Manunggaling Kawula Gusti
Manunggaling Kawula Gusti, merupakan makna yang dalam bagi seorang
Kejawen. Oleh karenanya banyak pemuka-pemuka agama yang non Kejawen,
memelintir esensi dari makna Manunggaling Kawula Gusti itu sendiri. Hal
ini tidak lain dan tidak bukan, untuk memuluskan pemasaran agama import
yang dibawanya ke dalam masyarakat Jawa yang sengkretis. (Mudah-mudahan
di kemudian hari masyarakat Jawa lebih waspada dengan pengaruh budaya
asing)
Manunggaling Kawula Gusti sama sekali bukan bermakna bersatunya kita
dengan Tuhan Yang Maha Esa. Makna sebenarnya dari Manunggaling Kawula
Gusti adalah, bahwa hubungan seorang Kejawen dengan Tuhan Yang Maha Esa,
tidak melalui perantara apapun seperti yang dilakukan oleh agama-agama
Rasul.
Empat Sila Utama Pola Hubungan
1. Hubungan Manusia dengan Ghusti (Tuhan Yang Maha Esa)
2. Hubungan Manusia dengan Alam Semesta
3. Hubungan Manusia dengan Mahluk lain
4. Hubungan Manusia dengan sesama Manusia
Penjabaran dari 4 makna di atas adalah :
1. Eling Lan Bekti marang Ghusti Kang Murbeng Dumadi:
Artinya, kita yang ingat dan menyembah Gusti (Tuhan Yang Maha Esa) dalam setiap tarikan nafas kita. Dimana Gusti Yang Esa telah memberikan kesempatan bagi kita untuk hidup, menghargai dan berkarya di alam yang indah ini.
2. Setyo marang Penggede Negoro:
Artinya, sebagai manusia yang tinggal dan hidup di suatu wilayah, maka wajar dan wajib untuk menghormati dan mengikuti semua peraturan yang di keluarkan pemimpinnya yang baik dan bijaksana
3. Bekti marang Bhumi Nuswantoro:
Artinya, sebagai manusia yang tinggal dan hidup nusantara ini, wajar dan wajib untuk merawat dan memperlakukan bumi ini dengan baik, dimana bumi ini telah memberikan kemakmuran bagi penduduk yang mendiaminya. Dengan berbakti dan menjaga kelestarian alam, maka alam akan memberikan yang terbaik untuk kita yang hidup di atasnya.
4. Bekti Marang Wong Tuwo:
Artinya, kita tidak dengan serta merta ada di dunia ini, tetapi melalui perantara ibu dan ayah, maka hormatilah, mulyakanlah orang tua yang telah merawat kita. Berbakti kepada ayah dan ibu yang telah memberikan kita jalan untuk meraih kehidupan disini.dan jangan lupa untuk membantu dalam tugas - tugasnya karena orang tua selalu memberi yang terbaik untuk anaknya.
5. Bekti Marang Sedulur Tuwo:
Artinya, menghormati saudara yang lebih tua , baik tua secara umur, secara derajat, pengetahuan maupun kemampuannya.
6. Tresno Marang Kabeh Kawulo Mudo:
Artinya, menyayangi orang yang lebih muda, memberikan bimbingan, dan menularkan pengalaman dan pengetahuan kepada yang muda. Dengan harapan, yang muda ini akan dapat menjadi generasi pengganti yang tangguh dan bertanggung jawab dan lebih baik..
7. Tresno Marang Sepepadaning Manungso:
Artinya, yang perlu diingat dalam hati yang terdalam adalah, bahwa semua manusia sama nilainya dihadapan Gusti. Karenanya, hormatilah sesamamu, dimana mereka memiliki harkat dan martabat yang sama denganmu, dan sederajat dengan manusia lainnya. Cintailah sesamamu dengan tulus ikhlas seperti dirimu sendiri.
8. Tresno Marang Sepepadaning Urip:
Artinya, semua yang di ciptakan Ghusti adalah mahluk yang ada karena kehendak Gusti yang Kuasa, karena mereka memiliki fungsi masing-masing, dalam melestarikan kita bersama alam ini. Dengan menghormati semua ciptaanNya, maka kitapun telah menghargai dan menghormatiNya agar hidup berjalan baik.
9. Hormat Marang Kabeh Agomo:
Artinya, hormatilah semua agama
atau aliran, dan para penganutnya. Agama adalah ageming aji, yang
mengatur dan menata diri meng-Olah Roso untuk menjadikan manusia-manusia
yang berbudi pekerti luhur dan hendaklah kita membeda - bedakan agama lain karena semua agama itu mengajarkan kebaikan.
10. Percoyo Marang Hukum Alam:
Artinya, selain Gusti menurunkan
kehidupan, Gusti juga menurunkan hukum alam dan menjadi hukum sebab
akibat, siapa yang menanam maka dia yang menuai. Kita ini hidup di alam
dualitas, dan akan terikat dengan hukum-hukum yang ada selama masih
berdiam di pangkuan alam tersebut, dan hormatilah alam dan hukumnya.
11. Percoyo Marang Kepribaden Dhewe Tan Owah Gingsir:
Artinya,
manusia ini rapuh, dan hatinya berubah-ubah, maka hendaklah menyadarinya
dan dapat menempatkan diri di hadapan Gusti, agar selalu mendapat
lindungan dan rahmatNya dalam menjalani hidup dan kehidupan ini. Dengan
terus melakukan Olah Roso, berarti kita terus menata diri demi meraih
pribadi yang berbudi pekerti luhur memayu hayuning bawono.
12. Bekti Marang Mahluk Liane:
Artinya, menghormati mahluk lain ciptaanNya juga, seperti ia menghormati manusia lainnya. sebagai manapun mahluk ciptaan nya baik itu kecil ataupun besar terlihat ataupun kasat mata kita tak boleh mengganggu ataupun membenci nya karena mereka berhak untuk hidup dan menjalani kehidupan layaknya kita.
Kedjawen Tidak Perlu Guru Agama
Mengapa Kedjawen tidak perlu guru? Hal ini karena di satu sisi Empat Sila Utama Pola Hubungan
bisa didapat dari Olah Roso, di sisi lain pola hubungan manusia dengan
Tuhan Yang Maha Esa adalah pola hubungan yang unik. Sehingga tidak ada
guru yang lebih paham dari diri kita sendiri, dalam konteks hubungan
diri kita sendiri dengan Tuhan Yang Maha Esa. Alasan lain, Guru Agama
cenderung membodohi muridnya demi keuntungan dirinya sendiri.
manusia Jawa dalam berdo’a melibatkan empat unsur tekad bulat
yakni: hati, fikiran, ucapan, dan tindakan. Upacara-upacara tradisional
sebagai bentuk kepedulian pada lingkungannya, baik kepada lingkungan
masyarakat manusia, maupun masyarakat ghaib yang hidup berdampingan,
agar selaras dan harmonis dalam melakukan penyembahan kepada Tuhan Yang
Maha Esa (Gusti).
Sesaji atau Sajen
Mengapa seorang Kejawen Sejati memberikan sajen? Hal ini dikarenakan
oleh tata krama sopan santun kepada pihak lain (alam, mahluk halus,
sesepuh, orang lain, dsb) yang harus dicerminkan oleh seorang Kejawen.
Analoginya, dengan kita menyembah Gusti, tidak berarti kita tidak
menyuguhkan kenalan atau tetangga kita yang berkunjung ke rumah kita.
Dalam kehidupan ini, agama mana yang tidak mempercayai alam gaib, atau
kehidupan lain di bumi ini? Dalam Kedjawen, kepercayaan itu dituangkan
pula dalam pola sopan santun kepada mahluk halus yang termasuk dalam
kategori pihak lain (alam, mahluk halus, sesepuh, orang lain, dsb) yang
ada di sekitar kita.
Atau sebaliknya, jika kita menyuguhkan sajian kepada tamu kita yang
datang ke rumah kita, apakah artinya kita menyembah tamu kita tersebut?
Jawabnya tentu tidak bukan?
Mengapa malam Jum’at? Seorang Kejawen mempercayai bahwa malam Jum’at adalah malam dimana para sesepuh (baik itu mahluk halus maupun orang tua/saudara/kerabat yang sudah tidak ada) mengunjungi anak wayahnya.
Apa yang disuguhkan? Untuk menghormati para sesepuh,
kita sebaiknya menyuguhkan hidangan seperti layaknya menyuguhkan tamu
kita, minuman teh atau kopi (tidak menutup kemungkinan jika kita juga
ingin menyediakan rokok, bunga melati sebagai wangi-wangian, dsb)
sebagai simbol penghormatan kita kepada para sesepuh
atau tamu kita. Jadi, hal ini merupakan bentuk sopan santun kita kepada
para sesepuh, maupun mahluk halus yang kita rasa sering berkunjung ke
rumah kita.
Mengapa disebut sesepuh? Karena mereka umumnya mempunyai umur yang jauh
di atas kita. Sehingga mereka layak disebut sesepuh. Begitu juga kakek
buyut kita atau orang tua kita yang sudah meninggal. Dimana mereka
selalu menengok anak-cucunya pada malam Jum’at.
Jadi kita tidak menyembah sesepuh kita melebihi Gusti? Absolut tidak,
kalau dibalik dengan pertanyaan, apakah anda menyuguhkan kenalan anda
waktu mereka bertamu ke rumah anda, berarti anda menyembah tamu anda?
Mengapa waktu memberikan sesajen, bersikap seolah menyembah? Ini memang ada kesalahan gesture
antara menyembah Gusti dengan memberi hormat kepada sesepuh. Sebenarnya
dalam Kejawen menjembah Gusti, tangan diletakan di atas kepala atau
bersentuhan dengan dahi. Yang memiliki makna, posisi Gusti adalah
absolut di atas segala-galanya. Sedangkan untuk memberi salam hormat
kepada sesepuh tangan/jempol menyentuh dagu, yang memiliki makna bahwa
seorang Kejawen tidak boleh berbuat sembrono/sembarangan (baik prilaku
maupun bertutur kata), kepada orang atau mahluk yang lebih sepuh.
Sementara memberi salam hormat kepada sesama adalah dengan tangan/jempol
menyentuh dada, yang memiliki makna, bahwa seorang Kejawen menghormati
sesamanya dengan hati yang tulus dan ikhlas.
Jadi jelas bahwa Seorang Kejawen harus menjaga keseimbangan sopan santun
dengan pihak lain (alam, mahluk halus, sesepuh, orang lain, dsb)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar