3/28/2013

Syair RonggoWarsito

Syair Ronggowarsito (Pujangga Karaton Solo)

tulisan oleh Kandjeng Pangeran Karyonagoro, 2005
Amenangi jaman edan
ewuh aya ing pambudi
Melu edan nora tahan
yen tan melu anglakoni
boya kaduman melik
Kaliren wekasanipun
Dilalah karsa Allah
Begja-begjane kang lali
luwih begja kang eling lawan waspada”
(Pupuh 7, Sent Kalatidha)
Terjemahan :
Mengalami jaman gila
sukar sulit (dalam) akal ikhtiar
Turut gila tidak tahan
kalau tak turut menjalaninya
tidak kebagian milik
kelaparanlah akhirnya
Takdir kehendak Allah
sebahagia-bahagianya yang lupa
lebih berbahagia yang sadar serta waspada”.
- Syair jaman edan, dimana manusia kehilangan dasar sikap dan perilaku yang benar.
- Di dalam Serat Kalatidha, Sabda Pranawa Jati Ki pujangga melihat kesusahan yang  terjadi pada jaman itu .
Rajanya utama, patihnya pandai dan menteri-menterinya mencita-citakan kesejahteraan rakyat serta semua pegawai-pegawainya cakap. Akan tetapi banyak kesukaran-kesukaran menimpa negeri; orang bingung, resah dan sedih pilu, serta dipenuhi rasa kuatir dan takut. Banyak orang pandai dan berbudi luhur jatuh dari kedudukannya. Banyak pula yang sengaja menempuh jalan salah . . . harga diri turun . . . akhlak merosot. Pada waktu-waktu seperti itu berbahagialah mereka yang sadar/ingat dan waspada.
- Menghadapi jaman seperti itu Ki Ronggowarsito memberikan petuah-petuahnya, yaitu yang dapat disebut sebagai empat pedoman hidup.
Tawakal marang Hyang Gusti
-  Pedoman yang pertama; yaitu kepercayaan iman dan pengharapan kepada Tuhan.
-  Pedoman inilah yang menjadi dasar hidup, perilaku dan karya manusia.
1. “Mupus papasthening takdir, puluh-puluh anglakoni kaelokan” (Pupuh 6, Kalatidha).
Arti :
Menyadari ketentuan takdir, apa boleh buat (harus) mengalami keajaiban. Manusia hidup harus menerima keputusan Tuhan.
2. “Dialah karsa Allah, begja-begjane kang lali, luwih becik eling lawan waspada.”  (Pupuh 7, Kalatidha)
Arti :
- Memanglah kehendak Allah, sebahagia-babagianya yang lupa, lebih bahagia yang sadar ingat dan waspada.
- Manusia harus selalu menggantungkan diri kepada kehendak (karsa) Allah.
- Karsa atau kehendak Allah itu seperti yang tersirat dalam ajaran agama, kitab suci, hukum-hukum alam, adat istiadat dan ajaran leluhur.
3. Muhung mahasing ngasepi, supaya antuk parimirmaning Hyang suksma. (Pupuh 8, Kalatidha)
Arti: Sebaiknya hanya menjauhkan diri dari keduniawian, supaya mendapat kasih sayang Tuhan.
- Di kala ingin mendekatkan jiwa pada Tuhan, memang pikiran dan nafsu harus terlepas dari hal keduniawian.
- Supayantuk: Supaya dilimpahi Parimirmaning Hyang suksma; Kasih sayang Tuhan.
4. Saking mangunah prapti, Pangeran paring pitulung. (Pupuh 9, Kalatidha)
Arti: Pertolongan datang dari Tuhan, Tuhan melimpahkan pertolongan.
- Hanya Dia, Puji sekalian alam, Gembala yang baik, yang dapat menolong manusia dalam kesusahannya.
- Mangunah    :  Pertolongan Tuhan
- Prapti             : Datang.
5. Kanthi awas lawan eling, kang kaesthi antuka parmaning suksma. (Pupuh 10, Kalatidha)
Arti: Disertai dasar/awas dan ingat, bertujuan mendapatkan kasih sayang Tuhan.
6. Ya Allah ya Rasululah kang sifat murah lan asih. (Pupuh 11, Kalatidha)
Arti : Ya Allah ya nabi yang pemurah dan pengasih.
7. Badharing sapudendha, antuk mayar sawatawis, borong angga suwarga mesti martaya. (Pupuh 12, Kalatidha)
Arti:
(Untuk) urungnya siksaan (Tuhan), mendapat keringanan sekedarnya, (sang pujangga) berserah diri (memohon) sorga berisi kelanggengan.
- Pengakuan kepercayaan bahwa pada Tuhanlah letak kesalamatan manusia.
Pupuh-pupuh tambahan:
8. Setyakenang naya atoh pati, yeka palayaraning atapa, gunung wesi wasitane tan kedap ing pan dulu ning dumadi dadining bumi, akasa mwang; riya sasania paptanipun, jatining purba wisesa, tan ana lara pati kalawan urip, uripe tansah tungga”. (Pupuh 88, Nitisruti)
Arti:
Bersumpahlah diri dengan niat memakai tuntunan (akan) mempertaruhkan nyawa, yaitulah laku orang bertapa di (atas) gunung besi (peperangan) menurut bunyi petuah. Tak akan salah pandangannya terhadap segala makhluk dan terjadinya bumi dan langit serta segala isinya. Sekaliannya itu sifat Tuhan; tak ada mati, hiduppun tiada, hidupnya sudah satu dengan yang Maha suci.
- Karya sastra Nitisruti ditulis oleh Pangeran di Karangayam (Pajang), pada tahun saka atau 1591 M.
- Mengenai tekad untuk mengenal Tuhan dan rahasiaNya.
- Mengenal kekuasaan di balik ciptaan-Nya, karena sudah bersatu dengan Gusti-Nya.
9. Sinaranan mesu budya, dadya sarananing urip, ambengkas harda rubeda, binudi kalayan titi, sumingkir panggawe dudu, dimene katarbuka, kakenan gaibing widi. (Dari serat Pranawajati)
Arti:
Syaratnya ialah memusatkan jiwa, itulah jalannya di dalam hidup, menindas angkara yang mengganggu, diusahakan dengan teliti, tersingkirkanlah perbuatan salah, supaya terbukalah mengetahui rahasia Tuhan.
- Serat Pranawajati ditulis oleh Ki R.anggawarsita
- Pupuh ini menjelaskan jalan kebatinan untuk mencapai (rahasia) Tuhan.
10. Pamanggone aneng pangesthi rahayu, angayomi ing tyas wening, heninging ati kang suwung, nanging sejatine isi, isine cipta kang yektos”. (Dari serat Sabda Jati)
Arti:
Tempatnya ialah di dalam cita-cita sejahtera, meliputi hati yang terang, hati yang suci kosong, tapi sesungguhnya berisi, isinya cipta sejati.
11. Demikianlah orang yang dikasihi Tuhan, yang selalu mencari-Nya untuk memuaskan dahaga batin. Ia akan berbahagia dan merasa tentram sejahtera; sadar akan arti hidup maupun tujuan hidup manusia. Pembawaannya rela, jujur dan sabar; pasrah, sumarah lan nanima, berbudi luhur dan teguh dihati.
Eling lawan Waspada
- Pedoman yang kedua; yaitu sikap hidup yang selalu sadar-ingat dan waspada.
- Pedoman inilah yang menjaga manusia hingga tidak terjerumus ke dalam lembah kehinaan dan malapetaka.
Pupuh-pupuh :
1. Dilalah karsa Allah, begja-begjane kang lali luwih becik kang eling lawan waspada. (Pupuh 1, Kalatidha)
Arti :
akdir kehendak Allah, sebahagia-bahagianya yang lupa, lebih bahagia yang sadar / ingat dan waspada.
2. Yen kang uning marang sejatining kawruh, kewuhan sajroning ati, yen tan niru nora arus, uripe kaesi-esi, yen niruwa dadi asor. (Pupuh 8, Sabda Jati)
Arti:
Bagi yang tidak mengetahui ilmu sejati bimbanglah di dalam hatinya, kalau tidak meniru (perbuatan salah) tidak pantas, hidupnya diejek-ejek, kalau meniru (hidupnya} menjadi rendah.
3. Nora ngandel marang gaibing Hyang Agung, anggelar sekalir-kalir, kalamun temen tinemu, kabegjane anekani, kamurahaning Hyang Manon”. (Pupuh 9, Sabda Jati)
Arti :
Tidak percaya kepada gaib Tuhan, yang membentangkan seluruh alam, kalau benar-benar usahanya, mestilah tercapai cita-citanya, kebabagiaannya datang, itulah kemurahan Tuhan.
- Serat Sabda Jati adalah juga ditulis oleh pujangga Ki Ranggawarsita.
- Pupuh 8 membicarakan keragu-raguan hati karena melihat banyak orang menganggap perbuatan salah sebagai sesuatu yang wajar.
- Akan tetapi bagi yang sadar/ingat dan waspada, tuntunan Tuhan akan datang membawa kebahagiaan batin.
4. Mangka kanthining tumuwuh, salami mung awas eling, eling lukitaning alam, dadi wiryaning dumadi, supadi nir ing Sangsaya, yeku pangreksaning urip. (Pupuh 83, Wedhatama)
Arti :
Untuk kawan hidup, selamanya hanyalah awas dan ingat ingat akan sasmita alam, menjadi selamatlah hidupnya, supaya bebas dari kesukaran, itulah yang menjaga kesejahteraan hidup.
5. Dene awas tegesipun, weruh warananing urip, miwah wisesaning Tunggal, kang atunggil rina wengi, kang makitun ing sakarsa, gumelar ngalam sekalir. (Pupuh 86, Wedhatama)
Arti :
Adapun awas artinya, tahu akan tabir di dalam hidup, dan kekuasaan Hyang Maha Tunggal, yang bersatu dengan dirinya siang malam, yang meliputi segala kehendak, disegenap alam seluruhnya.
- Wedhatama ditulis oleh Pangeran Mangkunegara IV.
6. Demikianlah sikap hidup yang berdasarkan “Eling lawan waspada”; yaitu selalu mengingat kehendak Tuhan sehingga tetap waspada dalam berbuat; untuk tidak mendatangkan celaka. Kehendak Tuhan mendapat dicari/ditemukan di dalam hukum alam, wahyu jatmika yang tertulis dalam kitab suci maupun karya sastra, adat-istiadat, nasehat leluhur/orang tua dan cita-cita masyarakat.
7. Eling” juga berarti selalu mengingat perbuatan yang telah dilakukan, baik maupun buruk, agar “waspada” dalam berbuat. Berkat sikap “eling lawan waspada” ini, terasalah ada kepastian dalam langkah-langkah hidup.
Rame ing gawe.
- Pedoman hidup yang ketiga, yaitu hidup manusia yang dihiasi daya-upaya dan kerja keras.
-  Menggantungkan diri pada wasesa dan karsa Hyang Gusti adalah sama dengan menerima takdir.
Karena siapakah yang dapat meriolak kehendak Nya?
1. Ada tertulis:
Tidak ada sahabat yang melebihi (ilmu) pengetahuan Tidak ada musuh yang berbahaya dan pada nafsu jahat dalam hati sendiri Tidak ada cinta melebihi cinta orang tua kepada anak-anaknya Tidak ada kekuatan yang menyamai nasib, karena kekuatan nasib tidak tertahan oleh siapapun”. (Ayat 5, Bagian II Kitab Nitiyastra).
2. Tetapi apakah kekuatiran atau ketakutan akan nasib menjadi akhir dan pada usaha atau daya upaya manusia? Berhentikah manusia berupaya apabila kegagalan menghampiri kerjanya?
3. Karana riwayat muni, ikhtiar iku yekti, pamilihe reh rahayu, sinambi budi daya, kanthi awas lawan eling, kang kaesthi antuka parmaning suksma.  (Pupuh 10, Kalatidha)
Arti :
Karena cerita orang tua mengatakan, ikhtiar itu sungguh-sungguh, pemilih jalan keselamatan, sambil berdaya upaya disertai awas dan ingat, yang dimaksudkan mendapat kasih sayang Tuhan.
- Menerima takdir sebagai keputusan terakhir, tidak berarti mengesampingkan ikhtiar sebagai permulaan daripada usaha.
4. Kuneng lingnya Ramadayapati, angandika Sri Rama Wijaya, heh bebakal sira kiye, gampang kalawan ewuh, apan aria ingkang akardi, yen waniya ing gampang, wediya ing kewuh, sabarang nora tumeka, yen antepen gampang ewuh dadi siji, ing purwa nora ana. (Tembang Dandanggula, Serat Rama)
Arti :
Haria sehabis haturnya Ramadayapati (Hanoman), bersabdalah Sri Rama : Hai, kau itu dalam permulaan melakukan kewajiban, ada gampang dan ada sukar, itu adalah (Tuhan) yang membuat. Kalau berani akan gampang; takut akan yang sukar, segala sesuatu tidak akan tercapai. Bila kau perteguh hatimu, gampang dan sukar menjadi satu, (itu) tidak ada, tidak dikenal dalam permulaan (usaha).
5. Demikianlah, takdir yang akan datang kelak tidak seharusnya menghentikan usaha manusia. Niat yang tidak baik adalah niat “mencari yang mudah, menghindari yang sukar”. Semua kesukaran atau tugas harus dihadapi dengan keteguhan hati. “Rame ing gawe” dan “Rawe-rawe rantas malang-malang putung” adalah semangat usaha yang lahir dari keteguhan hati itu.
Catatan:
Pupuh ke empat adalah cuplikan dari serat Rama, yang ditulis oleh Ki Yosadipura. (1729 – 1801 M)
IV. Mawasdiri:
- Pedoman hidup yang keempat, yaitu perihal mempelajari pribadi dan jiwa sendiri;    yang merupakan tugas semua mamusia hidup.
Pupuh-pupuh:
1. Wis tua arep apa, muhung mahasing ngasepi, supayantuk parimirmaning Hyang Suksma. (Pupuh 8, Kalatidha)
Arti :
Sudah tim mau apa, sebaiknya hanya menjauhkan diri dari keduniawian, supaya mendapat/kasih sayang Tuhan.
- Nasehat agar tingkat orang yang telah berumur menunjukkan martabat.
2. Jinejer neng wedhatama, mrih tan kemba kembenganing pambudi, sanadyan ta tuwa pikun, yen tan mikani rasa, yekti sepi asepi lir sepah samun, samangsaning pakumpulan, gonyak-ganyuk ngliling semi. (Pupuh 2, Pangkur, Wedhatama)
Arti:
Ajarannya termuat dalam Wedhatama, agar supaya tak kendor hasrat usahanya memberi nasehat, (sebab) meskipun sudah tua bangka, kalau tak ketahuan kebatinan, tentulah sepi hambar bagaikan tak berjiwa, pada waktu di dalam pergaulan, kurang adat memalukan.
3. Pangeran Mangkubumi ing pambekanipun. Kang tinulad lan tinuri-luri, lahir prapteng batos, kadi nguni ing lelampahane, eyang tuwan kan jeng senopati, karem mawas diri, mrih sampurneng kawruh.Kawruh marang wekasing dumadi, dadining lalakon, datan samar purwa wasanane, saking dahat waskitaning galih, yeku ing ngaurip, ran manungsa punjul. (Dari babad Giyanti)
Arti :
Pangeran Mangkubumi budi pekertinya. Yang ditiru dan dijunjung tinggi, lahir sampai batin, seperti dahulu sejarahnya, nenek tuan kanjeng senopati gemar mawas diri untuk kesempumaan ilmunya. Ilmu tentang kesudahan hidup, jadinya lelakon, tidak ragu akan asal dan kesudahannya (hidup), karena amat waspada di dalam hatinya, itulah hidup, disebut manusia lebih (dari sesamanya).
- Babad Giyanti ditulis oleh pujangga Yasadipura I. Isinya memberi contoh tentang seseorang yang selalu mawas diri, yaitu Panembahan Senopati.
4. Mawas diri adalah usaha meneropong diri sendiri dan dengan penuh keberanian mengubah pribadinya. Maka inilah asal dan akhir dari pada keteguhan lahir dan batin.
5. Laku lahir lawan batin, yen sampun gumolong, janma guna utama arane, dene sampun amengku mengkoni, kang cinipta dadi, kang sinedya rawuh”. (Dari babad Giyanti)
Arti :
Amalan lahir dan batin, bilamana sudah bersatu dalam dirinya, yang demikian itu disebut manusia pandai dan utama, karena ia sudah menguasai dan meliputi, maka yang dimaksudkan tercapai, yang dicita-citakan terkabul.
6. Nadyan silih prang ngideri bumi, mungsuhira ewon, lamun angger mantep ing idhepe, pasrah kumandel marang Hyang Widi, gaman samya ngisis, dadya teguh timbul).” (Tembung Mijil, Dari babad Giyanti)
Arti :
Meski sekalipun perang mengitari jagad, musuhnya ribuan, tetapi asal anda tetap di dalam hati, berserah diri percaya kepada Tuhan, semua senjata tersingkirkan, menjadi teguh kebal.
7. Demikianlah ajaran Ki Ranggawarsita, yaitu mengenai empat pedoman hidup. Begitulah orang yang menggantungkan dirinya kepada kekuasaan Tuhan dan menerima tuntunan-Nya. Ia akan memiliki kepercayaan pada diri sendiri, tetapi tanpa disertai kesombongan maupun keangkaraan.
Cita-cita kemasyarakatan.
1. Ki pujangga Ranggawarsito mencita-citakan pula datangnya jaman Kalasuba, yaitu jaman pemerintahan Ratu Adil Herucakra. Karena itu beliau merupakan seorang penyambung lidah rakyatnya, yang menciptakan masyarakat “panjang punjung tata karta raharja” …. “gemah ripah loh jinawi” ….loh subur kang sarwa tinandur” dimana “wong cilik bakal gumuyu.
2. Tiga hal yang pantas diperjuangkan, untuk menegakkan pemerintahan Ratu Adil; yaitu: Bila semua meninggalkan perbuatan buruk, bila ada persatuan dan bila hadir pemimpin-pemimpin negara yang tidak tercela lahir batinnya.
3. Dengarlah!
4. Ninggal marang pakarti tan yukti, teteg tata ngastuti parentah, tansah saregep ing gawe, ngandhap lan luhur jumbuh, oaya ana cengil-cengil, tut runtut golong karsa, sakehing tumuwuh, wantune wus katarbuka, tyase wong sapraya kabeh mung haryanti, titi mring reh utama. (Dari Serat Sabdapranawa)
Arti :
Meninggalkan perbuatan buruk, tetap teratur tunduk perintah, selalu rajin bekerja, bawahan dan atasan cocok-sesuai tak ada persengketaan, seia sekata bersatu kemauan, dari segala makhluk, sebab telah terbukalah, tujuan orang seluruh negara hanyalah kesejahteraan, faham akan arti ulah keutamaan.
5.  Ngarataning mring saidenging bumi, kehing para manggalaningpraya, nora kewuhan nundukake, pakarti agal lembut, pulih kadi duk jaman nguni, tyase wong sanagara, teteg teguh, tanggon sabarang sinedya, datan pisan nguciwa ing lahir batin, kang kesthi mung reh tama. (Tembang Dandanggula, Serat Sabdapranawa)
Arti:
Merata keseluruh dunia; sebanyak-banyak pemimpin negara tak kesukaran menjalankan perbuatan kasar-halus; kembalilah seperti dahulu kala, tujuan orang seluruh negara, tetap berani sungguh, boleh dipercaya segala maksudnya, tak sekali-kali tercela lahir batinnya, yang dituju hanyalah selamat sejahtera

3/23/2013

GUGAH RASA

GUGAH RASA 

 Gugah Rasa, Sebelum melakukan meditasi panelangsa, pada tingkat pertama Manunggaling Kawula Gusti
Dalam ajaran Manunggaling Kawula Gusti ada istilah gugah rasa, ini di lakukan sebelum Meditasi Panelangsa (tingkat 1 ». semua ada 9 tingkat di dlm ajaran manunggaling kawula gusti ). Karena konsekuensi dunia material cenderung meningkat, sedang kaweruh spiritual orang jawa kian gersang. Kita mencoba untuk memahami kembali Puasa sebelum gugah rasa sebelum memulai meditasi panelangsa, bagi orang jawa yg dapat memberikan pencerahan spiritual tingkat tertinggi dengan berbagai spirit yang penuh dengan kesakralan dan religiusitas. Hakikat Puasa menurut ” Wulang Reh “.
Sri Pakubuwono IV telah memberikan wewaler, peringatan, pada anak cucunya untuk pengekangan nafsu. Peringatan itu tertuang dalam karyannya. Serat Wulang Reh, yang di tulis pada hari ahad kliwon, wuku Sungsang, tanggal ke-19, bulan besar, mongso ke-delapan, windu sancaya dan di beri sengkalan: Tata-guna-Swareng-Nata ( 1735 ), bergelar: Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwono Senopati Ing Ngalogo Abdur Rahman Sayyidin Panotogomo IV. Nama kecilnya adalah Bandoro Raden Mas Gusti sumbadyo, Putra Pakubuwono III dengan Kanjeng Ratu Kencana.Dalam pupuh II Tembang Kinanthi ia menulis: “Podho Gulangen Ing Kalbu, Ing Sasamita Amrih Lantip, Ojo pijer mangan nendra, ing kaprawiran den kesthi, Pesunen sariraniro , Sudanen dhahar lan guling. (Wahai, asahlah di dalam hatimu biar tajam menangkap isyarat isyarat ghaib. jangan terlalu banyak makan dan tidur, kurangilah hal tersebut, cita citakan kaprawiran ” keluhuran budi “, agar bisa mengekang diri) “.
Inti yang cepat di tangkap dari wejangan ini menyangkut pada pengendalian diri dan cara yang harus di tempuh adalah dengan perpuasa. Hakekat Puasa adalah pengekangan diri, karena alam duniawi banyak memberi godaan.  Silau dengan kemewahan, apalagi kalau sedang mendapat suka cita yang berlebihan, ” Maka kaprayitnan batin (kewaspadaan  akan terkurangi.
Manusia akhirnya akan terbelenggu nafsunya. Nafsu yang bersumber dari dirinya sendiri.Nafsu merupakan sikap angkara yang dalam Wulang Reh di sebutkan terdiri dari 4 macam , yaitu :
  1. Lawwamah, Bertempat di perut, lahirnya dari mulut ibarat hati bersinar hitam. Akibatnya bisa menimbulkan dahaga, kantuk dan lapar.
  2. Amarah, artinya garang bisa menimbulkan angkara murka, iri dan emosional. Ia berada di empedu, timbulnya lewat telinga bak hati bercahaya merah.
  3. Sufiyah, Nafsu yang menimbulkan birahi, rindu, keinginan dan kesenangan. Sumber dari Limpa timbul lewat mata bak hati bercahaya kuning.
  4. Muthmainah, Berarti rasa ketentraman. Punya watak yang senang dengan kebaikan, keutamaan dan keluhuran budi. Nafsu ini timbulnya dari tulang, timbul dari hidung bagai hati bersinar putih Lelaku Puasa.Ritualnya di mulai dengan reresik raga (membersihkan badan). Badan harus bersih dari kotoran dunia, caranya dengan siram jamas (mandi besar). Kalau perlu menggunakan kumkuman ( rendaman ) bunga lima warna, Mawar, Melati, Kenanga, Kanthil putih, Kanthil kuning.
Doa untuk Mandi
Waktu mandi membaca doa ” Ingsun Adus Ing Banyu Suci, Kang adus badan sejati, Kakosokan nyowo sejati, Amulyaaken kersane Pangeran (Aku mandi di air suci, Yang mandi badan sejati, membersihkan nyawa sejati, memuliakan takdir Illahi.
Jam Puasa
Lelaku, jangka waktu puasa ini sehari semalam yang di mulai pukul 17.00 WIB di akhiri pukul 17.00 WIB. lelaku puasa yang lebih bersifat khusus. Jangka waktunya 3 hari.
Keistimewaan terletak pada nilai amalannya. Seseorang yang melakukan puasa dina dulur ini, nilai amalannya hampir sama dengan puasa 40 hari.
Keistimewaan lain adalah terletak pada mustikanya. Tiga weton dan buang sengkala. Ritual Puasa dina dulur ini selama 3 hari, dan harus tepat pada hari Selasa Kliwon, Rabu Legi dan Kamis Pahing.
Tentu saja ini dari hitungan kalender jawa, atau umumnya dalam satu bulan terdapat 3 hari yang berurutan ini. Tinggal kita saja yang menentukan ada kesiapan atau tidaknya niatan yang mantap untuk menjalankan lelaku puasa khusus ini.Jangka waktunya juga sama dengan waktunya puasa puasa kejawen lainnya. Dimulai (sahur) pada pukul 17 WIB di akhiri (Berbuka) pada pukul 17 WIB hari berikutnya. Demikian juga kesiapan jiwa raga seseorang yang hendak berpuasa.
Siram Jamas (Mandi Besar)
Di pagi harinya, sebelum meditasi panelangsa wajib melakukan pembersihan diri dengan cara “siram jamas ” (mandi besar) lebih baik kalau menggunakan kumkuman (rendaman) bunga setaman yang baru di beli di pasar. Cara mandi jamas ini tidak boleh sembarangan.
Rendaman bunga yang tercecer itu harus di kumpulkan dan di larung (di buang) di sungai. Hal ini di dasarkan pada “sengkala” ( nasib buruk/dosa dosa ). Termasuk sifat buruk dan nafsu dalam diri manusia harus harus di buang jauh. Larung di maknakan di buang jauh. Sedangkan sungai (muaranya menuju lautan bebas ) sebagai simbol dunia luas dan tak terbatas.
Bubur Lima Warna
Bubur Lima Warna. Akan lebih sempurna bila dalam ritual larung ini di sertakan sesajen berupa bubur lima warna. (1) Hitam, (2) putih, (3) Merah, (4) Kuning dan (5) merah di beri titik putih. Lima warna ini berarti menghormat pada “Keblat Papat Limo Pancer “.  (Keblat 4 5 bumi tempat berpijak ).
  1. Hitam berada di utara,
  2. merah di selatan,
  3. kuning bertempat di barat dan
  4. putih berada di timur.
Khusus Filosofi bubur merah bertitik putih, sebenarnya di artikan penghormatan kepada orang tua. Bisa juga sesepuh (leluhur kita) baik yang masih hidup ataupun yang sudah meninggal. Namun dalam khasanah kiblat tadi di maknakan pancer.
Tentang bubur lima macam ini bisa kita kaitkan dengan simbolisasi bunga lima warna. Dan semua unsur ini di maksudkan sebagai pelengkap sebelum melakukan puasa dino dulur. tetapi jauh di balik ini semua unsur itu sebagai pendukung (kekuatan batin) dalam melaksanakan puasa. Sekaligus penguat dan peneguh iman seseorang dalam menjalankan ritual puasanya. Saudara-Saudara Halus/Sedulur papat kalimo pancer.
Saudara Empat
Orang Jawa tradisional percaya eksistensi dari sedulur papat (saudara empat) yang selalu menyertai seseorang dimana saja dan kapan saja, selama orang itu hidup didunia. Mereka memang ditugaskan oleh kekausaan alam untuk selalu dengan setia membantu, mereka tidak tidak punya badan jasmani, tetapi ada baik dan kamu juga harus mempunyai hubungan yang serasi dengan mereka yaitu :
  1. Kakang kawah, saudara tua kawah, dia keluar dari gua garba ibu sebelum kamu, tempatnya di timur warnanya putih.
  2. Adi ari-ari, adik ari-ari, dia dikeluarkan dari gua garba ibu sesudah kamu, tempatnya di barat warnanya kuning.
  3. Getih, darah yang keluar dari gua garba ibu sewaktu melahirkan, tempatnya di selatan warnanya merah
  4. Puser, pusar yang dipotong sesudah kelahiranmu, tempatnya di utara warnanya hitam.
Selain sedulur papat diatas, yang lain adalah Kalima Pancer, pancer kelima itulah badan jasmani kamu.  Merekalah yang disebut sedulur papat kalimo pancer, mereka ada karena kamu ada. Sementara orang menyebut mereka keblat papat lima tengah, (empat jurusan yang kelima ada ditengah ).
Mar dan Marti
Mereka berlima itu dilahirkan melalui ibu, mereka itu adalah Mar dan Marti, berbentuk udara. Mar adalah udara, yang dihasilkan karena perjuangan ibu saat melahirkan bayi, sedangkan Marti adalah udara yang merupakan rasa ibu sesudah selamat melahirkan si jabang bayi. Secara mistis Mar dan Marti ini warnanya putih dan kuning, kamu bisa meminta bantuan Mar dan Marti hanya sesudah kamu melaksankan tapa brata (laku spiritual yang sungguh-sungguh) mereka itu selalu bersama kamu, menjaga kamu dimanapun kamu berada. Mungkin kamu tidak menyadari bahwa mereka itu menolongmu dalam setiap saat kegiantanmu, mereka akan senang, bila kamu memperhatikan mereka, mengetahui akan keberadaan meraka. Adalah bijaksana untuk meminta mereka supaya berpatisipasi dalam setiap kegiatan yang kamu lakukan. Dalam batin, kamu mengundang mereka, misalnya :
Saya Juga Hidup
Semua saudara halusku, saya mau meditasi panelangsa, bantulah saya ( ewang-ewangono ) artinya mereka itu akan membantumu, sehingga kamu di bantunya ,Tetapi kamu jangan meminta partisipasi mereka pada waktu kamu mau tidur, untuk hal itu kamu harus berkata: saya mau tidur lindungilah saya (reksanen) pada waktu saya tidur, kalau ada yang mengganggu atau membahayakan, bangunkanlah saya, sambil membaringkan badan ditempat tidur sebelum menutup mata, dengan meletakkan tangan kanan didada, menyentuh jantung, katakanlah : “saya juga hidup “.
Dengan mengenali mereka artinya kamu memperhatikan mereka dan sebaliknya mereka pun mengurusi kamu. Kalau kamu tidak memperhatikan mereka, mereka tidak akan berbuat apapun untuk menolongmu, mereka mengharap supaya secepatnya kamu kembali ke asalmu,  supaya mereka itu secepatnya terbebas dari kewajibannya untuk mendampingimu. Ketika kamu kembali ke alam kelanggengan, mereka juga akan pergi dan berharap diberi kesempatan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa untuk dilahirkan sebagai manusia dengan jiwa dan raga dalam hidup baru mereka di dunia.
Weton
Weton adalah peringatan hari lahir seseorang yang terjadi setiap 35 hari sekali. Untuk orang Jawa tradisional mengetahui wetonnya itu penting dan harus diingat kapan wetonnya itu, dengan mengetahui tanggal, bulan, tahun kelahiran seseorang bisa ditentukan hari wetonnya.
Pada saat weton biasanya akan dibuat semacam sesaji sederhana yang berupa secawan bubur merah putih dan satu gelas air hangat. Pemberian ini adalah untuk saudara-saudara halus, dengan mengatakan: ini untuk semua saudara halusku, aku selalu ingat kamu, mengenali kamu, maka itu bantulah dan jagalah aku. Sesaji sederhana ini juga untuk mengingatkan dan bersyukur kepada ibu dan ayah, karena melalui merekalah kamu dilahirkan dan hidup di dunia ini.
Doa untuk Tidur
Selanjutnya untuk mengingat dan menghormati para leluhur dan yang paling penting untuk mengingat dan memuji Sang Pencipta , Tuhan Yang Maha Kuasa. Cara yang lengkap untuk menyebut saudara-saudara halus tersebut adalah: Mar marti, kakang kawah, adi ari-ari, getih puser sedulur papat, kalimo pancer .- Bantulah saya – Jagalah saya pada waktu saya tidur.
Ingat Selalu
Sebaliknya kamu menyebut nama mereka dengan lengkap sehingga kamu menjadi biasa dengan mereka (jumbuh) misalnya untuk beberapa bulan. Sesudah itu kamu boleh memanggil mereka semua:  saudara halusku. Tetapi pada saat kamu berdoa atau meditasi, kamu menyebut dengan nama lengkap, juga pada saat kamu memberikan sesaji untuk mereka, katakanlah nama mereka satu demi satu. Kamu hendaknya tahu bahwa kakang kawah dan adi ari-ari adalah yang paling banyak membantu kamu. Kakang kawah selalu berusa dengan sebaik-baiknya supaya semua keinginan dan usahamu terealisir sedangkan adi ari-ari selalu berusaha menyenangkan kamu.
Oleh karena itu pada saat kamu akan melakukan hal yang penting atau sebelum berdoa, sesudah menyebutkan nama lengkap mereka satu persatu, ulangi lagi dengan menyebut kakang kawah dan adi ari-ari untuk membantumu.
Sesaji untuk Saudara Empat
Selain memberikan sesaji kepada saudara-saudara halus kamu bisa menyucikan diri, antara lain dengan cara berpuasa selama 24 jam, hanya makan buah dan sayuran; makan nasi putih dan minum air putih; tidur sesudah tengah malam atau tidak tidur sama sekali dan lain-lain. Ada juga yang melakukan selama tiga hari berturut-turut, yaitu satu hari sebelum weton, pada saat weton dan sehari sesudah weton yang disebut Ngapit.
Dengan selalu meminta partisipasi dari saudara-saudara halusmu, ini berarti kamu aktif secara lahir maupun batinYang melakukan sesuatu itu bukan hanya aku, tetapi Ingsun yaitu aku-lahir, luar (jobo) bersama dengan aku dari batin (jero). Maka itu orang Jawa yang mau melakukan hal penting berkata : Niat Ingsun. Dengan melakukan laku gugah rasa sebelum melakukan meditasi panelangsa , supaya hidupnya selamat dan sejahtera,dan untuk penghayatan ilmu sejati dlm taraf dasar Manunggaling kawula Gusti. Rahayu

3/17/2013

K I N A N T H I

01. Kinanthi sembah punika, miwah pujine yen puji, pan ika turing sapa, pen katura mring Hyang Widhi, dene nora warna rupa, yen tan katur tanpa kardi.

Dengan  sembah ini, serta pujinya apabila di puji, dan itu ucapannya siapa, kalau dipersembahkan kepada Hyang Widdi (Tuhan), yang tiada berupa dan berwarna, jikalau tidak dipersembahkan tiada gunanya.

02. Tawang towang pujinipun, angar aja nembah muji, yen tan katur maring Allah, sumantana tan wring dhiri, kawula pan nara gadhah, mapan kapurba ing gusti.

Setinggi langit pujinya, agar jangan menyembah dan memuji, jikalau tidak dipersembahkan kepada Allah,  jangan lancang dan  tidak tahu diri, hamba itu tidak mempunyai apa-apa, karena dikuasai oleh Gusti.

03. Lan kawisesa sireki, weruha lakuning puji, ya kang sembah lan sinambah, iya sapa kang duweni, puji pan pujining Allah, kawula tan darbe puji.

Dan engkau dikuasai, dan ketahuilah jalan memuji,   yang menyembah dan disembah, ya siapa yang mempunyai, puji adalah pujinya Allah, hamba tidak mempunyai puji.

04. Tan kawawi paminipun, miwah penggawe nireki, tumrap badane sedaya, anging Allah kang darbeni, endi aran puji sembah, tegesing sembah lan puji.

Tidak kuasa umpamanya, serta perbutanmu, terhadap seluruh badannya, hannya Allah yang memiliki, manakah yang dinamakan memuji dan menyembah, artinya sembah dan memuji.

05. Kanugrahan jatinipun,  kang tumiba marang dasih, endi aran kanugrahan, iya sajaning urip, pan urip-uriping sapa, lamun uriping Hyang Widhi.

Kanugrahan (anugrah) sesungguhnya, yang diberikan kepada hamba, manakah yang dinamakan kanugrahan, yaitu sejatinya hidup, dan hidup-hidupnya siapa, kalau hidupnya Hyang Widdi (Tuhan).  
06.  Urip tandhane nyaweku, pan urip-uripe pribadi, uripen tan kena pejah, beda lan uriping dasih, uripe kalawan nyawa, kang tiba ing kawuleki.


Hidup tandanya nyawamu, dan hidup itu hidupnya sendiri, hidupnya tidak terkena mati, berbeda dengan hidupnya hamba, hidupnya dengan nyawa, yang jatuh kepada hambanNya.  
 
07. Kanugrahaning Hyang Agung, lire kanugrahan urip, iya uriping manungsa, kayatakaning Hyang Widhi, dalile Allah kang murba, dipun padha angawruhi.  
 
Kanugrahannya (anugrahnya) Hyang Agung (Tuhan), seperti kanugrahan hidup, yaitu hidupnya manusia, merupakan kenyataannya Hyang Widdi (Tuhan), dalilnya Allah yang menguasai, itu yang sama-sama harus diketahui.

08. Endi urip jatiningipun, kauripan tri prakawis, den becik tarimanira, angel jinenging urip, tegese kangtri prakara, maripate imam Tokid.

Dimanakah hidup yang sesungguhnya, kehidupan tiga perkara, terimalah dengan baik, susah yang namanya hidup, artinya yang ketiga perkara, makrifat iman tauhid.

09. Saya tunggal sajatinipun, pangleburan papat tulis, tan ana gusti kawula, kaya ngapa kaum tunggil, yen beda di bedanira, pan nora pisah sayekti.

Sesungguhnya telah bersatu, meleburnya antara papan dan tulisan, tidak ada lagi Gusti dan hamba, seperti apakah jika telah bersatu, jika berbeda dimana perbedaannya, sungguh tiada berpisah.  
10. Dene salamet ing kawruh, tegese kang iman tokid, tegese wus nyata tunggal, tunggal kawula gusti, apan jenenging kawula, sajati jatining sepi.


Dan selamat dalam pengetahuan, artinya yang iman tauhid, artinya sudah nyata bersatu, bersatu hamba dan Gusti, dan yang namanya hamba, yaitu sesungguh-sungguhnya kehampaan.  
11. Tanpa salah tingkah iku,  tegese makripat nenggih, ingkang awas mring pangeran, tegese awas kang pundi, kang awas punika sapa, kawula pan duta tuli.


Tanpa salah tingkah itu, artinya makrifat yang benar, yang waspada kepada Pangeran, artinya waspada yang manakah, yang waspada itu siapa, hamba adalah utusan yang tuli.

12. Bisa lumpuh lawan suwung, kuwasa nora nyadani, katur ing puji lan sembah, pan nora ngulati malih, katur marang dhewekira.

Bisa lumpuh dan hampa, berkuasa namun tidak berhak, diberikan dalam puji dan sembah, dan tidak melihat lagi, diberikan kepedaNya.  
13. Pan iya manembah iku, puji pinuji pribadi, sarake dadya lantaran, kanyatahaning Dat Tallah, dudu unine pribadi.


Serta manembah itu, memuji dan dipuji pribadi, syariatnya menjadi perantara, kenyataannya Dzat Allah, dan bukan ucapannya pribadi.  
14. Mantep jeneng kawuleki, tegese paranimeki, tanpa wujud tanpa salah, lir larah aneng jaladri, amuji lawan anembah, denira pasrah kang becik.


Yakin yang namanya hamba, artinya tujuannya, tanpa wujud tanpa salah, seperti sampah di lautan, memuji dan menyembah, dan engkau lebih baik pasrah.  
15. Marang tarina wruhipun, dene kawruhan sekalir, wruh Pangeran ingkang mulya, lire kawruh tan ngawruhi, yen kang narima den trima, anyata yen sira pribadi.


Menerima kepada yang mengetahui, sedangkan semua pengetahuan, mengetahui Pangeran yang mulia, seperti pengetahuan namun tidak mengetahui, jika yang menerima diterima, ternyata itu kamu sendiri.

3/10/2013

ASTABRATRA

ASTABRATA






Berasal dari kata Asto atau Hasto yang artinya delapan, kemudian Baroto yang artinya laku atau perbuatan. Jadi ASTHA BRATA atau Hasto Broto berati delapan laku atau delapan perbuatan. ASTHA BRATA terdapat dalam Sarga XXIV dari wejangan Ramayana kepada Gunawan Wibisono, juga Sri Kresna kepada Arjuna. Diterangkan bahwa seseorang yang ditakdirkan untuk menjadi pemimpin atau raja adalah dalam jiwanya terdapat delapan macam sifat kedewasaan atau delapan macam watak-watak delapan dewa. Kewajiban seorang pemimpin harus selalu mencerminkan sifat dan sikap:



1. Dewa Surya atau Watak Matahari
Menghisap air dengan sifat panas secara perlahan serta memberi sarana hidup. Pemimpin harus selalu mencerminkan sifat dan sikap semangat kehidupan dan energi untuk mencapai tujuan dengan didasari pikiran yang matang dan teliti serta pertimbangan baik buruknya juga kesabaran dan kehati-hatian.



2. Dewa Chandra atau Watak Bulan

Yang memberi kesenangan dan penerangan dengan sinarnya yang lembut. Seorang pemimpin bertindak halus dengan penuh kasih sayang dengan tidak meninggalkan kedewasaannya.

3. Dewa Yama atau Watak Bintang
Yang indah dan terang sebagai perhiasan dan yang menjadi pedoman dan bertanggung jawab atas keamanan anak buah, wilayah kekuasaannya.

4. Dewa Bayu atau Watak Angin
Yang mengisi tiap ruang kosong. Pemimpin mengetahui dan menanggapi keadaan negeri dan seluruh rakyat secara teliti.

5. Dewa Indra atau Watak Mendung
Yang menakutkan (berwibawa) tetapi kemudian memberikan manfaat dan menghidupkan, maka pemimpin harus berwibawa murah hati dan dalam tindakannya bermanfaat bagi anak buahnya.

6. Dewa Agni atau Watak Api
Yang mempunyai sifat tegak, dapat membakar dan membinasakan lawan. Pemimpin harus berani dan tegas serta adil, mempunyai prinsip sendiri, tegak dengan berpijak pada kebenaran dan kesucian hati.

7. Dewa Baruna atau Watak Samudra
Sebagai simbol kekuatan yang mengikat. Pemimpin harus mampu menggunakan kekuatan dan kekuasaannya untuk menjaga keseluruhan dan keutuhan rakyat serta melindungi rakyat dari segala kekuatan lain yang mengganggu ketentraman dan keamanan secara luas dan merata.

8. Dewa Kuwera atau Watak Kekayaan atau Watak Bumi
Yang sentosa, makmur dengan kesucian rohani dan jasmani. Pemimpin harus mampu mengendalikan dirinya karena harus memperhatikan rakyat, yang memerlukan bantuan yang mencerminkan sentosa budi pekertinya dan kejujuran terhadap kenyataan yang ada.