan hati, sebab hati adalah raja
bagi badan. Hidup berumah tangga bisa diibaratkan sebuah perahu besar, jalannya
perahu terletak pada layar dan kemudi, walaupun layar sudah benar manakala
kemudi salah menjalankan, perahu-pun tidak akan bisa berjalan baik. Suami
ibarat memegang layar sedangkan sang istri ibarat memegang kemudi. Walaupun
sudah benar menjalankan kemudi, namun jika layar tidak benar, maka jalannya
perahu juga tidak bisa tegak. Jikalau keduanya sudah benar, maka akan menuai
ketentraman dan akan sampai apa yang diinginkan, sebab kedua-dua orang
menjalankan tugasnya dengan baik. Singkatnya, hidup berumah tangga kedua pasang
suami istri harus sama tujuannya, oleh karenanya harus rukun, kerukunan akan
membuahkan kebahagiaan. Bukan hanya yang tengah menjalankan hidup berumah
tangga saja yang akan bahagia, jika bisa belajar hidup rukun, tetangga kiri dan
kanan-pun juga ikut bahagia.
Aku katakan padamu, jalan memperoleh kemuliaan
hidup itu ada empat perkara :
1.
Mulia karena nama
2.
Mulia karena harta
3.
Mulia karena banyak ilmu
4.
Mulia karena banyak keahlian
Yang dimaksudkan dengan mulia karena nama, itu
manusia utama, bisa mendapatkan keuntungan besar, dan keuntungan tersebut bisa
dirasakan oleh orang lain pula. Sedangkan mulia karena harta, mulia karena
banyak ilmu dan mulia banyak keahlian, dimanapun tempatnya akan dihargai orang.
Jalan menuju kesengsaraan juga ada empat perkara
:
1.
Rusaknya hati (moral) manusia
itu jikalau moralnya rusak, raganya juga ikut menemui kerusakan.
2.
Rusaknya raga, yaitu manusia
berpenyakitan
3.
Rusaknya nama, yaitu manusia
miskin.
4.
Rusaknya Budi (Kesadaran),
itulah manusia bodoh. Manusia bodoh sempit pikirannya dan kebanyakan pemarah.
Manusia yang mendapatkan anugerah dari Gusti
Allah adalah manusia yang sehat, cukup rejeki dan tentram hatinya.
Manusia hidup yang ingin menjadi manusia utama,
maka milikilah nama baik agar bisa dijadikan contoh oleh mereka yang
ditinggalkan kemudian.”
Ki Darmagandhul lantas memohon agar diterangkan
perbandingan kecerdasan orang dulu dengan sekarang, mana diantara kedua
generasi yang pintar, banyak orang memiliki pendapat yang bermacam-macam
tentang hal itu.
Kyai Kalamwadi menjawab : “Orang dulu dengan
orang sekarang sama-sama cerdasnya. Hanya saja orang jaman dulu kurang bisa
mewujudkan kepintaran mereka, sehingga terlihat seolah bodoh. Sedangkan orang jaman
sekarang, telah mampu mewujudkan kepintaran mereka sehingga terlihatlah mereka
pintar. Kepintaran orang sekarang merupakan limpahan dari kepintaran orang
dimasa lalu. Jika orang dulu tidak ada yang pintar, tentunya tidak ada yang
bisa dibuat suri tauladan oleh orang jaman sekarang. Orang sekarang masih
banyak mencontoh kebijakan masa lalu. Orang yang hidup sekarang juga memberikan
sentuhan perubahan, apa yang kurang baik dijadikan lebih baik lagi. Orang jaman
sekarang, tidak terbiasa mengemas kebijakan mereka dalam wujud sastra/simbolik.
Tapi sesungguhnya, manusia tidaklah layak merasa pintar, karena dia hanya
sekedar hamba. Hanya sekedar menjalani. Hanya sekedar memakai jasad fisik.
Gerak manusia sesungguhnya sudah ada yang melakukannya. Namun jikalau kamu
ingin tahu bagaimanakah manusia yang benar-benar pintar, hal itu sisimbolkan
pada sosok wanita yang tiap hari memilah padi (nutu). Tampah (wadhah terbuat
dari anyaman rotan) diisi beras hasil ditumbuk. Lantas diputar sejenak. Kulit
padi akan beterbangan semua. Sehingga terpisahlah mana beras dan mana kulitnya.
Lantas tinggal diambil untuk dipilah-pilah kembali. Singkatnya, beras sebelum
diolah untuk dimasak menurut selera harus dibersihkan dulu. Begitulah kesadaran
manusia hidup, harus mencontoh wanita tengah memilah padi diatas tampah. Jika
kamu bisa berlaku demikian, kamu manusia unggul. Akan tetapi sesungguhnya,
tanggung jawab yang sedemikian itu ada pada seorang Raja, yang menguasai
seluruh hamba-hambanya. Sedangkan dirimu harus mentaati peraturan negara agar
hidupmu tidak diasingkan sesama dan selamat. Dirimu akan menjadi sontoh bagi
mereka yang ingin setia pada negara. Oleh karenanya pesanku, jangan sekali-kali
dirimu mengaku pintar, itu bukan kewajiban manusia. Jika merasa pintar akan
mendapat murka dari Yang Maha Kuasa. Kuasa Gusti Allah tidak bisa digapai oleh
manusia. Sadarilah manusia hidup itu hanya sekedar menjalani semata. Jika ada
orang pintar, pasti akan ada yang lebih pintar lagi. Bahkan ada manusia pintar
kalah dengan orang bodoh. Bodoh maupun pintarnya manusia itu atas kehendak Yang
Maha Kuasa. Apapun yang dimiliki manusia, apapun kebisaan manusia, semua hanya
diberi pinjaman oleh Yang Maha Kuasa. Jika sudah diambil, semua bakal musna
seketika. Karena kuasa Gusti Allah, bisa saja hal yang telah diambil tersebut
di berikan kepada manusia bodoh, sehingga manusia bodoh bisa mengalahkan
manusia pintar. Oleh karenanya pesanku lagi, carilah pengetahuan nyata, yaitu
pengetahuan yang behubungan dengan moksha.”
Ki Darmagandhul lantas bertanya lagi, memohon
agar dijelaskan tentang petilasan keraton Kedhiri, yaitu keraton Prabhu
Jayabaya. Kyai Kalamwadi menjawab, “Sang Prabhu Jayabaya tidak berdiam di
Kedhiri (sekarang), namun berdiam di Daha, terletak disebelah timur sungai
Brantas. SedangkankotaKedhiri terletak di barat sungai Brantas dan disebelah
timur gunung Wilis. Di Desa Klotok, disana terdapat batu bata putih, itulah
tempat petilasan Sang Pujaningrat. Sedangkan keraton beliau terletak di Daha,
sekarang disebut dengan nama Desa Menang. Peninggalan keraton sudah tidak
didapati lagi karena terurug oleh pasir akibat muntahan lahar gunung Kelud.
Semua bekas istana dan semua petilasan tersebut sudah hilang. Pesangggrahan
Wanacatur dan Taman Bagendhawati juga sudah sirna. Begitu juga Pasanggrahan
Sabda kadhaton milik Ratu Pagêdhongan juga sudah sirna. Yang tertinggal hanya
arca buatan Prabhu Jayabaya yang ada di candi Prudhung, Tegalwangi yang
terletak disebelah timur laut dari Menang, serta arca Raksasa perempuan yang
diputus tangannya oleh Sunan Benang saat masuk ke wilayah Kedhiri. Arca tadi
duduk menghadap ke barat.Adalagi arca kuda berkepala dua, terletak disesa
Bogem, wilayah distrik Sukareja (Sukorejo)
Di daerah Lodhaya (Lodaya) ada seorang Raksasa
wanita yang hendak ngunggah-unggahi (melamar) Sang Prabhu Jayabhaya. Akan
tetapi belum sempat bertemu dengan Sang Prabhu, Raksasa wanita tadi dikeroyok
oleh para prajurid. Sang Raksasa jatuh terkapar, tapi belum meninggal dunia,
begitu ditanya, dia menjawab bahwa hendak melamar Sang Prabhu Jayabhaya. Sang
Prabhu lantas menanyakan hal itu kepada Sang Raksasa, Sang Prabhu
mendapatkan jawaban serupa. Sang Prabhu lantas berkata : Wahai Raksasa!
Sepeninggalku kelak, disebelah barat dari daerah ini akan ada seorang Raja,
letak istananya ada di Prambanan. Dialah nanti yang bakal jadi jodohmu. Akan
tetapi janganlah kamu berwujud seperti itu, berwujudlah (ber-inkarnasi-lah
menjadi) manusia, bergantilah nama Rara Jonggrang.”
Setelah diberitahu akan hal itu, sang Raksasa
lantas meninggal dunia. Sang Prabhu lantas memerintahkan kepada para abdi
dalem, agar supaya tempat dimana meninggalnya putri Raksasa tadi diberi nama
Desa Gumuruh. Tidak begitu lama kemudian Sang Prabhu Jayabhaya lantas
memerintahkan membuat arca didesa Bogem. Arca tadi berwujud kuda utuh dengan dua
kepala. Kiri kanannya diberikan batas. Patih sang Prabhu yang bernama Buta
Locaya serta Senapati yang bernama Tunggulwulung bersamaan menghaturkan
pertanyaan apa yang menjadi alasan Sang Prabhu menyuruh membuat arca yang
sedemikian itu. Sang Prabhu lantas menjawab, latar belakang beliau membuat arca
sedemikian itu hanya untuk perlambang kejadian yang akan terjadi nanti, siapa
saja yang melihat perwujudan arca tadi akan paham akan kelakuan wanita jaman
nanti, jika sudah tiba masa jaman Nusa Srenggi. Bogem artinya tempat perhiasan
indah, arti simboliknya bahwa wanita itu tempat menyimpan barang-barang
rahasia. Laren (Batasan) yang mengelilingi arca kuda maksudnya juga larangan.
Kuda yang dijaga berarti ibarat wanita yang dilindungi. Berkepala dua adalah perlambang
jika wanita Jawa kelak kebanyakan tidak setia, walaupun tidak kurang-kurang
dalam menjaganya, tetap saja bisa ingkar janji, Lagaran maksudnya adalah tempat
tunggangan yang tanpa piranti apapun. Pada jaman nanti kebanyakan manusia
hendak menikah tidak lagi meminta restu kedua orang tua, sebab sudah melakukan
‘lagaran’ dahulu, jika cocok ya jadi untuk menikah, tapi jika tidak cocok, maka
urunglah dinikahi.
Sang Prabhu juga membangun candi, sebagai tempat
bagi masyarakat yang meninggal dan jenasahnya dibakar disana, agar bisa kembali
sempurna pulang ke alam sunyi. Kerak kali, sat upacara pembakaran mayat, Sang
Prabhu berkenan hadir untuk memberikan penghormatannya.
Itulah adat kebiasaan para Raja dijaman dulu.
Oleh karenanya aku memohon kepada Dewa (Tuhan), semoga Sang Prabhu (Raja
sekarang) juga bersedia membangun candi untuk membakar mayat, sebagaimana adat
para Raja jaman dulu, sebab diriku ini putra dhalang, jangan sampai lama-lama
menjadi roh penasaran, jangan lama-lama jasadku berwujud utuh tanpa nyaea, aku
berharap agar secepatnya bisa kembali ke asalnya. (Disini jelas, guru
Darmagandhul, penulis buku ini seorang beragama Syiwa Buddha/Buda : DS).
Setelah Sang Prabhu Jayabhaya moksha, diikuti
kemudian oleh Patih Buta Locaya dan Senapati Tunggulwulung, begitu juga putri
Sang Prabhu Ni Mas Pagedhongan, semua ikut moksha. (Sang Prabhu Jayabhaya
benar-benar moksha, artinya menyatu kembali dengan Brahman, sedangkan ketiga
tokoh yang lain hanya sekedar berpindah alam : DS)
Buta Locaya lantas menjadi Raja Makhluk Halus di
Kedhiri. Tunggulwulung menjadi Raja Makhluk halus di Gunung Kelud sedangkan Ni
Mas Ratu Pagedhongan lantas menjadi Raja Makhluk halus di Laut Selatan,
bergelar Ratu Anginangin.
Adapula orang yang disayangi oleh Sang Prabhu
Jayabhaya, bernama Kramatruna. Kala Sang Prabhu belom moksha, Kramatruna
diperintahkan tinggal di danau Kalasan. Setelah tiga ratus tahun kemudian,
putra Raja di Prambanan, bernama Lembumardadu atau Sang Pujaningrat naik tahta
di Kedhiri, istananya terletak di barat sungai. KEDHI berarti wanita yang sudah
tidak mendapatkan datang bulan (menopause) sedangkan DHIRI berarti tubuh. Yang
memberi nama adalah Dewi Kilisuci, disesuaikan dengan kondisi beliau. Oleh
karenanya Kedhiri diangap negara wanita, jika berperang kebanyakan menang, akan
tetapi jika diserang banyak kalahnya. Watak para wanita Kedhiri, besar hati
(percaya diri) sebab terkena aura Sang Retna Dewi Kili Suci. Retna Dewi
Kilisuci itu adalah saudara tua Raja di Jenggala (Putra prabhu Airlangga,
leluhur Raja-Raja Kedhiri dan Jenggala : DS). Pertapaan Sang Retna Dewi Kili
Suci ada di sebuah gua, bernama Selamangleng, terletak dilereng gunung Wilis.
KETERANGAN TAMBAHAN.
Kanjeng Susuhunan Ampeldênta mempunyai seorang
putri bernama Ratu Patimah kala menikah dengan Nyi Ageng Bela. Ratu Patimah
menikah dengan Pangeran Ibrahim di Karang Kemuning. Setelah Pangeran Ibrahim
Karang Kemuning wafat, Ratu Patimah lantas bertapa di Manyura. Pernikahan Ratu
Patimah dengan Pangeran Ibrahim memiliki seorang putri bernama Nyi Ageng Malaka,
dijdohkan dengan Raden Patah.
Raden Patah (Raden Praba), putra Prabhu Brawijaya
dengan putriChinayang lantas diberikan kepada Arya Damar Adipati Palembang.
Setelah naik tahta bergelar Sultan Syah ‘Alam Akbar Sirullah
Kalifaturrasul Amirilmu’minin Rajudil ’Abdu’l Hamid Khaq, atau Sultan
Adi Surya ‘Alam ing Bintara (Dêmak)
Putri Champa yang bernama Dewi Anarawati (Ratu
Emas) yang diperistri Prabhu Brawijaya mempunyai tiga putra.
1.
Putri bernama Rêtna Pambayun,
dijodohkan dengan Adipati Andayaningrat penguasa Pêngging, kala jaman
pemberontakan negaraBalikepada Majapahit.
2.
Raden Arya Lêmbupêtêng Adipati
di Madura
3.
Masih teramat muda dan suka
bertapa, bernama Raden Gugur, setelah muksa bergelar Sunan Lawu.
Kakak Putri Champa bernama Pismanhawanti dinikahi putra Syeh Jumadil
Kubro yang terlahir dari Siti Fatimah Kamarumi, masih keturunan Kangjeng Nabi
Muhammad, bernama Maulana Ibrahim, berasal dari Jedah, lantas pindah ke Champa,
menjadi imam di tanah Asmara di Champa, sehingga lantas terkenal dengan gelar
Syeh Maulana Ibrahim Asmara. Beliaulah ayahanda Susuhunan Ampeldênta
(Sunan Ampel),Surabaya. Sedangkan adik putrid Champa laki-laki bernama
Aswatidab. Sudah memeluk agama Islam, berguru kepada Syeh Maulana Ibrahim,
lantas naik tahta menjadi Raja Pandhita di Champa menggantikan kedudukan
ayahandanya. Berputra satu bernama Raden Rahmad. Sedangkan kakak putrid Champa
yang dinikahi Maulana Ibrahim, berputra Sayid Ali Rahmad, dijaa terkenal dengan
gelar Susuhunan Katib ing Surabaya, bertempat di Ampeldhenta lantas terkenal
dengan gelar Susuhunan Ampeldênta (Sunan Ampel). Champa adaah wilayah yang
terletak di India Belakang (IndoChina). Sayyid Kramat yang diceritakan dalam
buku ini bergelar Susuhunan ing Bonang (Sunan Benang).