1/11/2014

serat gatoloco 1


Serat Gatholoco sendiri merupakan karya sastra Jawa anonim yang muncul pada awal abad 19 di jaman Mataram Surakarta.


Yang menarik  adalah penyampaiannya yang sangat kontroversif dan vulgar. Tokoh Gatholoco dalam buku ini digambarkan sebagai sosok yang sangat buruk dan menjijikkan. Nama Gatholoco saja sudah memiliki arti yang sangat tabu yaitu “kelamin pria yang digosok”.


Gatholoco bukannya anti Islam, melainkan menggugat ketaktuntasan pemahaman terhadap Islam

Salah satu karya sastra jawa yang mengundang kontroversi yang seakan tak berujung adalah Serat Gatholoco, Saking kontroversialnya sehingga pernah dilarang peredarannya. 
SERAT GATHOLOCO (1)
Diambil dari naskah asli bertuliskan huruf Jawa
yang disimpan oleh
PRAWIRATARUNA.

PUPUH I
MIJIL
(Pembukaan, Kumpulan Syair I, Lagu ber-irama Mijil)
1. Prana putêk kapêtêk ngranuhi, wiyoganing batos, raosing tyas karaos kêkêse, têmah bangkit upami nyêlaki, rudah gung prihatin, nalangsa kalangkung.
Oleh sebab sesak yang semakin menjadi-jadi, yang muncul dalam hati, terasa bagai diiris-iris, bangkit semakin tak tertahan lagi, gelisah dan gundah, nelangsa berlebih-lebih.
2. Jroning kingkin sinalamur nulis, sêrat Gatholoco, cipteng nala ngupaya lêjare, tarlen muhung mrih ayêming galih, ywa kalatur sêdhih, minangka panglipur.
Ditengah keresahan sengaja aku menulis untuk menghibur, (menulis) sêrat Gatholoco, maksud hati mencari kejelasan, sehingga bisa menentramkan hati, supaya tidak sedih berlarut-larut, sebagai sarana menghibur diri.
3. Kang kinarya bebukaning rawi, Rêjasari pondhok, wontên Kyai jumênêng Gurune, tiga pisan wasis muruk ilmi, kathah para santri, kapencut maguru.
Sebagai cerita pembuka, (tersebutlah sebuah) pondok (pesantren) Rêjasari, ada Kyai berkedudukan sebagai guru, berjumlah tiga orang sangat pandai mengajarkan ilmu, banyak para santri, terpikat untuk berguru.
4. Bakda subuh wau tiga Kyai, rujuk tyasnya condhong, Guru tiga ngrasuk busanane, arsa linggar sadaya miranti, duk wanci byar enjing, sarêng angkatipun.
Seusai (shalat) Subuh ketiga Kyai (tersebut), sepakat bersama-sama, ketiga Guru berganti busana, hendak melakukan perjalanan semua (santri) telah menanti, tepat ketika pagi menjelang, berangkatlah bersama-sama.
5. Murid nênêm umiring tut wuri, samya anggêgendhong, kang ginendhong kitab sadayane, gunggung kitab kawan likur iji, ciptaning panggalih, tuwi mitranipun.
Diiringi enam orang murid mengikut dibelakang, masing-masing membawa, yang dibawa banyak kitab, jumlah kitab sebanyak dua puluh empat buah, tujuan perjalanan, hendak bertandang ke tempat seorang sahabat.
6. Ingkang ugi dadya Guru santri, ing Cêpêkan pondhok, Kyai Kasan Bêsari namane, wus misuwur yen limpad pribadi, putus sagung ilmi, pra Guru maguru.
Yang juga berkedudukan sebagai seorang Guru dari banyak para santri, di pondok (pesantren) Cêpêkan, bernama Kyai Kasan Bêsari (Hassan Bashori), sudah terkenal akan kepandaiannya, menguasai segala macam ilmu, sehingga para Guru-pun berguru (kepadanya).
7. Datan wontên ingkang animbangi, pinunjul kinaot, langkung agêng pondhokan santrine, krana saking kathahipun murid, ujaring pawarti, pintên-pintên atus.
Tak ada yang mampu mengimbangi, terkenal dan dihormati, sangat besar pondok pesantrennya, karena memang muridnya-pun sangat banyak, menurut kabar, beratas-ratus (orang).
8. Amangsuli kang lagya lumaris, sadaya mangulon, sêpi mendhung sumilak langite, saya siyang lampahnya wus têbih, sunaring hyang rawi, sagêt bênteripun.
Kembali menceritakan mereka yang tengah berjalan, bergerak ke barat, tak ada mendung bergelayut sangat terang langit dikala itu, semakin siang perjalanan mereka semakin jauh, sinar hyang rawi (matahari), terasa menyengat panas.
9. Marma reren sapinggiring margi, ngandhap wringin ayom, ayêm samya anyêrêng kacune, tinamakkên ayoming waringin, pan kinarya linggih, jengkeng sêmu timpuh.
Oleh karenanya memutuskan untuk berhenti dipinggir jalan, tepat dibawah pohon beringin yang sejuk, segar terasa semua mengeluarkan sapu tangan ( pada jaman itu sapu tangan yang dipakai kebanyakan berukuran besar, seukuran handuk mini pada jaman sekarang), dibentangkan dibawah beringin, dipakai sebagai alas duduk, berjongkok setengah bersimpuh.
10. Êcisira cinublêskên siti, murid sami lunggoh, munggeng ngarsa ajejer lungguhe, kasiliring samirana ngidid, pating clumik muji, têsbehnya den etung.
Tongkat ditancapkan diatas tanah, para murid telah duduk semua, mengambil posisi duduk didepan ( dan menghadap Kyai Guru) berjajar-jajar, diterpa hembusan angin, bibir (ketiga Kyai Guru) berkomat-kamit melantunkan doa, sembari menghitung tasbih (masing-masing).
11. Murid nênêm ambelani muji, dikir lenggak-lenggok, manggut-manggut sirah gedheg-gedheg, dereng dangu nulya aningali, mring sajuga janmi, lir dandang lumaku.
Keenam murid mengikut berdoa, berdzikir kepalanya melenggak-lenggok, mengangguk-angguk kadang bergeleng-geleng pula, belum begitu lama lantas melihat, seorang manusia, (buruk rupa) bagaikan seekor burung gagak yang tengah berjalan.
Pupuh II
Dandanggula
(Kumpulan Syair II, Lagu ber-irama Dandanggula)
1. Êndhek cilik remane barintik, tur aburik wau rainira, ciri kera ing mripate, alis barungut têpung, irung sunthi cangkême nguplik, waja gingsul tur pêthak, lambe kandêl biru, janggut goleng sêmu nyênthang, pipi klungsur kupingira anjêpiping, gulu panggêl tur cêndhak.
Berpostur pendek dan kecil dengan rambut keriting, kulit wajahnya kasar, bermata kera (arah pandang mata yang tidak normal), alisnya tebal dan bertemu ujung keduanya, hidung pesek mulut maju, gigi gingsul besar berwarna putih, bibirnya tebal berwarna biru, janggut tumpul (tidak runcing) dan melebar jelek, pipinya kempot bentuk daun telinga maju (seperti telinga gajah), sedangkan leher besar dan pendek.
2. Pundhak brojol sêmune angêmpis, punang asta cêndhak tur kuwaga, ting carênthik darijine, alêkik dhadhanipun, wêtêng bekel bokongnya canthik, sêmu ekor dhêngkulnya, lampahipun impur, kulit ambêsisik mangkak, ambêngkerok napasira kêmpas-kêmpis, sayak lêsu kewala.
Pundak turun seperti luruh kebawah, tangannya pendek dan besar, jari jemarinya tidak rapi jelek, dadanya kempis, perut buncit kecil pantat kecil, lututnya kecil, tidak rapi saat berjalan, kulit tubuh seolah bersisik dengan warna gelap, saat bernafas suaranya terdengar dan tersengal-sengal, bagaikan orang yang tengah kelelahan.
3. Bêdudane pring tutul kinisik, apan blorok kuninge sêmu bang, asungsun tiga ponthange, bongkot têngah lan pucuk, timah budhêng ingkang kinardi, cupak irêng tur tuwa, gripis nyênyêpipun, mêlêng-mêlêng sêmu nglênga, labêt saking kenging kukus sabên ari, pangoturik den asta.
Pipa rokok yang dibawa berasal dari pohon bambu berukuran kecil yang digosok, warnanya kuning bersemu merah, diberikan hiasan pada tiga tempat, dibagian pangkal tengah dan ujung, timah hitam yang dipakai hiasan, terlihat jelek berwarna hitam pekat, dibagian untuk menghisap telah gripis (sedikit rusak), berminyak kehitam-hitaman, karena setiap saat terkena asap, walaupun begitu tetap saja dipakai.
4. Kandhutane klelet gangsal glindhing, alon lenggah cakêt Guru tiga, sarwi angempos napase, kapyarsa sênguk-sênguk, gandanira prêngus asangit, tumanduk mring panggenan, santri ingkang lungguh, Gatholoco ngambil sigra, kandhutane têgêsan kang aneng kendhit, gya nitik karya brama.
Bekal yang dibawa adalah candu tiga gelintir, pelan mengambil duduk dekat dengan ketiga Guru, terdengar suara nafasnya, tercium bau badan yang tidak sedap, prengus (istilah Jawa untuk mendefinisikan jenis bau yang mirip dengan bau kambing) sangit (istilah Jawa untuk mendefinisikan bau dari sisa pembakaran), menebar ke sekeliling, ditempat mana para santri tengah duduk, Gatholoco segera mengambil, bekal yang tersimpan dalam buntalan yang terikat dipinggangnya, lantas memantik korek api.
5. Nulya udut kebulnya ngêbuli, para santri kawratan sêdaya, asêngak sanget sangite, murid nênêm tumungkul, mêrgo sarwi atutup rai, sawêneh mithes grana, kang sawêneh watuk, mingsêr saking palênggahan, samya pindhah neng wurine guruneki, nyingkiri punang ganda.
Seketika asap rokok menyebar, semua santri terganggu, sêngak (istilah Jawa untuk mendefinisikan bau dari benda yang kotor) sangat sangit (lihat keterangan di syair: 5 diatas), kontan keenam murid mengalihkan pandangan dari Gatholoco, sembari menutup wajah (karena terganggu asap berbau tidak sedap), seorang lagi memencet hidung, seorang lagi terbatuk-batuk, segera mereka bergeser, duduk dibelakang para guru mereka, menghindari bau yang tak sedap.
6. Guru tiga waspada ningali, mring Wajuja ingkang lagya prapta, kawuryan mêsum ulate, sareng denira nebut, astagapirullah-hal-ngadim, dubillah minas setan, ilaha lallahu, lah iku manusa apa, salawase urip aneng dunya iki, ingsun durung tumingal.
Ketiga guru memperhatikan dengan seksama, kepada Wajuja (diambil dari nama sekelompok makhuk bar-bar pengganggu yang tertulis dalam Al-Qur’an, yaitu Ya’juj wa Ma’juj) yang baru datang ini, terlihat tidak patut tingkahnya, hampir bersamaan mereka berucap, Astaghfirullahal ‘adzim (Aku memohon ampun kepada Allah Yang Maha Agung), Audzubillahiminassyaithon (Aku berlindung kepada Allah dari gangguan setan), Laillahailallahu (Tiada Tuhan selain Allah), Manusia apakan ini? selama hidupku didunia ini, aku belum pernah menjumpai.
7. Janma ingkang rupane kayeki, sarwi noleh ngandika mring sabat, Padha tingalana kuwe, manusa kurang wuruk, datan wêruh sakehing Nabi, neng dunya wus cilaka, iku durung besuk, siniksa aneng akherat, rikêl sewu siksane neng dunya kuwi, mulane wêkas ingwang.
Manusia yang berwujud seperti ini, sembari menoleh berkatalah kepada para sahabat (para santri), Lihatlah itu, manusia kurang pengajaran, tidak mengenal Para Nabi, didunia sudah celaka, belum kelak, disiksa di akherat, berlipat seribu siksaannya lebih dari siksaan didunianya kini, oleh karenanya aku berpesan.
8. Ingkang pêthel sinauwa ngaji, amrih wêruh sarak Rasulullah, slamêt dunya akherate, sapa kang nêja manut, ing saringat Andika Nabi, mêsthi oleh kamulyan, sapa kang tan manut, bakale nêmu cilaka, Ahmad Ngarip mangkana denira eling, Janma iku sun kira.
Yang rajin dalam mengaji, supaya mengetahui syari’at Rasulullah, akan selamat dunia akhirat, barangsiapa yang berkehendak menurut, kepada syari’at Baginda Nabi, pastilah akan mendapatkan kemuliaan, barangsiapa yang tak menurut, bakal menemukan celaka, begitulah pesan dari Ahmad Ngarip (Ahmad ‘Arif), Manusia itu aku duga.
9. Dudu anak manusa sayêkti, anak Bêlis Setan Brêkasakan, turune Mêmêdi Wewe, Gatholoco duk ngrungu, den wastani yen anak Bêlis, langkung sakit manahnya, nanging tan kawêtu, ngungkapi gembolanira, kleletipun sajêbug sigra ingambil, den untal babar pisan.
Bukan anak manusia sesungguhnya, akan tetapi anak Iblis Setan Brêkasakan (makhluk yang tidak karu-karuan hidupnya), keturunan Mêmêdi (makhluk yang menakutkan) atau Wewe (Jin perempuan yang berwujud jelek), Gatholoco mendengar akan hal itu, disebut sebagai anak Iblis, sangat-sangat sakit hatinya, akan tetapi didiamkan saja, membuka gembolannya kembali, diambilnya candu sekepal, dimakan sekaligus semuanya.
10. Pan sakala êndême mratani, mrasuk badan kulit dagingira, ludira otot bayune, balung kalawan sungsum, kêkiyatan sadaya pulih, kawistara njrêbabak, cahyanipun santun, Guru tiga wrin waspada, samya eram tyasnya ngungun tan andugi, pratingkah kang mangkana.
Seketika mabuklah dia, candu merasuk badan kulit dan dagingnya, darah otot dan kekuatannya, tulang dan sumsumnya, seluruh kekuatan terasa pulih, dapat dilihat dari wajahnya yang memerah, cahaya wajahnya kembali, ketiga Guru waspada mengamati, heran hati mereka tak bisa memahami, kelakuan yang seperti itu.
11. Abdul Jabar ngucap mring Mad Ngarip, Lah ta mara age takonana, apa kang den untal kuwe, lan sapa aranipun, sarta manêh wismane ngêndi, apa panggotanira, ing sadinanipun, lan apa tan adus toya, salawase dene awake mbasisik, janma iku sun kira.
Abdul Jabar berkata kepada (Ah)mad Ngarip (Ahmad ‘Arif), Segeralah kamu tanyai, apa yang dimakannya barusan, dan siapa namanya, dan lagi rumahnya dimana, apa pekerjaannya, pekerjaan sehari-harinya, dan apakah tidak pernah mandi, sehingga kulitnya bersisik, manusia ini aku kira.
12. Ora ngrêti nyarak lawan sirik, najis mêkruh batal lawan karam, mung nganggo sênênge dhewe, sanajan iwak asu, daging celeng utawa babi, anggêr doyan pinangan, ora nduwe gigu, tan pisan wêdi duraka, Ahmad Ngarip mrêpeki gya muwus aris, Wong ala ingsun tannya.
Tidak mengetahui syari’at dan larangannya, najis makruh batal apalagi haram, hanya menuruti kesenangan sendiri, walaupun daging anjing, daging celeng maupun babi, kalau suka pasti dimakannya, tak memiliki rasa jijik, tak takut akan durhaka, Ahmad Ngarip (Ahmad ‘Arif) mendekat dan segera berkata, Hai manusia jelek aku hendak bertanya.
13. Lah ta sapa aranira yêkti, sarta manêh ngêndi wismanira, kang tinannya lon saure, Gatholoco aranku, ingsun janma Lanang Sujati, omahku têngah jagad, Guru tiga ngrungu, sarêng denya latah-latah, Bêdhes buset aran nora lumrah janmi, jênêngmu iku karam.
Siapakah namamu sesungguhnya? Dan lagi dimanakah rumahmu? Yang ditanya menjawab pelan, Gatholoco namaku, aku manusia Lanang Sujati ( Lelaki Sejati ), rumahku ditengah-tengah jagad, Ketiga Guru mendengar, bersamaan mereka tertawa terbahak-bahak, Monyet! Busyet! Nama tidak umum dipakai manusia, namamu saja itu sudah haram!
14. Gatholoco ngucap tannya aris, Dene sira padha latah-latah, anggêguyu apa kuwe, Kyai Guru sumaur, Krana saking tyasingsun gêli, gumun mring jênêngira, Gatholoco muwus, Ing mangka jênêng utama, Gatho iku têgêse Sirah Kang Wadi, Loco Pranti Gosokan.
Gatholoco tenang bertanya, Kenapa kalian terbahak-bahak? Mentertawai apakah? Kyai Guru menjawab, Hatiku sangat geli, heran kepada namamu, Gatholoco berkata, Padahal itu adalah nama utama, Gatho itu artinya Kepala Yang Dirahasiakan ( Gathel : Penis ), Loco artinya Dikocok.
15. Marma kabeh padha sun lilani, sakarsane ngundang marang ingwang, yekti sun sauri bae, têtêlu araningsun, kang sawiji Barang Kinisik, siji Barang Panglusan, nanging kang misuwur, manca pat manca lêlima, iya iku Gatholoco aran mami, prasaja tandha priya.
Maka aku rela jika kalian semua, mau memanggil aku apa, pasti aku akan terima, tiga namaku, yang pertama Barang Kinisik ( Barang yang sering digosok-gosokkan kepada lobang), satunya lagi Barang Panglusan (Barang yang sering dihaluskan dengan cara dikeluar masukkan), akan tetapi yang terkenal, di empat penjuru angin bahkan di-lima penjuru angin, ialah Gatholoco, tanda seorang pria sejati.
16. Kyai Guru mangsuli Tan bêcik, jênêngira iku luwih ala, jalaran bangêt sarune, karam najis lan mêkruh, iku jênêng anyilakani, jênêng dadi duraka, jênêng ora patut, wus kasêbut jroning kitab, nyirik karam yen mati munggah suwargi, kang karam manjing nraka.
Kyai Guru menjawab Tidak patut, namamu itu sangat-sangat jelek, karena sangat tabunya, bukah hanya makruh tapi sudah najis bahkan haram! Itu nama yang mencelakakan, nama yang membuat orang menjadi durhaka, nama yang tidak patut, sudah disebutkan didalam kitab, apabila menghindari hal-hal yang haram jika meninggal kelak pasti akan naik ke surga, yang tidak menghindari hal-hal yang haram pasti kelak masuk neraka.
17. Gatholoco menjêp ngiwi-iwi, gya gumujêng nyawang Guru tiga, sarwi mangkana ujare, Sarak-ira kang kliru, sapa bisa angêlus wadi, yêkti janma utama, iku apêsipun, priyayi kang lungguh Dêmang, myang Panewu Wadana Kliwon Bupati, liyane ora bisa.
Gatholoco mencibir memperolok-olok, lantas tertawa memperhatikan ketiga Guru, sembari berkata demikian, Pemahamanmu atas syari’at salah! Siapa saja yang mampu mengerti rahasia (proses penciptaan melalui sexualitas), dialah manusia utama, hal inilah kelemahan, seluruh manusia walaupun berpangkat Dêmang, berpangkat Panêwu berpangkat Wadana berpangkat Kliwon maupun Bupati sekalipun, semuanya tidak ada yang memahami.
________________

serat gatoloco 2




SERAT GATHOLOCO (2)
Diambil dari naskah asli bertuliskan huruf Jawa
Yang disimpan oleh :
PRAWIRATARUNA.


Sebelum melanjutkan ke-Pada (Syair) berikutnya (akan saya posting pada catatan bagian tiga), maka perlulah kiranya kita ulas beberapa Pada (Syair) yang telah saya posting pada catatan bagian pertama. Beberapa Pada (Syair) penting yang patut diulas agar tidak menimbulkan kesalah pemahaman adalah sebagai berikut :
1. Pupuh II, Dandanggula, Pada (Syair) 9 :
Dudu anak manusa sayêkti, anak Bêlis Setan Brêkasakan, turune Mêmêdi Wewe, Gatholoco duk ngrungu, den wastani yen anak Bêlis, langkung sakit manahnya, nanging tan kawêtu, ngungkapi gembolanira, kleletipun sajêbug sigra ingambil, den untal babar pisan.

Bukan anak manusia sesungguhnya, akan tetapi anak Iblis Setan Brêkasakan (makhluk yang tidak karu-karuan hidupnya), keturunan Mêmêdi (makhluk yang menakutkan) atau Wewe (Jin perempuan yang berwujud jelek), Gatholoco mendengar akan hal itu, disebut sebagai anak Iblis, sangat-sangat sakit hatinya, akan tetapi didiamkan saja, membuka gembolannya kembali, diambilnya candu sekepal, dimakan sekaligus semuanya.

Penulis Gatholoco tampaknya mengambil pola pikir dari ajaran Shiwa Tantrayana yang sangat populer ditanah Jawa pada masa lampau. Dalam kitab Mahanirvana Tantra jelas disebutkan sebagai berikut :

“Pautvaa pitvaa punah pitvaa yaavat patati bhuutale, Punarutyaaya dyai potvaa punarjanma ga vidhate.”

“Minum, teruslah minum hingga kamu terjerembab ke tanah. Lantas berdirilah kembali dan minum lagi hingga sesudah itu kamu akan terbebas dari punarjanma (kelahiran kembali) dan mencapai kesempurnaan (Moksha).”

Maksud dari sutra ini, tak lain adalah meminum minuman spiritual, bukan minuman berwujud fisik yang mengandung alkhohol. Seseorang yang terus meminum anggur spiritualitas hingga jatuh bangun, dan tetap tidak jera untuk terus mereguknya, maka hanya dengan jalan seperti itu, dapat dipastikan, Kesadaran akan tertempa, terbangun dan terasah.

Meminum anggur spiritualitas sehingga mabuk, atau dalam syair diatas digambarkan memakan CANDU SPIRITUALITAS, sehingga terikat betul dengan Ke-Illahi-an, sehingga KECANDUAN betul dengan Kesempurnaan, adalah prasyarat mutlak bagi siapa saja yang ingin menggapai Kesadaran Purna.

2. Pupuh II, Dandanggula, Pada (Syair) 11 :
Abdul Jabar ngucap mring Mad Ngarip, Lah ta mara age takonana, apa kang den untal kuwe, lan sapa aranipun, sarta maneh wismane ngêndi, apa panggotanira, ing sadinanipun, lan apa tan adus toya, salawase dene awake mbasisik, janma iku sun kira.

Abdul Jabar berkata kepada (Ah)mad Ngarip (Ahmad ‘Arif), Segeralah kamu tanyai, apa yang dimakannya barusan, dan siapa namanya, dan lagi rumahnya dimana, apa pekerjaannya, pekerjaan sehari-harinya, dan apakah tidak pernah mandi, sehingga kulitnya bersisik, manusia ini aku kira.

Masyarakat awan atau dalam istilah Tassawuf Islam disebut Mukmin ‘Am (seringkali ditulis dengan logat Mukmin Ngam dalam setiap sastra Jawa klasik) atau Walaka dalam istilah Shiwa Buddha, sudah barang tentu akan keheran melihat tingkah laku manusia-manusia aneh yang kecanduan spiritualitas seperti Gatholoco. Mereka akan bertanya-tanya, apa yang di-‘makan’-nya? Apa yang di-‘telan’-nya sehingga demikian ‘gila’-nya itu orang? Fenomena ini digambarkan secara konotatif dalam adegan diatas. Dimana sosok manusia Gatholoco menelan candu didepan para agamawan sehingga membuat keheranan mereka.

Manusia Gatholoco akan membuat logika spiritual orang awam terjungkir-balikkan, bahkan mereka yang mengaku agamawan sekalipun akan dibuat kalang-kabut olehnya. Manusia Gatholoco sangat unik karena benar-benar mabuk oleh candu Illahi. Siapapun yang mabuk candu Illahi, maka Kesadarannnya akan terayun kesegala arah bagai Palu Illahi yang tanpa ampun akan menggedor sekat-sekat sempit pemahaman awam tentang syari’at. Fenomena yang dialami oleh manusia Gatholoco, akan sulit dipahami oleh mereka yang tidak mau menikmati candu yang sama.

3. Pupuh II, Dandanggula, Pada (Syair) 13 :
Lah ta sapa aranira yêkti, sarta maneh ngêndi wismanira, kang tinannya lon saure, Gatholoco aranku, ingsun janma Lanang Sujati, omahku têngah jagad, Guru tiga ngrungu, sarêng denya latah-latah, Bêdhes buset aran nora lumrah janmi, jênêngmu iku karam.

Siapakah namamu sesungguhnya? Dan lagi dimanakah rumahmu? Yang ditanya menjawab pelan, Gatholoco namaku, aku manusia Lanang Sujati ( Lelaki Sejati ), rumahku ditengah-tengah jagad, Ketiga Guru mendengar, bersamaan mereka tertawa terbahak-bahak, Monyet! Busyet! Nama tidak umum dipakai manusia, namamu saja itu sudah haram!

Manusia Gatholoco akan menyatakan dirinya sebagai Lanang Sujati (Hal ini akan diuraikan dalam syair ke-18 pada bagian tiga) yang bertempat tinggal di TENGAH-TENGAH DUNIA. Tengah-tengah dunia menyiratkan bahwa DIA TIDAK DITIMUR TIDAK DIBARAT TIDAK DIUTARA TIDAK DISELATAN TIDAK PULA DI ATAS, DITENGAH ATAU DIBAWAH. SEMUA ARAH ADALAH TEMPATNYA.

Dualitas duniawi, senang-sedih, panas-dingin, tinggi-rendah, nikmat-sakit, hidup-mati dan sebagainya akan menyeret manusia awam kearah salah satu kutub-nya. Namun bagi manusia Gatholoco, dia telah mampu berpijak ditengah-tengah keduanya. Berpijak dalam keadaan seimbang total! Manusia Gatholoco telah melampaui dualitas duniawi!

Manusia Gatholoco tidak condong ke kanan maupun kekiri. Manusia Gatholoco telah melampaui dualitas duniawi (Rwabhineda) sehingga tepatlah jika dikatakan KEDUDUKAN DIA BERADA DITENGAH-TENGAH JAGAD atau DUNIA!

4. Pupuh II, Dandanggula, Pada (Syair) 14 :
Gatholoco ngucap tannya aris, Dene sira padha latah-latah, anggêguyu apa kuwe, Kyai Guru sumaur, Krana saking tyasingsun gêli, gumun mring jênêngira, Gatholoco muwus, Ing mangka jênêng utama, Gatho iku têgêse Sirah Kang Wadi, Loco Pranti Gosokan.

Gatholoco tenang bertanya, Kenapa kalian terbahak-bahak? Mentertawai apakah? Kyai Guru menjawab, Hatiku sangat geli, heran kepada namamu, Gatholoco berkata, Padahal itu adalah nama utama, Gatho itu artinya Kepala Yang Dirahasiakan ( Gathel : Penis ), Loco artinya Dikocok.

Inilah pernyataan Gatholoco yang sangat vulgar tentang arti namanya. Gatho atau GATHEL (maaf) dalam bahasa Jawa berarti PENIS, sedangkan LOCO artinya KOCOK. Gatholoco tak lebih berarti KOCOKAN DARI PENIS. Dan akibat dari aktifitas KOCOKAN ini, pada ujungnya memuncak pada fenomena TERPANCARNYA CAIRAN SPERMA. Arti nama Gatholoco sangatlah tabu jika hal ini dikaitkan dengan etika masyarakat pada umumnya. Namun bagaimana-pun juga, manusia yang terdiri dari tiga bentukan badan (sarira) sesuai dengan mantra-mantra yang ada dalam ATMOPANISHAD, yaitu Badan Fisik atau ‘STHULA SARIIRA’, Badan Halus atau ‘SUKSMA SARIIRA’ dan Badan Sejati atau ‘ATMA SARIIRA’, semua memang tercipta dari fenomena ‘PANCARAN’ ini.

Dalam istilah Tassawuf Islam, Badan Fisik (STHULA) disebut ‘JASAD’ dan dalam istilah Islam Kejawen, disebut ‘DHINDHING JALAL ARAN KIJAB (Dinding Agung Yang Disebut Hijab ; Penghalang/Tabir/Tirai)’.

Sedangkan Badan Halus (SUKSMA) dalam istilah Tassawuf Islam disebut ‘NAFS (Pribadi/personil)’ dan dalam Islam Kejawen disebutROH ILAPI (Ruh Idlafi), DAMAR ARAN KANDHIL (Pelita bernama Kandil) dan SESOTYA ARAN DARAH (Cahaya bernama Darah)

Badan Sejati (ATMA) dalam istilah Tassawuf Islam disebut ‘RUH’ dan dalam Islam Kejawen disebut ‘KAYU SAJARATUL YAKIN (Hayyu Syajaratul Yaqin ; Hidup Sebagai Pohon/Akar Keyakinan Utama)’ , NUR MUHAMMAD (Cahaya Terpuji) dan KACA ARAN MIRATULKAYAI (Cermin bernama Mir’atul Haya’; Mir’ah = Cermin, Haya’ = Malu) atau cukup disebut ‘KANG NGURIPI (Yang membuat manusia hidup)’.

Dalam istilah Kristiani, Badan Fisik (STHULA) dan Badan Halus (SUKSMA) , keduanya di sebut tataran ‘DAGING’. Dan Badan Sejati (ATMA) disebut ‘ROH KUDUS’!

Dalam tataran materi (Skala), proses terbentuknya Badan Fisik dan Badan Halus tidak bisa lepas dari fenomena ‘TERPANCARNYA SPERMA KEDALAM RAHIM SEBAGAI PUNCAK DARI SEBUAH AKTIFITAS SEXUAL’. Tak jauh beda pula pada tataran Immateri (Niskala), terciptanya Atma dan seluruh semesta ini tak lepas pula dari fenomena dahsyat ‘PANCARAN ENERGI PURUSHA ATAU SADASHIWA KEPADA APA YANG DINAMAKAN PRAKRTI.

BRAHMAN yang mutlak atau PARAMASHIWA, yaitu SUMBER SEGALA SUMBER HIDUP INI atau HIDUP itu sendiri (Tassawuf Islam menyebutnya ‘ALLAH’, Kejawen menyebutnya ‘URIP’ yang artinya adalah ‘Hidup’, Kristiani menyebutnya ‘ALLAH BAPA’), Yang Melampaui Segalanya, Mengatasi Segalanya, Tidak diketahui apa sesungguhnya Dia, Mengatasi segala pribadi, Sempurna, Yang Murni dan sebagainya, pada suatu saat, berkehendak mempersempit ke-Mutlak-an-Nya.

Proses ini dinamakan DOSHA atau KESALAHAN. Sebuah DOSHA yang memang disengaja oleh-Nya. BRAHMAN atau PARAMASHIWA yang mempersempit ke-Mutlak-an-Nya ini lantas mengenakan sifat MAHA. MAHA ADA, MAHA KUASA, MAHA AGUNG, MAHA SUCI dan sebagainya. Dia lantas dikenal dengan nama PURUSHA yang artinya YANG BERKEHENDAK atau SADASHIWA (Tassawuf Islam menyebutnya ‘NURUN ‘ALA NUURIN’ yang artinya ‘Cahaya Diatas Cahaya’. Kejawen menyebutnya ‘KANG GAWE URIP’ yang artinya ‘Yang Menyebabkan adanya kehidupan material’. Kristiani menyebutnya ‘ALLAH PUTRA’).

Bersamaan proses mempersempit ke-Mutlak-an-Nya tersebut, tercipta bayangan BRAHMAN atau PARAMASHIWA yang disebut PRAKRTI. PRAKRTI inilah cikal-bakal bahan materi seluruh alam semesta. (PRA : Sebelum, KRTI : Membuat). PRAKRTI mengandung unsur negatif dan positif semesta, PRAKRTI inilah yang sesungguhnya dalam tradisi agama timur tengah disebut PENGHULU MALAIKAT dan IBLIS itu sendiri!

Bahan-bahan positif dari PRAKRTI yang kelak membentuk Badan Halus dan Badan Kasar manusia dengan unsur positif-nya, inilah yang disimbolkan sebagai MALAIKAT YANG MENJAGA MANUSIA. Sedangkan bahan-bahan negatif PRAKRTI yang kelak membentuk Badan Halus dan Badan Kasar manusia dengan unsur negatif-nya, inilah yang disimbolkan sebagai SETAN-SETAN YANG MENGGODA MANUSIA!

UNSUR POSITIF ALAM DIDALAM PRAKRTI ITULAH PARA PENGHULU MALAIKAT! UNSUR NEGATIF ALAM DIDALAM PRAKRTI ITULAH IBLIS.

SEGALA HAL YANG TERDAPAT DALAM BADAN HALUS DAN BADAN KASAR ANDA YANG MENUNJANG KEARAH KEBENARAN, ITULAH MALAIKAT PENDAMPING ANDA! SEGALA HAL YANG TERDAPAT DALAM BADAN HALUS MAUPUN BADAN KASAR ANDA YANG SENANTIASA MENGGANGGU ANDA BERJALAN DIJALAN KEBENARAN, ITULAH ANAK-ANAK IBLIS YANG DISEBUT SETAN! BUKALAH KESADARAN ANDA SAAT INI JUGA!

MALAIKAT tercipta dari CAHAYA. IBLIS tercipta dari API. CAHAYA dan API tidak bisa dipisahkan! Mengapa masih juga anda tidak mengerti dengan simbolisasi seperti ini?

Akibat PANCARAN ENERGI DARI PURUSHA ATAU SADASHIWA KEPADA PRAKRTI, maka terperciklah tak terhitung ATMA-ATMA sebagai percikan PURUSHA. Bagai API dengan PERCIKANNYA. Bagai AIR dengan TETESANNYA.

Bahkan dari proses PANCARAN ENERGI ini, tercipta pula bahan-bahan material alam semesta sebagai bakal wadah bagi Atma-Atma.

Dari PURUSHAatau SADASHIWA terciptalah ATMA-ATMA, dan dari bahan-bahan material akibat PANCARAN ENERGI PURUSHA ATAU SADASHIWA KEPADA PRAKRTI terciptalah kelak Badan Halus (SUKSMA) dan Badan Fisik (STHULA).

PRAKRTI HANYA SEKEDAR SEBAGAI TEMPAT PENAMPUNGAN SEMUA ITU. PRAKRTI IBARAT RAHIM SEMESTA!

Dan semua proses ini tak lain berawal dari PANCARAN ENERGI PURUSHA ATAU SADASHIWA KEPADA PRAKRTI.

Dan proses ini diulang kembali, dalam bentuk aktifitas badaniah antara laki-laki dan wanita yang dinamakan sexualitas. Dimana penis makhluk jantan harus dikocok didalam vagina makhluk wanita (Gatholoco) agar memancarlah sperma yang penuh dengan berjuta-juta bibit kehidupan (Atma) kedalam rahim.

Proses sexualitas, adalah proses pematangan agar Atma benar-benar dibungkus oleh Badan Halus (Suksma) dan Badan Fisik (Sthula) didalam kandungan seorang wanita selama rentang waktu sembilan bulan sepuluh hari.

Nama Gatholoco sangat tabu, tapi dari Gatholoco-lah seluruh kehidupan tercipta. Maka sesungguhnya benar apa yang dikatakan Gatholoco, bahwa nama yang dipakainya adalah nama Rahasia Yang Mulia.

5. Pupuh II, Dandanggula, Pada (Syair) 15 :
Marma kabeh padha sun lilani, sakarsane ngundang marang ingwang, yêkti sun sauri bae, têtêlu araningsun, kang sawiji Barang Kinisik, siji Barang Panglusan, nanging kang misuwur, manca pat manca lêlima, iya iku Gatholoco aran mami, prasaja tandha priya.

Maka aku rela jika kalian semua, mau memanggil aku apa, pasti aku akan terima, tiga namaku, yang pertama Barang Kinisik ( Barang yang sering digosok-gosokkan kepada lobang), satunya lagi Barang Panglusan (Barang yang sering dihaluskan dengan cara dikeluar masukkan), akan tetapi yang terkenal, di empat penjuru angin bahkan di-lima penjuru angin, ialah Gatholoco, tanda seorang pria sejati.

Nama lain GATHOLOCO adalah BARANG KINISIK (Benda yang digosok-gosokkan didalam lobang) dan satunya lagi BARANG PANGLUSAN (Benda yang dihaluskan dengan cara dikeluar masukkan). Maknanya tiada beda, tak lain adalah PENIS YANG DIKOCOK.

KESADARAN MANUSIA GATHOLOCO MAMPU MEMAHAMI, bahwasanya cikal bakal kehidupan manusia dan beberapa makhluk yang mulai berkembang Kesadaranya, HARUS MELALUI PROSES PANCARAN SPERMA KEDALAM RAHIM.

Lebih tinggi dari itu, KESADARAN MANUSIA GATHOLOCO JUGA MEMAHAMI, bahwa SELURUH SEMESTA RAYA INI TERCIPTA JUGA AKIBAT PANCARAN ENERGI PURUSHA ATAU SADASHIWA KEDALAM KANDUNGAN PRAKRTI!

Proses ini adalah sebuah proses yang SAKRAL dan SUCI. Jadi sangat-sangat tidak patut jika aktifitas sexual hanya dipergunakan untuk sekedar mengejar sensasi kenikmatan belaka!

Manusia-manusia Gatholoco hanya akan MENGKOCOK PENIS MEREKA KEDALAM LIANG VAGINA sekedar untuk memberikan jalan bagi kelahiran kembali para Atma yang hendak melanjutkan proses evolusinya dialam manusia.

Manusia-manusia yang bukan manusia Gatholoco hanya akan melakukan PENGKOCOKAN PENIS MEREKA KEDALAM VAGINA sekedar untuk menikmati sensasi kenikmatannya belaka!

Laki-laki yang memahami hal ini, patut disebut PRIA SEJATI. Begitu juga wanita yang memahami akan hal ini, sepatutnya juga disebut WANITA SEJATI.

ITULAH BEDA MANUSIA GATHOLOCO DAN YANG BUKAN MANUSIA GATHOLOCO! SEMOGA ANDA SEMUA MEMAHAMI MAKSUD PENULIS GATHOLOCO DAN TIDAK SALAH MENGERTI KARENANYA!

_________________