Serat Gatholoco sendiri merupakan karya sastra Jawa anonim yang muncul pada awal abad 19 di jaman Mataram Surakarta.
Yang menarik adalah penyampaiannya yang sangat kontroversif dan vulgar. Tokoh Gatholoco dalam buku ini digambarkan sebagai sosok yang sangat buruk dan menjijikkan. Nama Gatholoco saja sudah memiliki arti yang sangat tabu yaitu “kelamin pria yang digosok”.
Gatholoco bukannya anti Islam, melainkan menggugat ketaktuntasan pemahaman terhadap Islam
Salah satu karya sastra jawa yang mengundang kontroversi yang seakan tak berujung adalah Serat Gatholoco, Saking kontroversialnya sehingga pernah dilarang peredarannya.
SERAT GATHOLOCO (1)
Diambil dari naskah asli bertuliskan huruf Jawa
yang disimpan oleh
PRAWIRATARUNA.
PUPUH I
MIJIL
Diambil dari naskah asli bertuliskan huruf Jawa
yang disimpan oleh
PRAWIRATARUNA.
PUPUH I
MIJIL
(Pembukaan, Kumpulan
Syair I, Lagu ber-irama Mijil)
1. Prana putêk kapêtêk
ngranuhi, wiyoganing batos, raosing tyas karaos kêkêse, têmah bangkit upami
nyêlaki, rudah gung prihatin, nalangsa kalangkung.
Oleh sebab sesak yang
semakin menjadi-jadi, yang muncul dalam hati, terasa bagai diiris-iris, bangkit
semakin tak tertahan lagi, gelisah dan gundah, nelangsa berlebih-lebih.
2. Jroning kingkin
sinalamur nulis, sêrat Gatholoco, cipteng nala ngupaya lêjare, tarlen muhung
mrih ayêming galih, ywa kalatur sêdhih, minangka panglipur.
Ditengah keresahan
sengaja aku menulis untuk menghibur, (menulis) sêrat Gatholoco, maksud hati
mencari kejelasan, sehingga bisa menentramkan hati, supaya tidak sedih
berlarut-larut, sebagai sarana menghibur diri.
3. Kang kinarya bebukaning
rawi, Rêjasari pondhok, wontên Kyai jumênêng Gurune, tiga pisan wasis muruk
ilmi, kathah para santri, kapencut maguru.
Sebagai cerita pembuka,
(tersebutlah sebuah) pondok (pesantren) Rêjasari, ada Kyai berkedudukan sebagai
guru, berjumlah tiga orang sangat pandai mengajarkan ilmu, banyak para santri,
terpikat untuk berguru.
4. Bakda subuh wau tiga
Kyai, rujuk tyasnya condhong, Guru tiga ngrasuk busanane, arsa linggar sadaya
miranti, duk wanci byar enjing, sarêng angkatipun.
Seusai (shalat) Subuh
ketiga Kyai (tersebut), sepakat bersama-sama, ketiga Guru berganti busana,
hendak melakukan perjalanan semua (santri) telah menanti, tepat ketika pagi
menjelang, berangkatlah bersama-sama.
5. Murid nênêm umiring
tut wuri, samya anggêgendhong, kang ginendhong kitab sadayane, gunggung kitab
kawan likur iji, ciptaning panggalih, tuwi mitranipun.
Diiringi enam orang murid
mengikut dibelakang, masing-masing membawa, yang dibawa banyak kitab, jumlah
kitab sebanyak dua puluh empat buah, tujuan perjalanan, hendak bertandang ke
tempat seorang sahabat.
6. Ingkang ugi dadya Guru
santri, ing Cêpêkan pondhok, Kyai Kasan Bêsari namane, wus misuwur yen limpad
pribadi, putus sagung ilmi, pra Guru maguru.
Yang juga berkedudukan
sebagai seorang Guru dari banyak para santri, di pondok (pesantren) Cêpêkan,
bernama Kyai Kasan Bêsari (Hassan Bashori), sudah terkenal akan kepandaiannya,
menguasai segala macam ilmu, sehingga para Guru-pun berguru (kepadanya).
7. Datan wontên ingkang
animbangi, pinunjul kinaot, langkung agêng pondhokan santrine, krana saking
kathahipun murid, ujaring pawarti, pintên-pintên atus.
Tak ada yang mampu
mengimbangi, terkenal dan dihormati, sangat besar pondok pesantrennya, karena
memang muridnya-pun sangat banyak, menurut kabar, beratas-ratus (orang).
8. Amangsuli kang lagya
lumaris, sadaya mangulon, sêpi mendhung sumilak langite, saya siyang lampahnya
wus têbih, sunaring hyang rawi, sagêt bênteripun.
Kembali menceritakan
mereka yang tengah berjalan, bergerak ke barat, tak ada mendung bergelayut
sangat terang langit dikala itu, semakin siang perjalanan mereka semakin jauh,
sinar hyang rawi (matahari), terasa menyengat panas.
9. Marma reren
sapinggiring margi, ngandhap wringin ayom, ayêm samya anyêrêng kacune,
tinamakkên ayoming waringin, pan kinarya linggih, jengkeng sêmu timpuh.
Oleh karenanya memutuskan
untuk berhenti dipinggir jalan, tepat dibawah pohon beringin yang sejuk, segar
terasa semua mengeluarkan sapu tangan ( pada jaman itu sapu tangan yang dipakai
kebanyakan berukuran besar, seukuran handuk mini pada jaman sekarang),
dibentangkan dibawah beringin, dipakai sebagai alas duduk, berjongkok setengah
bersimpuh.
10. Êcisira cinublêskên
siti, murid sami lunggoh, munggeng ngarsa ajejer lungguhe, kasiliring samirana
ngidid, pating clumik muji, têsbehnya den etung.
Tongkat ditancapkan
diatas tanah, para murid telah duduk semua, mengambil posisi duduk didepan (
dan menghadap Kyai Guru) berjajar-jajar, diterpa hembusan angin, bibir (ketiga
Kyai Guru) berkomat-kamit melantunkan doa, sembari menghitung tasbih (masing-masing).
11. Murid nênêm ambelani
muji, dikir lenggak-lenggok, manggut-manggut sirah gedheg-gedheg, dereng dangu
nulya aningali, mring sajuga janmi, lir dandang lumaku.
Keenam murid mengikut
berdoa, berdzikir kepalanya melenggak-lenggok, mengangguk-angguk kadang
bergeleng-geleng pula, belum begitu lama lantas melihat, seorang manusia,
(buruk rupa) bagaikan seekor burung gagak yang tengah berjalan.
Pupuh II
Dandanggula
(Kumpulan Syair II, Lagu ber-irama Dandanggula)
Dandanggula
(Kumpulan Syair II, Lagu ber-irama Dandanggula)
1. Êndhek cilik remane
barintik, tur aburik wau rainira, ciri kera ing mripate, alis barungut têpung,
irung sunthi cangkême nguplik, waja gingsul tur pêthak, lambe kandêl biru,
janggut goleng sêmu nyênthang, pipi klungsur kupingira anjêpiping, gulu panggêl
tur cêndhak.
Berpostur pendek dan
kecil dengan rambut keriting, kulit wajahnya kasar, bermata kera (arah pandang
mata yang tidak normal), alisnya tebal dan bertemu ujung keduanya, hidung pesek
mulut maju, gigi gingsul besar berwarna putih, bibirnya tebal berwarna biru,
janggut tumpul (tidak runcing) dan melebar jelek, pipinya kempot bentuk daun
telinga maju (seperti telinga gajah), sedangkan leher besar dan pendek.
2. Pundhak brojol sêmune
angêmpis, punang asta cêndhak tur kuwaga, ting carênthik darijine, alêkik
dhadhanipun, wêtêng bekel bokongnya canthik, sêmu ekor dhêngkulnya, lampahipun
impur, kulit ambêsisik mangkak, ambêngkerok napasira kêmpas-kêmpis, sayak lêsu
kewala.
Pundak turun seperti
luruh kebawah, tangannya pendek dan besar, jari jemarinya tidak rapi jelek,
dadanya kempis, perut buncit kecil pantat kecil, lututnya kecil, tidak rapi
saat berjalan, kulit tubuh seolah bersisik dengan warna gelap, saat bernafas
suaranya terdengar dan tersengal-sengal, bagaikan orang yang tengah kelelahan.
3. Bêdudane pring tutul
kinisik, apan blorok kuninge sêmu bang, asungsun tiga ponthange, bongkot têngah
lan pucuk, timah budhêng ingkang kinardi, cupak irêng tur tuwa, gripis
nyênyêpipun, mêlêng-mêlêng sêmu nglênga, labêt saking kenging kukus sabên ari,
pangoturik den asta.
Pipa rokok yang dibawa
berasal dari pohon bambu berukuran kecil yang digosok, warnanya kuning bersemu
merah, diberikan hiasan pada tiga tempat, dibagian pangkal tengah dan ujung,
timah hitam yang dipakai hiasan, terlihat jelek berwarna hitam pekat, dibagian
untuk menghisap telah gripis (sedikit rusak), berminyak kehitam-hitaman, karena
setiap saat terkena asap, walaupun begitu tetap saja dipakai.
4. Kandhutane klelet
gangsal glindhing, alon lenggah cakêt Guru tiga, sarwi angempos napase,
kapyarsa sênguk-sênguk, gandanira prêngus asangit, tumanduk mring panggenan,
santri ingkang lungguh, Gatholoco ngambil sigra, kandhutane têgêsan kang aneng
kendhit, gya nitik karya brama.
Bekal yang dibawa adalah
candu tiga gelintir, pelan mengambil duduk dekat dengan ketiga Guru, terdengar
suara nafasnya, tercium bau badan yang tidak sedap, prengus (istilah Jawa untuk
mendefinisikan jenis bau yang mirip dengan bau kambing) sangit (istilah Jawa
untuk mendefinisikan bau dari sisa pembakaran), menebar ke sekeliling, ditempat
mana para santri tengah duduk, Gatholoco segera mengambil, bekal yang tersimpan
dalam buntalan yang terikat dipinggangnya, lantas memantik korek api.
5. Nulya udut kebulnya
ngêbuli, para santri kawratan sêdaya, asêngak sanget sangite, murid nênêm
tumungkul, mêrgo sarwi atutup rai, sawêneh mithes grana, kang sawêneh watuk,
mingsêr saking palênggahan, samya pindhah neng wurine guruneki, nyingkiri
punang ganda.
Seketika asap rokok
menyebar, semua santri terganggu, sêngak (istilah Jawa untuk mendefinisikan bau
dari benda yang kotor) sangat sangit (lihat keterangan di syair: 5 diatas),
kontan keenam murid mengalihkan pandangan dari Gatholoco, sembari menutup wajah
(karena terganggu asap berbau tidak sedap), seorang lagi memencet hidung, seorang
lagi terbatuk-batuk, segera mereka bergeser, duduk dibelakang para guru mereka,
menghindari bau yang tak sedap.
6. Guru tiga waspada
ningali, mring Wajuja ingkang lagya prapta, kawuryan mêsum ulate, sareng denira
nebut, astagapirullah-hal-ngadim, dubillah minas setan, ilaha lallahu, lah iku
manusa apa, salawase urip aneng dunya iki, ingsun durung tumingal.
Ketiga guru memperhatikan
dengan seksama, kepada Wajuja (diambil dari nama sekelompok makhuk bar-bar
pengganggu yang tertulis dalam Al-Qur’an, yaitu Ya’juj wa Ma’juj) yang baru
datang ini, terlihat tidak patut tingkahnya, hampir bersamaan mereka berucap,
Astaghfirullahal ‘adzim (Aku memohon ampun kepada Allah Yang Maha Agung),
Audzubillahiminassyaithon (Aku berlindung kepada Allah dari gangguan setan),
Laillahailallahu (Tiada Tuhan selain Allah), Manusia apakan ini? selama hidupku
didunia ini, aku belum pernah menjumpai.
7. Janma ingkang rupane
kayeki, sarwi noleh ngandika mring sabat, Padha tingalana kuwe, manusa kurang
wuruk, datan wêruh sakehing Nabi, neng dunya wus cilaka, iku durung besuk,
siniksa aneng akherat, rikêl sewu siksane neng dunya kuwi, mulane wêkas
ingwang.
Manusia yang berwujud
seperti ini, sembari menoleh berkatalah kepada para sahabat (para santri),
Lihatlah itu, manusia kurang pengajaran, tidak mengenal Para Nabi, didunia
sudah celaka, belum kelak, disiksa di akherat, berlipat seribu siksaannya lebih
dari siksaan didunianya kini, oleh karenanya aku berpesan.
8. Ingkang pêthel sinauwa
ngaji, amrih wêruh sarak Rasulullah, slamêt dunya akherate, sapa kang nêja
manut, ing saringat Andika Nabi, mêsthi oleh kamulyan, sapa kang tan manut,
bakale nêmu cilaka, Ahmad Ngarip mangkana denira eling, Janma iku sun kira.
Yang rajin dalam mengaji,
supaya mengetahui syari’at Rasulullah, akan selamat dunia akhirat, barangsiapa
yang berkehendak menurut, kepada syari’at Baginda Nabi, pastilah akan
mendapatkan kemuliaan, barangsiapa yang tak menurut, bakal menemukan celaka,
begitulah pesan dari Ahmad Ngarip (Ahmad ‘Arif), Manusia itu aku duga.
9. Dudu anak manusa
sayêkti, anak Bêlis Setan Brêkasakan, turune Mêmêdi Wewe, Gatholoco duk
ngrungu, den wastani yen anak Bêlis, langkung sakit manahnya, nanging tan
kawêtu, ngungkapi gembolanira, kleletipun sajêbug sigra ingambil, den untal
babar pisan.
Bukan anak manusia
sesungguhnya, akan tetapi anak Iblis Setan Brêkasakan (makhluk yang tidak
karu-karuan hidupnya), keturunan Mêmêdi (makhluk yang menakutkan) atau Wewe
(Jin perempuan yang berwujud jelek), Gatholoco mendengar akan hal itu, disebut
sebagai anak Iblis, sangat-sangat sakit hatinya, akan tetapi didiamkan saja,
membuka gembolannya kembali, diambilnya candu sekepal, dimakan sekaligus
semuanya.
10. Pan sakala êndême
mratani, mrasuk badan kulit dagingira, ludira otot bayune, balung kalawan
sungsum, kêkiyatan sadaya pulih, kawistara njrêbabak, cahyanipun santun, Guru
tiga wrin waspada, samya eram tyasnya ngungun tan andugi, pratingkah kang
mangkana.
Seketika mabuklah dia,
candu merasuk badan kulit dan dagingnya, darah otot dan kekuatannya, tulang dan
sumsumnya, seluruh kekuatan terasa pulih, dapat dilihat dari wajahnya yang
memerah, cahaya wajahnya kembali, ketiga Guru waspada mengamati, heran hati
mereka tak bisa memahami, kelakuan yang seperti itu.
11. Abdul Jabar ngucap
mring Mad Ngarip, Lah ta mara age takonana, apa kang den untal kuwe, lan sapa
aranipun, sarta manêh wismane ngêndi, apa panggotanira, ing sadinanipun, lan
apa tan adus toya, salawase dene awake mbasisik, janma iku sun kira.
Abdul Jabar berkata
kepada (Ah)mad Ngarip (Ahmad ‘Arif), Segeralah kamu tanyai, apa yang dimakannya
barusan, dan siapa namanya, dan lagi rumahnya dimana, apa pekerjaannya,
pekerjaan sehari-harinya, dan apakah tidak pernah mandi, sehingga kulitnya
bersisik, manusia ini aku kira.
12. Ora ngrêti nyarak
lawan sirik, najis mêkruh batal lawan karam, mung nganggo sênênge dhewe,
sanajan iwak asu, daging celeng utawa babi, anggêr doyan pinangan, ora nduwe
gigu, tan pisan wêdi duraka, Ahmad Ngarip mrêpeki gya muwus aris, Wong ala
ingsun tannya.
Tidak mengetahui syari’at
dan larangannya, najis makruh batal apalagi haram, hanya menuruti kesenangan
sendiri, walaupun daging anjing, daging celeng maupun babi, kalau suka pasti
dimakannya, tak memiliki rasa jijik, tak takut akan durhaka, Ahmad Ngarip
(Ahmad ‘Arif) mendekat dan segera berkata, Hai manusia jelek aku hendak
bertanya.
13. Lah ta sapa aranira
yêkti, sarta manêh ngêndi wismanira, kang tinannya lon saure, Gatholoco aranku,
ingsun janma Lanang Sujati, omahku têngah jagad, Guru tiga ngrungu, sarêng
denya latah-latah, Bêdhes buset aran nora lumrah janmi, jênêngmu iku karam.
Siapakah namamu
sesungguhnya? Dan lagi dimanakah rumahmu? Yang ditanya menjawab pelan,
Gatholoco namaku, aku manusia Lanang Sujati ( Lelaki Sejati ), rumahku
ditengah-tengah jagad, Ketiga Guru mendengar, bersamaan mereka tertawa
terbahak-bahak, Monyet! Busyet! Nama tidak umum dipakai manusia, namamu saja
itu sudah haram!
14. Gatholoco ngucap
tannya aris, Dene sira padha latah-latah, anggêguyu apa kuwe, Kyai Guru sumaur,
Krana saking tyasingsun gêli, gumun mring jênêngira, Gatholoco muwus, Ing
mangka jênêng utama, Gatho iku têgêse Sirah Kang Wadi, Loco Pranti Gosokan.
Gatholoco tenang
bertanya, Kenapa kalian terbahak-bahak? Mentertawai apakah? Kyai Guru menjawab,
Hatiku sangat geli, heran kepada namamu, Gatholoco berkata, Padahal itu adalah
nama utama, Gatho itu artinya Kepala Yang Dirahasiakan ( Gathel : Penis ), Loco
artinya Dikocok.
15. Marma kabeh padha sun
lilani, sakarsane ngundang marang ingwang, yekti sun sauri bae, têtêlu
araningsun, kang sawiji Barang Kinisik, siji Barang Panglusan, nanging kang
misuwur, manca pat manca lêlima, iya iku Gatholoco aran mami, prasaja tandha
priya.
Maka aku rela jika kalian
semua, mau memanggil aku apa, pasti aku akan terima, tiga namaku, yang pertama
Barang Kinisik ( Barang yang sering digosok-gosokkan kepada lobang), satunya
lagi Barang Panglusan (Barang yang sering dihaluskan dengan cara dikeluar
masukkan), akan tetapi yang terkenal, di empat penjuru angin bahkan di-lima penjuru
angin, ialah Gatholoco, tanda seorang pria sejati.
16. Kyai Guru mangsuli
Tan bêcik, jênêngira iku luwih ala, jalaran bangêt sarune, karam najis lan
mêkruh, iku jênêng anyilakani, jênêng dadi duraka, jênêng ora patut, wus
kasêbut jroning kitab, nyirik karam yen mati munggah suwargi, kang karam
manjing nraka.
Kyai Guru menjawab Tidak
patut, namamu itu sangat-sangat jelek, karena sangat tabunya, bukah hanya
makruh tapi sudah najis bahkan haram! Itu nama yang mencelakakan, nama yang
membuat orang menjadi durhaka, nama yang tidak patut, sudah disebutkan didalam
kitab, apabila menghindari hal-hal yang haram jika meninggal kelak pasti akan
naik ke surga, yang tidak menghindari hal-hal yang haram pasti kelak masuk
neraka.
17. Gatholoco menjêp
ngiwi-iwi, gya gumujêng nyawang Guru tiga, sarwi mangkana ujare, Sarak-ira kang
kliru, sapa bisa angêlus wadi, yêkti janma utama, iku apêsipun, priyayi kang
lungguh Dêmang, myang Panewu Wadana Kliwon Bupati, liyane ora bisa.
Gatholoco mencibir
memperolok-olok, lantas tertawa memperhatikan ketiga Guru, sembari berkata
demikian, Pemahamanmu atas syari’at salah! Siapa saja yang mampu mengerti
rahasia (proses penciptaan melalui sexualitas), dialah manusia utama, hal
inilah kelemahan, seluruh manusia walaupun berpangkat Dêmang, berpangkat Panêwu
berpangkat Wadana berpangkat Kliwon maupun Bupati sekalipun, semuanya tidak ada
yang memahami.
________________
________________
Tidak ada komentar:
Posting Komentar